GELORA.CO - PALU sidang perubahan UU 30/2002 tentang KPK telah diputuskan oleh DPR. Proses menghidupkan lagi revisi UU KPK yang sempat tertunda beberapa kali. Tahun 2017 sempat hangat isu revisi terhadap UU tersebut, namun penolakan dari internal KPK begitu kuat, sehingga tidak bisa terlaksana.
Meskipun penolakan begitu kuat, DPR dengan kewenangan legislasi yang melekat padanya, akhirnya mengambil keputusan dalam suasana senyap, sepi dari pemberitaan media DPR pada 6 September 2019 menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan perubahan UU KPK yang menjadi inisiatif DPR.
Reaksi terhadap keputusan DPR merubah UU KPK bermunculan. Lima unsur perguruan tinggi memberikan reaksi bersamaan. Alumni UI, Asosiasi Pengajar UII, Dosen Universitas Paramadina, kampus UGM, Universitas Mulawarman Samarinda, menolak revisi UU KPK dengan alasan masing-masing. Kesimpulan dari lima unsur perguruan tinggi itu menyatakan bahwa revisi UU KPK adalah melemahkan KPK.
Sebaliknya dukungan terhadap inisiatif DPR merubah UU KPK juga tidak kalah besarnya. Guru besar dan dosen hukum pidana, acara pidana, hukum tata negara, hukum keuangan negara, dari berbagai universitas baik negeri maupun swasta, masyarakat dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Korupsi, Aliansi Masyarakat Cinta KPK, Forum Peduli Keadilan Bangsa dan lain sebagainya menyatakan dukungan terhadap perubahan UU KPK.
Terlepas dari dua kekuatan yang saling berlawanan itu, saya berpendapat bahwa perubahan UU merupakan kewenangan DPR dan Presiden. Dukungan yang datang dari berbagai pihak itu hanya sebagai bahan masukan.
Selama ini ada opini yang berkembang bahwa KPK itu lembaga super body yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan manapun. Sehingga ketika regulasi ingin dilakukan perubahan selalu dianggap sebagai intervensi terhadap KPK. Padahal KPK bukan lembaga legislatif, tidak memiliki kewenangan untuk apapun dalam hal membuat dan merubah UU.
Penolakan KPK terhadap kehendak legislasi yang dimiliki oleh DPR dan Pemerintah mencerminkan sebagai lembaga yang tidak taat hukum sebenarnya. Dia ingin menjadi single power, dengan menempatkan diri sebagai lembaga paling "suci" yang tidak bisa dipersoalkan oleh lembaga lain termasuk lembaga inti negara.
Kegagalan KPK
Kegagalan KPK menempatkan diri sebagai lembaga negara bantu (auxiliary state organ) tidak hanya melahirkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tetapi juga melahirkan institusi yang menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power).
Padahal kehadiran KPK adalah untuk melakukan trigger mecanism karena dua institusi penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian dianggap gagal memberantas Korupsi. KPK dalam hal penindakan seharusnya berperan sebagai trigger mechanism. Yaitu mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penegakan hukum korupsi dengan baik, bukan melakukan penindakan berdasarkan seleranya sendiri.
Peran KPK harus maksimalkan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kejaksaan dan kepolisian. Sebab, selama KPK dibentuk, fungsi kordinasi, supervisi, belum maksimal dalam menjalakan peran trigger mekanism atau mendorong upaya pemberantasan korupsi kepada lembaga-lembaga untuk lebih efektif dan efisien dalam hal ini jaksa dan polisi.
KPK selalu mengambil jalan sendiri dalam penegakan hukum korupsi, sehingga sampai hari ini keberhasilan KPK masih jauh panggang dari api. Kegagalan yang paling mencolok adalah pada fungsi pencegahan dan pada audit BPK Investigasi tahun 2013-2017 KPK sama sekali gagal dalam melakukan pencegahan.
Adapun penindakan yang dilakukan KPK dengan menggunakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sarat dengan tindakan entrapment (jebakan) kepada calon tersangka. Karena itu banyak pihak menilai bahwa KPK bekerja menurut selera kekuasaan bukan menurut aturan hukum.
KPK adalah lembaga yang pada awalnya dibentuk dengan desain untuk yang sangat ketat dan kewenangan yang sangat besar, untuk menindak pelaku korupsi. Dalam menangani perkara KPK tidak mengenal Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3). Karena itu dalam melakukan proses penegakan hukum yang benar dan adil, bukan atas dasar stigma apalagi kebencian terhadap warga yang belum tentu bersalah atas sesuatu yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya (asas praduga tak bersalah).
