Penulis: Hendrajit (Wartawan Senior)
Dalam dua hari terakhir, saya terganggu betul dengan ulasan fan komen orang-orang tua tentang gerakan mahasiswa yang memang rada mendadak. Bukannya ngasih applouse, malah nyinyir. Kemana aja selama ini. Pasti ada yang nunggangi ini. Terus kenapa kok tema yang diusung soal ini dan bukan itu. Terus kenapa ke DPR dan bukan ke istana.
Saya malah jadi mikir. Jangan jangan para mahasiswa ogah gerak dan terkesan apatis, bukan watak mereka sebenarnya. Tapi karena nggak mau digurui terutama dalam cara dan bentuk pergerakannya, oleh orang orang tua macam kita kita ini.
Padahal logika sederhananya gini. Umur2 para mahasiswa yang turun kemarin itu kan, umur para emak emaknya kan yang juga aktif di gerakan 1998. Nggak mungkinlah etos kejuangan kemahasiswaan ibu atau babenya nggak tertularkan melalui berbagai cara, ke anak anaknya.
Jadi pertanyaan para seleb medsos, kok baru sekarang tampil, dulu ke mana aja. Itu ekspresi kesombongan. Seakan anak muda nggak punya wawasan, nggak punya ide orisinal, nggak punya strategi dan siasat, dan seakan nggak punya kemampuan membaca dinamika perkembangan yang ada saat ini.
Terus frase kalimat selama ini ke mana aja, jelas ini menggambarkan persoalan serius orang orang tua sekarang, terutama di kota besar. Tidak menyelami dan menghayati dunia anak muda. Buku, pesta dan cinta era kita dulu. Beda langgam dan ceritanya dengan anak anak muda sekarang.
Mengekspor dunia jaman kita ke jamannya anak muda sekarang nggak pas.
Lantas, gimana soa adanya tunggang menunggangi gerakan mahasiswa?
Katakanlah ada gelagat ke arah sana, dan saya kira niatan dari kalangan eksternal, siapapun mereka, pasti ada.
Masalah krusial di sini bukan adanya potensi campurtangan dari luar mahasiswa, tapi bagaimana kita memandang kebangkitan kembali anak anak muda dari masa tidurnya yang panjang sebagai hal yang patut diapresiasi dan didukung. Itu dulu.
Bukannya dengan cara menghakimi independensi mahasiswa. Kita yang justru harus ikutan gugah semangat dan mengondisikan mahasiswa agar gerakannya murni moral force. Jadi dasarnya harus sangka baik dulu.
Kalau belum belum sudah sangka buruk jangan2 ditunggangi, apa nggak kita sebenarnya sedang menjerumuskan anak anak kita ke arena politik praktis? Padahal mahasiswa itu sejatinya gerakan moral lho.
Apapun metode gerakan para mahasiswa itu efektif atau tidak. Terus isu yang diusung kok soal rkuhp atau kpk, dan kenapa nggak ke dpr. Itu bisa kita kritisi dalam proses perjalanannya. Biar dulu lah. Ibarat mobil dah lama nggak disetarter, sekarang manasin mesin lagi.
Dalam situasi seperti saat ini. buat gerakan mahasiswa, kemunculannya itu yang lebih penting. Tema dan isu gerakan cuma jembatan aja, bukan yang utama. Mahasiswa itu sejatinya adalah katalisator perubahan. Membuka jalan aja. Menjebol kebuntuan sosial politik dan sosial budaya.
Yang harus kita syukuri dalam dua hari ini, bahwa hasrat sejati anak muda untuk peduli urusan bangsa ternyata masih hidup. Belum padam.
Ingat. Para penggerak tercetusnya Sumpah Pemuda 1928 seperti Muhammad Yamin, Abu Hanifah, Sugondo Djojopuspito, Amir Syarifuddin. Di usia para mahasiswa yang turun ke senayan dalam dua hari ini. (*)