GELORA.CO - Masyarakat pada umumnya meyakini kalau untuk bisa lolos menjadi anggota DPR atau DPRD butuh biaya yang besar. Bahkan konon bisa mencapai angka miliaran rupiah.
Hal ini disanggah oleh Diana Amaliyah yang kini resmi menjadi anggota DPRD Jawa Timur periode 2019-2024. Untuk bisa menjadi anggota legislatif di Provinsi Jawa Timur, Diana hanya butuh dana tak sampai Rp 30 juta.
Perempuan bernama lengkap Diana Amaliyah Verawatiningsih ini menjadi salah satu dari 120 anggota DPRD Provinsi Jatim yang dilantik, Sabtu (31/8). Politikus PDI Perjuangan itu dikenal sebagai pegiat literasi yang kerap blusukan dari kampung ke kampung untuk menyebarkan virus membaca. Termasuk mendorong terbentuknya banyak perpustakaan komunitas dan menggelar berbagai diskusi buku.
Penguatan budaya literasi adalah syarat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Di Jatim IPM sudah tinggi, namun belum merata. Misalnya, IPM Surabaya sangat tinggi, tapi di daerah lain rendah. Penguatan literasi ini juga sejalan dengan visi pembangunan SDM dari Presiden Jokowi 5 tahun ke depan,” ujar Diana Sasa, sapaan akrabnya dikutip RMOLJatim.
Terpilih dari dapil Jatim IX (Magetan, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan), biaya kampanye Diana terbilang minim dibanding caleg lainnya. Hanya berkisar di bawah Rp 3 juta.
”Biaya kampanye saya sekitar Rp 25 juta saja. Untuk cetak kartu nama, kampanye digital, dan operasional mengunjungi warga. Saya tak pernah bikin pertemuan skala besar,” ujar Diana yang meraih 31 ribu suara warga.
Ini merupakan kali ketiga Diana maju sebagai caleg DPRD Jatim dari dapil yang sama. Sebelumnya dia sudah berusaha pada 2009 dan 2014, namun tidak lolos.
Meski tak lolos, sejak 2009 dia tetap melakukan kerja-kerja politik dan sosial. Terutama menyebarkan virus membaca ke desa-desa. Lewat jalan itulah sosok Diana Sasa makin dikenal masyarakat.
Maklum, perjuangannya dalam menyebarkan virus literasi tak bisa dipandang remeh. Dia bahkan merelakan rumahnya sebagai perpustakaan umum dan tempat berdiskusi anak-anak muda. Ribuan koleksi bukunya bisa dipinjam secara gratis. ”Saya sering dijuluki tukang buku,” kata Diana terkekeh.
”Yang menarik, meski banyak buku dipinjam warga, tak satu pun hilang. Mereka bawa pulang, selesai membaca, selalu dikembalikan. Kita harus belajar ke warga di kampung yang begitu jujur," ungkapnya.
Dia menambahkan, "Jadi jika teman-teman punya koleksi buku, jangan takut berbagi kepada warga yang mungkin belum berkemampuan finansial membelinya. Berbagi buku itu luar biasa manfaatnya.”
Dengan modal sosial itulah, rasa kepercayaan kepada Diana terpupuk secara alami. Otomatis hal tersebut berdampak terhadap biaya politiknya yang rendah.
”Saya ingin menepis anggapan bahwa yang bisa berpolitik hanya orang-orang bermodal gede. Masyarakat butuh edukasi. Masyarakat cerdas melahirkan politisi cerdas, jadi bukan soal duit semata,” pungkas alumnus Universitas Negeri Surabaya tersebut. (Rmol)