Namun dalam perjalanannya dalam beberapa kasus terlihat bahwa KPK tidak hati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka. Beberapa tersangka yang ditetapkan menyalahi prosedur seperti Budi Gunawan, Hadi Purnomo, Taufiqurrahman (Bupati Nganjuk), Ilham Arif Sirajuddin (Walikota Makassar) dan Setya Novanto, membuktikan KPK tidak hati-hati dalam menggunakan kewenangan yang melekat padanya. Meskipun Setya Novanto dan Ilham kembali ditetapkan tersangka setelah memenangkan gugatan praperadilan, namun putusan pengadilan itu cukup menjadi bukti bahwa KPK bukanlah lembaga yang sepenuhnya benar dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
Kegagalan KPK dalam supervisi, koordinasi, penindakan, pencegahan dan memonitoring (pasal 6 UU KPK) kebijakan lembaga negara yang berpotensi merugikan negara dan kegagalan mencegah terjadinya korupsi membuat Indonesia belum dapat menjadi peringkat sebagai negara yang aman dan bebas korupsi.
Justru kegagalan itu menjadi satu masalah tersendiri bagi transisi demokrasi. Cara kerja KPK memperpanjang transisi demokrasi membuat iklim investasi banyak yang terhambat, kebijakan tidak dapat diambil akibat adanya ketakutan terhadap ancaman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sebab keputusan bisa saja dianggap korupsi dengan dalil pasal 3 UU KPK.
Selain itu, KPK masih menjadi menikmati gegap gempita pujian dalam membongkar big news sehingga asyik sendiri. Gagal membongkar big case, seperti kasus, SDA dan Migas (SKK Migas) - berhenti di kasus suap menyuap saja, kasus perbankan, reklamasi, Trans Jakarta, Sumber Waras, Perpajakan. KPK seharusnya fokus kasus-kasus besar, seperti di SDA dan migas, perpajakan, perbankan, pasar modal, hutang luar negeri dan impor pangan dan barang lain, reklamasi, Meikarta, kejahatan corparasi, cost recovery. Sayangnya, KPK terlalu ambisi menangkap korupsi kecil. OTT 100 juta, yang sebenarnya bukan domain kerja KPK diambil juga.
Merevisi UU KPK
Kegagalan-kegagalan KPK itu nampaknya oleh pendukung KPK tidak dianggap sebagai kegagalan, sehingga mereka terus memobilisasi opini untuk melawan hak anggota DPR mengajukan RUU maupun amandemen UU. Tentu bagi saya ini merupakan cara yang tidak sehat dalam bernegara.
Tanpa disadari, UU KPK sudah beberapa kali dirubah melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh beberapa pihak dan LSM. Kita patut merasa heran bahwa LSM boleh mengajukan perubahan UU KPK melalui JR tanpa diributkan oleh oknum-oknum di KPK, sementara DPR dan Presiden yang memiliki fungsi sekaligus hak untuk membuat maupun merubah UU, dianggap haram merubah UU KPK.
Saya pun sudah sejak lama mengusulkan perubahan UU KPK baik dalam rapat kerja dengan KPK maupun dalam beberapa tulisan. Sebab UU KPK sekarang masih terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki.
Harus diketahui bahwa Hak DPR itu adalah yang melekat dan tidak boleh di persoalkan dengan cara memobiliasi massa dan membuat panggung protes. Sebab KPK tidak bisa melawan hak lembaga negara inti (state mein organ) dengan cara-cara "jalanan" seperti itu.
Menurut saya setelah belasan tahun KPK berdiri, dan setelah ada evaluasi yang menyeluruh, KPK memang gagal mewujudkan agenda reformasi yang mengamanatkan terwujudnya pemerintahan yang berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena kegagalan itu, menurut saya UU KPK harus dirubah sehingga pemberantasan korupsi tidak terlalu bias seperti sekarang ini.
Menurut saya, perubahan UU KPK ini harus memberikan penegasan terhadap tiga hal, yang pertama, menagaskan posisi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, apakah dia di eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Tetapi melihat tugas dan kewenangannya KPK adalah lembaga eksekutif. Kedua, KPK tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan penindakan, sebab ia merupakan trigger mecanism yang harus bersinergi dengan lembaga kejaksaan dan kepolisian. Ketiga, KPK harus diawasi oleh satu dewan, sehingga tidak "liar" dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Masih Perlukah Ada KPK?
Banyak isu yang berkembang bahwa perubahan UU KPK akan memperlemah KPK dan bahkan akan mengarah pada pembubaran KPK. Isu seperti ini memang selalu hadir bersamaan dengan mencuatnya isu perubahan UU KPK.
Bagi saya, perubahan UU KPK sama sekali tidak melemahkan KPK, bahkan memperkuat sistem organisasi KPK. Pembentukan Dewan Pengawas, memperjelas posisi KPK dalam tiga cabang kekuasaan, dan menambahkan beberapa aturan tentang kordinasi dan pencegahan, merupakan jalan perbaikan bagi KPK sekaligus memperkuat posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang sangat dibutuhkan.
Menurut saya perubahan UU KPK mempertegas bahwa KPK masih sangat dibutuhkan oleh negara dan masih diharapkan dapat memperbaiki kehidupan bangsa dan negara sehingga bebas KKN. Oleh karena itu, perubahan UU KPK adalah jalan memperkuat posisi KPK dalam menjalan tugas dan kewenangannya. Wallahualam bissawab.
Dr. Ahmad Yani
Mantan anggota Komisi III DPR RI, dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ.(rmol)