Oleh: Noviyanto Aji
Wakil Pemimpin Redaksi RMOL Jatim.
BELUM lama ini seorang teman mengeluh sekaligus heran. Dia menerima tagihan via SMS dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Isinya disuruh bayar iuran. Tidak tanggung-tanggung, teman ini nunggak hingga Rp 5.610.000.
Maklum, sudah 5 tahun tidak bayar iuran, kata teman.
Sengaja tidak dibayar. Sebab, dia sudah tidak suka dengan pelayanannya. Berbelit-belit. Antri berjam-jam. Yang sakit bertambah parah, yang sehat (pengantar) malah menjadi sakit. Karena harus antri itu tadi.
Anehnya, setelah bertahun-tahun, nama teman ini rupanya masih terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Dikira sudah dihapus.
Lalu selama bertahun-tahun ini namanya sudah melancong kemana saja. Apa namanya dibuat jaminan utang?
Kini setelah bertahun-tahun, baru ditagih. Jadi buruan BPJS. Jadi DPO dia.
"Mohon segera lakukan pembayaran. Abaikan (pesan) jika sudah bayar," demikian bunyi pesan tersebut.
Pesan tersebut terkesan seperti 'intimidasi' meski bernada permohonan. Mengapa disebut intimidasi, karena pesan tersebut dikirim berkali-kali.
Tidak menganggu sih. Cuma kesannya aneh dan lucu. Seperti orang mengiba. Minta utangnya dibayar. Padahal ini kan iuran.
Kesannya, negara kok mengiba pada rakyat.
Di Depok, RT dan RW malah menjadi juru tagih atau dept collector BPJS Kesehatan. Cuma, masih diujicobakan.
Pelayanan BPJS Kesehatan dikiritik pun percuma. Sistemnya sudah bobrok dari awal. Bukannya diperbaiki, malah mau menaikkan iuran.
Sekarang, BPJS Kesehatan malah mengklaim defisit. Diberi solusi dari para ahli, BPJS cuek. Pura-pura pasang muka tebal, telinga ditutup rapat-rapat.
Solusinya ya itu, menaikkan iuran. Malahan kenaikan iuran dibarengi dengan "ancaman".
Sri Mulyani, Menteri Keuangan terbalik - kata Rizal Ramli, mengancam akan memberi sanksi kejam.
Yang nunggak iuran BPJS Kesehatan tidak boleh memperpanjang surat izin mengemudi (SIM) dan mendaftarkan sekolah anaknya.
Separah itukah kondisi keuangan negara? Apa negara ini mau bangkrut? Atau jangan-jangan negara mau dijual ke Asing dan Aseng. Sampai-sampai harus mengiba dan mengancam pada rakyatnya.
Cara-cara yang digunakan mirip komunis.
Main ancam, main gebuk. Pokoknya rakyat ditindas.
Lihat saja laporan Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chaves saat bertemu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan.
Bank Dunia melaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa tak ada satupun dari 33 perusahaan China yang merelokasi pabriknya ke Indonesia.
Chaves membeberkan ada 33 perusahaan terbuka asal China merelokasi pabriknya ke Vietnam, Thailand, bahkan Meksiko.
Kasihan, Indonesia sama sekali tidak dilirik. Meski pemerintah telah menggelar 'karpet merah' selebar-lebarnya pada China dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, rela ibukota pindah.
Barangkali China memang bukan mau berinvestasi, melainkan memberi pinjaman alias utang. Beda investasi dan utang. Silahkan tanya pada ahli ekonomi.
Dengan utang menumpuk, negara bisa diambil alih. Seperti empat negara yang gagal membayar utang ke China yakni Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka dan Pakistan.
Gagal bayar utang mencapai 40 juta dolar AS ke China karena pembangunan infrastruktur, Zimbabwe kini harus mengikuti keinginan China mengganti mata uangnya menjadi yuan. Sebagai imbalan penghapusan utang.
Atau kemungkinan buruk lainnya, Indonesia hanya dijadikan negara "sales". Menjualkan mobil merk Changan milik China yang sudah diganti merk menjadi Esemka, seperti tudingan banyak kalangan. (*)