GELORA.CO - KEINGINAN menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi diskursus yang perlu dikembangkan. Perbincangan GBHN bukan saja dari kalangan elite politik, tetapi diperbincangkan masyarakat bawah. Perbincangan yang mengarah pada satu kesimpulan, GBHN adalah kebutuhan yang harus segera diimplementasikan.
Manakala situasi politik Indonesia yang tidak terarah saat ini, kerinduan pada GBHN hadir. Namun yang harus menjadi catatan, menghadirkan kembali GBHN bukan berarti kita kembali dalam sistem politik sebelum reformasi. Perbincangan menghadirkan kembali GBHN adalah bentuk kesadaran, kecintaan akan adanya kekhawatiran atas kondisi negara bangsa Indonesia.
Berbeda dari kalangan yang phobia pada GBHN. Keinginan tersebut tidak selalu mendapati respons positif. Meskipun mengatasnamakan demokrasi atau reformasi, tetapi keberadaan GBHN harus terkubur dalam-dalam. GBHN selalu dipersalahkan, karena dinilai salah satu instrumen politik kembalinya rezim prareformasi.
Selain alasan trauma yang melahirkan sikap phobia, kalangan liberalis menyimpulkan, menghadirkan kembali GBHN sudah tidak lagi relevan diterapkan dalam iklim demokrasi Indonesia saat ini. Tidak berhenti di situ, pandangan yang lebih lebih liberal, menghadirkan kembali GBHN akan menghambat proses pembangunan politik yang berjalan.
Bukan persoalan mudah mendudukkan bersama pertentangan GBHN dan demokrasi. Diperlukan kebijaksanaan untuk menyikapi dua pandangan berbeda. Demokrasi takbisa dipaksa berhenti hanya menghadirkan kembali GBHN. Begitu pun sebaliknya, menghadirkan kembali GBHN juga tidak bisa dihalangi, karena alasan demokratisasi..
Agar hasil yang dicapai dapat memuaskan semua pihak, proses menghadirkan GBHN harus dilandasi falsafah kebangsaan dan prinsip demokrasi. Demokrasi harus terus berjalan. Berjalan sesuai koridor GBHN.
Pancasila dan MPR
Pancasila takkan tergantikan sebagai dasar negara. Pancasila adalah ideologi. Cara pandang negara bangsa Indonesia. Namun, Pancasila takbisa dibiarkan tanpa roh. Pancasila membutuhkan instrumen yang dapat mengoperasionalkan nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila, agar tidak terjadi pembenaran sepihak dan merasa paling Pancasila.
Selama ini, Pancasila hanya dijadikan lips service untuk kepentingan dan menguntungkan secara politik. Islam adalah Pancasila. Nasionalis tidak mau tertinggal juga Pancasila. Komunisme juga mengklaim adalah Pancasila. Kita tentu sepakat, Pancasila adalah Indonesia.
Berbeda ketika negeri ini mengalami ketimpangan atas rasa keadilan. Ketuhanan yang dihadapkan dengan perilaku individualis, persatuan yang mulai terkoyak, memudarnya rasa gotong royong dan kemanusiaan sesama anak bangsa, kepemimpinan bangsa yang lemah, kesejahteraan rakyat yang jauh dari ekonomi kerakyatan, dan upaya liberalisasi seluruh sektor kehidupan bangsa, kita hanya mampu terdiam..
Terdiam karena memang Pancasila takbisa dioptimalkan dan takbisa juga ditafsirkan oleh satu pihak. Disinilah GBHN diperlukan. GBHN sebagai instrumen untuk menafsirkan Pancasila. Bukan saja ditafsirkan, tetapi harus dilaksanakan negara..
Pancasila dan GBHN adalah satu kesatuan. Pancasila sebagai falsafah negara bangsa Indonesia, GBHN adalah perangkat hukum yang mengoperasionalkan Pancasila dan melindungi NKRI dari berbagai rongrongan..
Persoalannya kemudian, bagaimana mekanisme menghadirkan atau melembagakan GBHN? Pendiri bangsa ini sebenarnya telah mempersiapkan lembaga untuk itu. Lembaga tersebut adalah MPR. Dalam perumusannya, pendiri bangsa sudah memisahkan antara padanan "Majelis Permusyawaratan dan Dewan Perwakilan"..
Konstruksi sistem perwakilan yang dibangun pendiri bangsa memiliki kesamaan dengan sistem yang digunakan Inggris. MPR ditempatkan sebagai lembaga tertinggi (sebelum amandemen) yang menaungi kemajemukan masyarakat Indonesia. .
Secara filosofi, keberadaan MPR jauh lebih plural ketimbang Inggris, karena dalam sistem perwakilan Inggris hanya untuk menaungi satu kerajaan, Indonesia hampir setiap daerah memiliki kerajaan dengan karakteristik berbeda yang satu dengan lainnya, baik secara adat istiadat, bahasa, dan suku yang didalamnya terdapat unsur kepemimpinan.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) konon dibentuk untuk menjaga ideologi Pancasila. Meskipun diisi oleh tokoh-tokoh nasional, tetapi tidak menjadikan BPIP sebagai solusi kebangsaan.
GBHN itulah kunci. Mengembalikan MPR untuk memiliki kewenangan menetapkan GBHN, bukan suatu keniscayaan untuk kembali melalui amandemen konstitusi.
Amandemen yang sedang digagas harus melahirkan trisakti demokrasi, yaitu MPR sebagai lembaga tinggi (bukan tertinggi) yang memproduksi GBHN. GBHN sebagai produk kebangsaan adalah, penterjemah dari hasil demokrasi di lembaga tinggi MPR dan Pancasila sebagai falsafah kebangsaan yang dapat dioperasionalkan dalam GBHN sebagai benteng untuk menghadapi berbagai gangguan yang dapat merusak negara bangsa Indonesia.
Penulis: Direktur Laboratorium Ilmu Politik Fisip UMJ (rmol)