Perekonomian Nasional Dinilai Tidak Akan Kuat Hadapi Gejolak Ekonomi Global

Perekonomian Nasional Dinilai Tidak Akan Kuat Hadapi Gejolak Ekonomi Global

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Perlambatan ekonomi global dan gejolak perang dagang Amerika Serikat dan China bisa menjadi momok menakutkan bagi perekonomian nasional, bilamana tidak disikapi dengan prudent dan dengan strategi yang jitu.

Pasalnya, meski perlambatan berada di tingkatan global, perekonomian Indonesia tetap berisiko mengingat indikator-indikator ekonomi sedang mengalami kelesuan. Alhasil, tekanan dari perekonomian global akan sangat mudah memberikan efek negatif terhadap perekonomian nasional.

“Indonesia sangat mudah terpengaruh, karena daya tahan di dalam negeri juga lemah,” ujar Head of Research Data Indonesia, Herry Gunawan kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/9).


Menurut Herry, yang paling rentan terpukul akibat tekanan ekonomi global adalah ekspor Indonesia. Saat ini saja, kata Herry, kinerja perdagangan internasional Indonesia tidak bisa disebut menggembirakan.

"Agustus 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ekspor Indonesia yang sebesar 14,28 miliar dollar AS, turun 9,99 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu," katanya.

Bahkan secara kumulatif, lanjut Herry, pada Januari-Agustus 2019, ekspor turun 8,28 persen dibandingkan periode sebelumnya.

“April 2019 neraca perdagangan Indonesia mencatatkan yang terburuk sepanjang sejarah. Ditambah dalam kondisi sekarang, ketika banyak negara protektif terhadap pasarnya sebagai antisipasi perlambatan ekonomi global, kondisinya bisa makin buruk,” jelasnya.

Selain ekspor yang rentan, di sisi indeks manufaktur Indonesia juga suram, kondisi yang dihadapi sekarang indeks manufaktur Indonesia mengalami penurunan yang cukup tajam. Pada Agustus, posisinya sebesar 49,0 dari 49,6 di bulan selanjutnya.

“Data itu menunjukkan bahwa kondisi industri manufaktur Indonesia sedang sangat lesu,” ujarnya.

Dari data tersebut, ia menjelaskan, menggambarkan lesunya pesanan barang kepada industri manufaktur, sehingga berdampak terhadap penurunan aktivitas produksi sebagai respons terhadap melemahnya pesanan.

Selain itu, Herry juga menyampaikan, tekanan terhadap perekonomian bukan hanya datang dari neraca perdagangan yang buruk sehingga pada akhirnya menurunkan kualitas neraca pembayaran, tetapi juga posisi keuangan pemerintah yang tidak baik.

Realisasi penerimaan negara hingga Juli 2019 hanya 49 persen dari total target. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang 52 persen. Lemahnya penerimaan ini, menurut Herry, sangat mempengaruhi kas pemerintah atau yang biasa disebut dengan keseimbangan primer (primary balance).

"Sejak 2012, keseimbangan primer–penerimaan dikurangi belanja (tanpa memasukkan pembayaran utang) sudah minus. Dengan kantong (pemerintah) yang minus itu, jalan yang mungkin diambil oleh pemerintah adalah utang baru dan menurunkan subsidi,” ungkapnya.

Terkait dengan subsidi, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah sudah memastikan untuk mengurangi subsidi energi, terutama untuk bahan bakar minyak (BBM) dan LPG. Pada 2019 nilainya Rp 100,7 triliun, kini hanya disisakan Rp 70 triliun.

“Konsekuensinya kan ada potensi kenaikan harga BBM, yang biasanya diikuti oleh harga barang dengan alasan ongkos transportasi naik,” katanya.

Belum selesai pemangkasan subsidi, pemerintah disinyalir akan melanjutkan tren berutang untuk menambal kas yang negatif tersebut.

“Utang untuk menambal kas yang minus ini kan seperti jebakan ‘lingkaran setan utang’, karena tidak bisa keluar dari jeratan. Melingkar di situ-situ saja, yaitu numpuk utang terus untuk membayar utang juga,” katanya.

Hingga Juli 2019, utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp 4.604 triliun. Sebagian besar atau 83 persen dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Sedangkan dari sisi kewarganegaraan pemberi utang, data Bank Indonesia menyebutkan bahwa 59,27 persen adalah asing. Kondisi serupa juga terjadi di SBN, yaitu 51,12 persen dipegang oleh asing. Dominasi tersebut terjadi sejak 2017.

Herry menilai, kondisi utang yang mayoritas dipegang asing sangat berisiko. Potensi terjadinya penarikan tiba-tiba (sudden reversal) sangat tinggi, karena “ideologi” investor di portofolio keuangan adalah keuntungan sesaat. Artinya, jika ada potensi keuntungan lebih dari instrumen lain, terutama dari negara lain, saat itu juga dana di SBN bisa dilepas.

“Karena mayoritas surat utang dipegang asing, saat ditarik keluar akan dikonversi ke dalam dollar AS. Akibatnya, tekanan terhadap nilai tukar Rupiah makin kuat,” paparnya.

“Ekonomi Kita mudah masuk angin, alias berisiko tinggi,” imbuhnya. (Rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita