GELORA.CO - SESEORANG mengirim tulisan anonim. Isinya sebagai berikut:
"Hubungan bilateral RI-RRC harus mengeliminasi keterlibatan para taipan atau overseas China di Indonesia. Kunjungan YM Song Tao ke Prabowo, isyarat bahwa RRC mengakui kegagalan metode sebelumnya."
Penulis anonim ngga ngerti or tau detail Tionghoa. Nekad nulis. Sok tau. Jadi sesat. Mau eksis. Alhasil; menghasut.
Serba salah. Jika Zeng Wei Jian atau Lieus Sungkharisma nulis fakta positif Tionghoa, dituduh ngga obyektif, sinophile, mengada-ada, antek komunis, pengkhianat dan lain-lain.
Penulis anonim nggak bisa melakukan distingsi antara Tiongkok, Taipan dan Overseas Chinese. Serampangan. Main pukul rata. Berbahaya dan Jahat, jadinya rasis. Indirectly dia berkata Tionghoa di Indonesia adalah Kolone V alias musuh dalam selimut.
Taipan termasuk diaspora Tionghoa, tapi nggak semua Huaqiao adalah taipan.
Interaksi taipan dengan Tiongkok belum lama. Di Era Mao Zedong, orang kaya dianggap musuh. Sulit berbisnis dengan negeri di mana kemiskinan jadi trendy.
Amerika dan dunia minta Tiongkok buka pintu. Ended The Bamboo Curtain. Rakyat 1,5 miliar adalah pasar raksasa. Ngga ada abisnya.
Tirai Bambu tamat. Deng Xiao Ping buka 4 Special Economic Zones tahun 1979. Tiongkok mulai masuk arena global di masa Hu Jin Tao. Sekarang jadi key player.
Free trade artinya semua orang bisa masuk. Tiba-tiba tumbuh kelas "super rich" di Tiongkok.
Adanya faksi radikal Anti China, tidak membuat Malaysia dan Indonesia sebagai destinasi Chinese Ultra Rich families.
Mereka suka Vancouver. Sekarang ada sekitar 200 ribu Ultra Rich Chinese di sana. Menghabiskan duit, beli belasan tas Louis Vuitton, Hermes, Prada, Dior dan sebagainya.
Seantero Kanada tau, generasi kedua rich immigrant chinese punya flashy jet-set life. Anak-anak billioner itu disebut "fuerdai," a derogatory Mandarin term similar to "trust-fund babies.
Saat gaya hidup mereka dijadikan reality show “Ultra Rich Asian Girls of Vancouver" seperti "The Simple Life" Paris Hilton dan Nicole Richie, publik di Mainland China marah.
Publik tau; banyak di antara orang tua "fuerdai" itu adalah bandit dan koruptor. Mereka keluar Tiongkok, lari dari jerat hukum komunis yang keras.
Fuerdai manja, borjuis, minum Champagne mahal, beli diamond, naik Roll Royce dan sebagainya bikin muak.
Indonesia tidak dilirik. Jadi destinasi entrepreneur kecil. Mereka buka salon, restaurant, dan sebagainya.
Gadis belia asal Banyumas non hijaber bernama Ikoh Rahmawati langganan salon milik Chinese entrepreneur di Rusun Mediterania Jl. Gajah Mada Jakarta Pusat.
Alasannya; murah, tempatnya mewah dan kualitas. Salon lokal kalah. Free trade mengharuskan competitive advantage. Kompetisi membuat salon lokal memperbaiki kualitas atau mati.
Selain Chinese entrepreneur, Indonesia jadi destinasi "Cina Nekat" dan Biksu palsu.
My colleague Mr Toto Huang sering ngeluh. Dia pedagang Hardware di Glodok. Belakangan banyak Chinese thugs berkeliaran menawarkan barang palsu.
Sebagai pedagang, Mr Toto Huang ngga berani menjual barang-barang ilegal. Tapi "Cina Nekat" itu malah berkeliaran dan nawarin. Ada sindikatnya. Dipastikan ada Bandit Tionghoa lokal ikut bermain.
Adanya sindikat bandit Chinese ini tidak disukai pedagang Tionghoa lokal. Mr Toto Huang inginnya pemerintah mengusir mereka. Bisnisnya bisa mati dihantam operasi ilegal semacam itu.
Penulis Anonim menandaskan Pemerintah RRT melibatkan Diaspora Tionghoa sebagai metode.
Hipothesis ngaco ini menandakan dia ngga ngerti geostrategis.
Dahulu, saya punya sahabat muslim pribumi. Ahli jaringan teroris. Singapore dan Jepang menyewa skillnya. Dia penetrasi ke pesantren-pesantren jihad.
Cara berpikir sama diaplikasi semua negara. Justeru seharusnya Pemerintah Jakarta yang menggunakan Diaspora Tionghoa sebagai alat penetrasi ke Tiongkok.
Itu biasa. Seperti Alwi Abdurrahman Shihab yang diberi tugas sebagai President's special envoy to the Middle East. Karena dia keturunan Arab.
Jadi percuma berusaha bungkus rasisme dengan analisa sok ilmiah. Rasis ya rasis. N biasanya seorang rasis itu pasti "bonehead".
Especially in Indonesia. Mayoritas rakyat tidak rasis. Spirit Anti-Cina berhenti pada sentiment. Sulit menjadi sebuah gerakan genocide.
Setau saya, rata-rata Tionghoa punya saudara pribumi. Hasil dari perkawinan.
Indonesia beda dari Singapore dan Malaysia. Teman Chinese Singaporean saya tidak punya teman Melayu. Di sana, India, Tionghoa dan Melayu hidup sendiri-sendiri. Tidak membaur. Saling hargai. Damai-damai saja.
Tionghoa di Indonesia pasti punya teman pribumi lebih banyak daripada teman sesama Chinese.
Di antara teman itu pasti ada yang sangat akrab dan saling melindungi. Sewaktu Prahara Mei 98 exploded, rumah saya dijaga Forkabi dan FBR. Karena kami dekat seperti brader.
Jadi daripada buang-buang energi berencana mengeliminasi ethnik Tionghoa sebaiknya para rasis ini bersahabat dan bersaudara dengan Chinese. Hanya Tuhan yang bisa memusnahkan satu ras manusia.
Paling asyik itu gaul sama Chinese yang baik. Percaya deh. Tionghoa itu kalo jahat ya jahat sekali. Kalo baik ya baik sekali.
Paling baik menjadi blood brother Tionghoa yang memahami Chinese' culture classic. Triad brotherhood itu tua. Ada semacam loyalty di sana.
Layaknya ethnik lain, sebagai manusia, Tionghoa juga pasti ngga suka dengan tingkah Cina arrogant. Baru punya backing Kanit Reskrim sudah berani terobos busway dan ngeluarin pistol.
Type manusia macam begini harus diberantas. Maka persatuan orang baik sangat dibutuhkan. Apa pun warna kulitnya.
oleh: Zeng Wei Jan Penulis adalah pemerhati sosial dan politik(rmol)