GELORA.CO - Kepala Kantor Staff Kepresidenan (KSP), Moeldoko sempat mencuit di akun twitternya merespons bencana asap karhutla. Menurutnya, kondisi ini tak lepas dari takdir Tuhan.
“Segala musibah datangnya dari Allah SWT dan diperuntukkan untuk hambaNya yang Ia percayai dengan porsiNya masing-masing. Musibah bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dan dimana saja,” tulisnya dikutip Selasa (17/9).
“Dan yang perlu kita lakukan bukannya mengeluh tapi berusaha menjalaninya dengan ikhlas dan berdoa meminta pertolongan Allah SWT.”
“Termasuk musibah yang menimpa Pekanbaru, Riau yang sedang terjadi juga datangnya pun dari Allah SWT,” kata Moeldoko dalam rangkaian twit-nya.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengkritik keras respons Moeldoko selaku pejabat publik. Menurut ICEL karhutla bukan bencana dari Tuhan, tetapi kelalaian dalam perencanaan dan pencegahan.
Selama ini, menurut ICEL, pendekatan yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi karhutla masih sebatas penanggulangan dan penegakan hukum. Fungsi pencegahan dan pengawasan masih minim perhatian.
Dalam penelitian audit kepatuhan karhutla yang disusun ICEL (2017), dijumpai temuan belum adanya pengawasan periodik dan intensif, data pencegahan dan pengawasan yang tidak transparan, serta belum adanya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG).
Evaluasi perizinan juga tidak pernah dilakukan. Bahkan perizinan di bidang lingkungan seringkali dianggap menghambat investasi dan hendak dipangkas. Hal ini tampak jelas dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 mengenai Online Single Submission (PP OSS) di mana dikenal adanya Izin Lingkungan hanya berdasarkan komitmen semata.
Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Pengembangan Program ICEL secara khusus menyoroti keseriusan pemerintah dalam menangani isu karhutla. Menurutnya, karhutla 2019 menunjukkan ketidakcakapan Presiden Joko Widodo dalam menangani masalah ini.
“Perlu dicatat, periode pertama pemerintahan Jokowi dibuka dan ditutup dengan karhutla. Dengan segala hormat kepada tim yang sudah bekerja di lapangan, masalah ini adalah tanggung jawab utama presiden,” ujarnya lewat pesan tertulis kepada Indonesiainside.id, Selasa (17/9).
Dia menjelaskan, setelah karhutla tahun 2015, Presiden membuat Inpres No. 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Tetapi Inpres tersebut tidak dijalankan dan diawasi dengan serius.
“Dari hasil sengketa informasi antara ICEL dengan Kemenkopolhukam tahun 2018, terungkap bahwa tidak pernah ada laporan pelaksanaan Inpres tersebut, sehingga pelaksanaan pengendalian karhutla yang diamanatkan Inpres 11/2015 patut dipertanyakan,” katanya.
Adapun dalam amar Putusan Sengketa Informasi Nomor 001/1/KIP-PS-A/2017 yang disebutkan Raynaldo, Komisi Informasi memerintahkan kepada Kemenkopolhukam selaku Termohon untuk menyusun laporan pelaksanaan Inpres No. 11 Tahun 2015 dan memberikannya kepada Pemohon sebagai informasi publik yang terbuka untuk umum.
Kemudian, lanjutnya, terhadap Putusan CLS Palangkaraya yang isinya adalah pelaksanaan kewajiban hukum saja pun, Presiden masih mau mengajukan PK. Seandainya dari tingkat banding Presiden tidak PK, maka kebijakan dan sistem pengendalian karhutla berdasarkan putusan tersebut sudah tersedia.
“Terakhir yang perlu diingat, sebagian dari isi putusan tersebut berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia.” kata Raynaldo. [ns]