People Power, Gerakan Mahasiswa, Dan Masa Depan Rezim Jokowi

People Power, Gerakan Mahasiswa, Dan Masa Depan Rezim Jokowi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp
OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

GELORA.CO - JOKOWI turun, Jokowi turun, Jokowi turun,” demikian sebagian lagu-lagu dari sebagian mahasiswa long march ke DPR dan di berbagai daerah ke DPRD beberapa hari belakangan ini.

Meskipun tuntutan semula mahasiwa hanya pada DPR terkait revisi UU KPK, aksi mahasiwa meluas ke arah pusat kekuasaan yakni Jokowi. Sebab, memisahkan DPR yang dikuasai Jokowi dengan Jokowi sendiri, yang turut mendukung revisi UU tersebut tidak mungkin terjadi.

Hari ini gerakan mahasiswa tidak surut karena kemarin gerakan ini dipatahkan oleh aparat polisi. Beberapa mahasiswa terluka, dan sebagaian pecah kepala dan pendarahan otak. Bahkan, dikabarkan seorang mahasiwa meninggal akibat kekerasan fisik yang dialami saat bentrok dengan aparat.


Tidak surutnya gerakan ini bahkan ditandai dengan munculnya gerakan remaja alias siswa. Hari ini dan kemarin anak-anak STM (Sekolah Teknik Menengah) datang ke DPR, malah lebih berani dari seniornya mahasiswa.

Beberapa video viral menunjukkan anak-anak remaja ini menyerang aparat dan menendang-menendang mobil patroli aparat.

Kemarin saya sudah menulis bahwa “the unprecedented” adalah situasi baru era sekarang ini, yang dijelaskan oleh professor Shoshona  Zuboof of Harvard University dalam “The Surveillance Capitalism", 2019, untuk tidak melihat bahwa suatu kejadian besar haruslah secara serial dari sesuatu yang kecil.

Hal ini untuk menjelaskan publik kenapa gerakan mahasiswa tiba-tiba saja besar, tanpa gerakan kecil dalam skala kampus maupun kota.

Pada kesempatan ini, saya ingin menambahkan penjelasan teoritik situasi sekarang ini dengan menambah suatu kazanah baru dalam ilmu sosial, yang disebut "Youthquake".

James Sloam dan Matt Henn dalam "Youthquake 2017: The Rise of Young Cosmopolitans in Britain", Palgrave, 2018, melihat berbagai kebangkitan politik anak2 usia remaja, 18-24 tahun diberbagai negara eropa dan Amerika. Kebangkitan politik ini bukan dalam pengertian elektoral alias partai politik dan parlemen, melainkan antara lain kepedulian pada isu-isu kebebasan, kemanusian, lingkungan hidup dan anti korupsi.

Gerakan mahasiwa dan remaja ini pada intinya adalah “anti establishment” dan sensitif terhadap kesombongan kekuasaan. Dalam kasus di Inggris, penulis ini menunjukkan adanya pergeseran kaum mudah menjadi pro pada “globalist-left“, setelah isu Brexit.

The unprecedented dan Youthquake di atas penting untuk dipahami kekuasan dan kaum cendikiawan untuk menilai bahwa tuduhan bahwa gerakan mahasiswa ini ditunggangi atau diarahkan untuk kepentingan tertentu tidak berdasar.

Dengan alasan teoritik yang tepat tentu kita mengetahui bahwa gejala sosial di Indonesia, sesungguhnya adalah penyebab utama gerakan mahasiswa dan juga remaja kita saat ini.

Gejala sosial itu antara lain ditunjukkan oleh kesombongan kekuasaan dalam kasus lingkungan hidup kebakaran hutan, isu pindah ibukota dan revisi UU KPK yang tidak mengindahkan dialog pada rakyat.

Independensi Gerakan dan Pengkhianatan Demokrasi

Ray Rangkuti, intelektual pendukung rezim Jokowi, yang juga pelaku utama reformasi 98, sudah dua hari ini menjelaskan bahwa gerakan mahasiswa saat ini adalah gerakan murni, tidak ditunggangi. Dia juga berharap agar kawan-kawan angkatan 1998, khususnya Masinton Pasaribu dan Fahri Hamzah, tidak menyepelekan gerakan ini.

