Omnibus Law: Mainan Baru Perijinan Pemerintahan Jokowi

Omnibus Law: Mainan Baru Perijinan Pemerintahan Jokowi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh Sumantri Hassan

Omnibus Law di tengarai rezim sebagai solusi praktis mengatasi kendala dari politik perijinan undang undang administrasi pemerintahan. Ada 72 perijinan yang menghambat menurut versi pemerintah pusat.

Presiden menargetkan satu bulan harus berdiri Omnibus Law. Dan terkait soal perijinan, terbetik kabar tanggal 24 September 2019 di Hari Tani, rakyat kecil seperti petani meradang menuntut haknya di hari petani menggugat RUU Pokok Agraria yang akan disahkan.

Jika hanya soal pelayanan perijinan hingga perlu ditata ulang. Pertanyaan sederhana bagaimana dengan niatan awal dan sudah berjalan seperti adanya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)?

Kebijakan PTSP yang di tahun 2012 diinisasi rezim SBY dan tahun 2012 adalah kali pertama Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Kebijakan PTSP yang masih berjalan tupoksi utamanya mempercepat layanan perijinan. Mengapa harus dibuat lagi lembaga baru yang bernama Omnibus Law. Untuk apa ada PTSP kalau harus ada lembaga baru? 

Sofyan Djalil selaku menteri adalah salah seorang pakar hukum bisnis di dunia  internasional di duga sebagai pembisik utamanya.

Harusnya Presiden melakukan apa yang disampaikan Prabowo Subianto dalam debat pilpres ketika ditanya soal tumpang tindih hukum. 

Beliau kala itu menjawab taktis bisa dilihat jejak digital agar segera dilakukan harmonisasi hukum dengan mengoptimalkan fungsi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Impact dari tidak adanya kajian serius harmonisasi hukum pelbagai produk undang undang menjadi tidak sinkron. Alih alih menghalau korupsi, mengejar efisiensi dan investasi malah terjadi sebaliknya.

Organisasi pemerintahan Jokowi semakin gemuk. Semua pimpinan instansi jadi raja kecil. Jangankan seorang menteri, seorang kepala dinas dan kepala seksi yang terlalu lama di bidangnya bisa saling veto berkas yang diajukan. Ini fakta. Terburuk dihilangkan berkasnya jika tidak mengamini maunya si birokrat.

Tolong ditahan dulu pembentukan lembaga yang menghabiskan biaya. Lima tahun tidak lama loh. 

Kita bisa sepakat perlu percepatan. Tapi bukan lembaga baru. Ada saran praktis.Buatlah yang lebih permanen seperti perlunya pejabat escrow. Ini juga praktek lazim di negara maju.

Notaris/PPAT/Escrow

Tentang Escrow harusnya Sofyan Djalil lebih paham. Karena ia seorang ahli hukum bisnis. Baiknya buat yang permanen dan bervisi jangka panjang. 

Lahirnya Pejabat Escrow, syaratnya bekerja sama dengan kampus kampus untuk perbaiki kurikulum ilmu hukum di Indonesia yang sudah sedemikian kadung kena impact hukum common law dari desakan para investor asing. 

Pejabat Esrow ini nantinya setingkat dengan profesi notaris selaku pejabat negara. Optimalkan BPHN yang bisa membuat suatu rancangan undang undang tidak ditolak. Libatkan Ikatan Notaris Indonesia (INI) dalam menuju persiapannya. 

Sehingga ke depan nanti bukan lagi Notaris/PPAT tapi Notaris/PPAT/Escrow. Nah, Pejabat escrow inilah yang akan menjembatani perijinan dan sengketa hukum para investor.

Dampak turunannya lebih positif bagi dunia ilmu hukum. Tercipta dinamika dari profesi baru tersebut. Tidak perlu anggaran negara. Ketimbang membentuk wadah baru, Omnibus Law hanya menambah permainan baru di dunia perijinan pemerintah. 

Satu lagi, pengalaman Presiden Jokowi sendiri dari praktek sekuritisasi pada jalan tol yang bisa sembilan bulan satu contoh aktual. Bukan notaris yang mampu mengerjakan legal drafting sekuritisasi. Tapi Pejabat Escrow. 

Dan akhirnya Presiden tidak perlu lagi menegur di muka umum keterlambatan bisnis karena lambannya notaris. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita