Oleh M Rizal Fadillah
Di luar dugaan aksi mahasiswa dapat bergerak serempak di berbagai kota. Meski kejutan tapi sinyalnya sudah ada sejak pimpinan Perguruan Tinggi, dosen atau alumni mulai menyuarakan sikap terhadap perundang undangan yang digodok DPR khususnya yang paling sensitif RUU revisi UU KPK. Ada kekhawatiran di kalangan akademik bahwa Pemerintah dan DPR sedang menjalankan misi menghambat upaya pemberantasan korupsi.
Merasa pintu gerbang kampus dibuka, mahasiswa melangkah cepat. DPR RI dan DPRD menjadi sasaran aksi. Kantor Pemerintahan juga bisa jadi sarana berkumpul untuk menyampaikan aspirasi. Tentu tak ketinggalan "long march" dengan berbagai yel khas aksi mahasiswa. Jumlah yang banyak cukup merepotkan polisi. Beberapa aksi ditandai bentrokan. Terlepas apakah terprovokasi atau memang kondisi lapangan. Polisi yang terdesak atau instruksi atasan.
Yang terluka cukup banyak. Media yang biasa "tutup berita" terpaksa memberitakan juga. Ada disain aksi bisa saja dilakukan tapi justru realitas buruk yang terjadi. Tidak mudah untuk mengotak atik. Buktinya Presiden harus rapat darurat. Mahasiswa memang beraksi hebat sesuai dengan hati nurani rakyat.
Undang Undang yang diproses cepat seolah olah untuk memenuhi target "kejar tayang" di akhir periode anggota Dewan. Program menghabiskan anggaran atau "kejar tunjangan" dinilai cukup beralasan. Pemerintah sangat berkepentingan dengan undang undang pilihan. Soal pelemahan KPK penting untuk investasi ke depan. Soal PKS bisa dijadikan basis universalitas moralitas menggeser agama. KUHP memperkuat cengkeraman terhadap sikap kritis masyarakat. Pertanahan dalam rangka lahan ibukota dan menggembirakan "taipan". Minerba untuk lomba "tarik tambang" menambah angka digit tabungan.
Karena motif atau dampak positif tidak pada rakyat tapi lebih pada penguasa, pengusaha, atau segelintir dan sekelompok orang, maka RUU itu rentan reaksi publik. Bagai bensin yang mudah terbakar dan menjadi pemicu aksi. Terbukti aksi aksi mahasiswa bergerak cepat.
Terhadap RUU Revisi UU KPK yang dalam pola bermain menjadi hak inisiatif DPR, Pemerintah bersikukuh mempertahankan hanya dengan tidak menyetujui "bunga bunga" nya. Akan tetapi tetap saja lebih berat pada nuansa pencitraan ketimbang aspek filosifis, yuridis dan sosiogisnya. Argumen Presiden dinilai tidak menjawab KPK yang akan terkendali dan terbatas langkah dalam proses penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.
Aksi mahasiswa berjalan terus hingga tentu RUU dicabut. Pemerintah maksimum hanya pada opsi menunda. Bagi masing masing pihak apakah Pemerintah atau mahasiswa langkah akhir menentukan agenda berikut. Jika mahasiswa terima dengan keputusan "menunda" maka perjuangan terhenti sesaat hingga ada "kasus" isu baru. Jika Pemerintah ngotot mensahkan atau mahasiswa tidak terima putusan "menunda" maka gerakan mahasiswa akan berlanjut dan bergeser fokus pada "turunkan Jokowi". Jika sudah fokus pada satu isu ini. Jokowi sulit bertahan karena gumpalan kekuatan lain akan membantu dan menyatu.
Bandung, 24 September 2019 (*)