Persoalannya kemudian adalah gerakan murni ini dihalau dengan kekuasaan. Pada 12 April 1989, misalnya, kepala Fadjroel Rahman, komisaris utama Adhi Karya, otak rezim Jokowi, kepalanya pecah dipukul polisi, ketika demo mahasiwa di Bandung.

Pada saat itu, setting politik Indonesia Orde Baru memang bukan demokrasi, melainkan otoriter, sehingga gerakan mahasiswa haruslah dimusnahkan. Namun, pecahnya kepala mahasiswa saat ini, sangat kontras dengan klaim Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar.

Menyerang gerakan-gerakan rakyat seperti kelompok-kelompok Islam 212, oleh kekuasaan Jokowi, dengan alasan kelompok-kelompok ini dituduhkan  mempunyai ciri-ciri radikalisme dan fanatisme agama, mungkin masih dapat diterima sebagian kelompok-kelompok pro demokrasi.

Namun, ketika gerakan mahasiswa, yang merupakan gerakan non ideologis kiri/kanan, mengalami penghalauan dengan kekerasan, semua akhirnya harus meyakini bahwa rezim ini tidak “compatible” dengan demokrasi.

Pandangan Ray Rangkuti hanyalah "puncak gunung es" dari elemen-elemen pendukung Jokowi. Sebelumnya media pendukung Jokowi, Tempo, sudah membuat karikatur Jokowi dengan bayangnya Pinokio dan JP membuat karikatur Jokowi dengan bayangan Suharto.

Dibalik "puncak gunung es" ini tentu ada kekuatan besar rakyat Indonesia yang kecewa dengan Jokowi. Pengkhianatan demokrasi buat mereka adalah kebiadaban besar. Hal ini tertutupi ketika 5 tahun belakangan ini Indonesia terbelah dalam politik identitas. Setelah pemilu usai, maka pengkhianatan ini menjadi muncul kepermukaan.

Masa Depan Rezim Jokowi

Jokowi telah memenangkan Pilpres 2019. Dalam memasuki term keduanya, Jokowi dihadapi kenyataan bahwa demokrasi mati atau hampir mati di bawah kekuasannya. Persoalannya kemudian apakah rakyat menerima kehidupan autokrasi ke depan? Khususnya ketika globalisasi era internet ini mengantarkan dunia pada kebebasan sipil.

Jika rezim Jokowi akan mengelola pemerintahan tanpa demokrasi, Jokowi harus mampu seperti Suharto di masa orde baru, yang mengangkat ekonomi Indonesia menjadi salah satu negara “new emerging countries”.

Jika Jokowi memberlakukan autokrasi tapi ekonomi terus memburuk, maka pembrontakan rakyat tidak mungkin terhindarkan.

Catatan Akhir

Keberanian mahasiwa dan anak-anak remaja sekolah menengah tidak kalah dari kelompok-kelompok Islam 212 dalam membicarakan kebenaran dan keadilan. Gejala dunia di mana kebangkitan kalangan remaja yang anti establishment meningkat, sudah saatnya kekuasaan dikelola dengan demokrasi dan dialog. Apalagi ketika keadilan sosial yang dijanjikan negara tidak terpenuhi.

Pengkhianatan terhadap demokrasi dan komitmen pemberantasan korupsi akan menjadi sumber ketidakstabilan bagi rezim Jokowi ke depan. Termasuk elit-elit partai-partai pendukung Jokowi.

Hati hati, gerakan people power bisa segera terjadi. Lihatlah tagar #AnakSTM sudah mencapai 356.000 tweets dan #STMmelawan 238.000 tweets belum sampai 12 jam di medsos.


Dunia medsos akan mempercepat krisis jika kekuasaan Jokowi tidak hati-hati meng "handle" situasi yang ada. Satu-satunya jalan bagi Jokowi adalah kembali pada demokrasi dan dialog sosial politik. (Rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita