Logika Antara Asap, KPK Dan Kerja Buzzer

Logika Antara Asap, KPK Dan Kerja Buzzer

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

 YUDHI HERTANTO

GELORA.CO - SILIH berganti persoalan berlanjut terjadi. Kini soal asap yang membumbung tinggi akibat kebakaran hutan dan lahan. Dampaknya semua tercemar sekaligus tertutup polusi. Begitu juga kabut awan hitam menggantung di langit pemberantasan korupsi negeri ini. Surpres itu sungguh mengejutkan, alias bikin surprise!

Lagi-lagi, netizen menjadi penghakim yang setia. Perdebatan menyeruak, mendadak perselisihan cara pandang kembali dikaitkan dengan perbedaan pilihan politik saat kontestasi. Walhasil, dampak polarisasi tidak kunjung mengalami perbaikan.

Kalaulah kritik dianggap terlalu keras sampai kepada pilihan politiknya, maka istilah nyinyir dipergunakan untuk menyepadankan kritik bagi pemimpin. Padahal kritik menjadi penting untuk merawat nalar, mencegah terjatuhnya kepemimpinan menjadi antikritik.


Bahaya bila pemimpin mulai dijauhkan dari kritik terhadapnya. Pemimpin bukan semata soal individu -personal, lebih jauh soal kebijakan -organisasional. Tersebut pemimpin terpilih, diberi mandat untuk mengambil kebijakan bagi semua pihak.

Sejatinya sebuah kewajaran, bila kritik diluncurkan publik, terutama agar kekuasaan dalam pengambilan kebijakan tidak menjadi salah arah. Kekuasaan absolut akan menjadi sangat otoriter, bila tidak dibarengi dengan kritik terhadapnya. Itulah ancaman bagi demokrasi.

Perkara Asap

Persoalan ini bukan barang baru. Kebakaran hutan dan lahan sudah berulang kali terjadi. Tidak juga ada koreksi dan evaluasi. Banyak pendekatan yang dapat dibaca dari bahaya mengancam bencana asap.

Pada konteks cuaca, dimana kemarau panjang melanda, bahaya kebakaran memang secara potensial mengalami peningkatan. Kita tentu harus lebih sigap dalam mengantisipasi dan berusaha, dibanding menyalahkan kondisi alam.

Pemakaian aspek teknologi untuk melakukan pemetaan hotspot di berbagai lokasi rawan kebakaran harusnya dapat dijadikan sebagai acuan pengambilan kebijakan. Tidak perlu menunggu hadirnya asap, baru bertindak secara reaktif, tetapi sudah terlebih dahulu mempersiapkan model penanganan yang lebih bersifat proaktif.

Kebakaran hutan dan lahan bukan semata soal kondisi iklim dan cuaca yang merupakan aspek alamiah. Kita memahami bila kerusakan dimuka bumi disebabkan tangan-tangan jahil manusia. Maka penegakan hukum harus bersifat komprehensif. Mengapa? Disinyalir bencana kebakaran merupakan tindakan yang disengaja, sehingga berubah statusnya dari bencana menjadi kejahatan lingkungan.

Dengan begitu, terjadi pembakaran hutan dan lahan. Proses penegakan hukum yang baru menjangkau pelaku lapangan kerap membuat geram. Berbagai korporasi yang diduga terkait di belakangnya masih jauh dari tangan penegakan hukum berkeadilan. Bahkan putusan sanksi triliunan yang telah berketetapan hukum sekalipun, tidak pernah mampu dieksekusi. Miris.

Di bagian lain, koordinasi pusat dan daerah teramat minim, baik dalam soal antisipasi maupun penanganan saat terjadi bencana asap. Di luar masalah penetapan status kedaruratan baik di level daerah maupun pusat -nasional, yang lebih terpenting adalah tentang langkah konkret penyelesaian masalah. Di sini point kepemimpinan dimunculkan.

Menyoal KPK

Lembaga ini memang mengerikan. Dimaknai sebagai superbody. Tentu oleh para pihak yang tidak menyukainya. Revisi UU KPK kemudian menjadi sorotan dengan berbagai catatan. Potensi pelemahan fungsi dijadikan sebagai titik tolak. Para pengiat dan aktivis antikorupsi menyuarakan penolakan.

Hingga akhirnya, ajuan legislatif soal revisi UU KPK ditindaklanjuti dengan surat presiden untuk melakukan pembahasan lebih lanjut. Suara yang menggema tentang penolakan, kemudian berbalik dianggap sebagai penekanan kepentingan pada kekuasaan.

Sesungguhnya selama kekuasaan masih dibangun dengan cara membeli suara publik, dan dunia politik kita masih berkubang dengan praktik money politics, maka korupsi menjadi bagian yang sulit dipisahkan. Dengan begitu peran KPK tidak hanya didorong untuk melakukan upaya preventif, melainkan juga melakukan penindakan termasuk menggunakan skema penyadapan dan OTT.

Bukankah KPK juga memiliki problem internal? Banyak kepentingan yang bermain di tubuh KPK? Persinggungan dengan dunia politik jelas menguat, karena korupsi hanya terjadi dalam konteks kekuasaan yang ditransaksikan. Bila begitu, kerja KPK memang akan berurusan dengan hal-hal politik yang bisa dimaknai secara politis.

Lalu bagaimana memastikan kebersihan KPK? Bila ada hal yang tidak sesuai koridor dan otoritas KPK, sebaiknya ikuti saran yang sering didengar: Laporkan! Toh bila selama ini para politisi dari berbagai partai politik yang mengatakan ada muatan kepentingan politik dari kerja KPK, pada pembuktian materialnya masih jauhlah panggang dari api.

Bila kemudian OTT lebih diartikan sebagai upaya penjebakan, maka logika sederhananya mengatakan, mengapa para politisi yang terkait pengambilan kebijakan sampai mau berada dalam situasi yang terjebak? Menerima suap merupakan tindakan sadar, bukan seperti hipnotis jalan, ada perencanaan dan maksud serta tujuan.

Pada berbagai kasus, motif menggangsir uang negara disembunyikan dalam berbagai strategi yang detail, bahkan menggunakan kata sandi yang disamarkan. Jelas sebuah niatan.

Netizen di antara Buzzer

Dalam memaknai kasus asap dan KPK, netizen menjadi indikator. Problemnya para buzzer tetap memainkan peran. Entah sesuai pendapat pribadi yang independen, atau memang ada pesanan senada.

Jika ditilik dalam perkembangan demokrasi di era digital, transformasi terjadi melalui perubahan citizen menjadi netizen. Ruang publik dunia maya yang terfasilitasi melalui internet semakin memberikan pengaruh. Tidak dipungkiri, terbentuk pula para opinion leader termasuk buzzer di dalamnya, yang mendengungkan sebuah posisi pesan tertentu.

Bedanya citizen selaku warga negara memiliki hak dan kewajiban yang melekat dalam konstitusi. Sedangkan netizen hanya memiliki hak tanpa diimbangi kewajiban yang menyertai. Kenapa begitu? Dalam dunia maya ada aspek anonymous, menggunakan identitas palsu. Ada ruang gelap di  jagat digital, yakni soal rasa tanggung jawab sebagai kewajiban etik, maka mudah dipahami bilamana hoax diproduksi dan dikonsumsi.

Menariknya ada hal yang kemudian keluar konteks alias gagal paham, yang bisa jadi tidak disadari atau memang sebuah kesengajaan dalam menanggapi dua kasus tersebut. Pada soal asap, sebagian netizen merasa perlu tindakan nyata dan langsung dilakukan pemerintah pusat. Sementara itu, sekelompok publik dunia maya menganggap hal itu pekerjaan daerah.

Pada tingkat yang ekstrem, asap di Sumatera dimaknai sebagai azab karena salah memilih pemimpin pada periode kontestasi yang lalu. Mengerikan. Ternyata polarisasi politik tidak hilang, melainkan dipelihara oleh para buzzer untuk mempermainkan nalar netizen yang mudah tersulut pada kecintaan figur politik pilihannya.

Sementara itu, pada kasus KPK, penolakan atas usulan revisi UU KPK dianggap sebagai bagian dari kelompok radikal dan taliban, merujuk secara serampangan pada sebagian pegawai KPK dengan tampilan religius, sebut saja berjenggot dan celana cingkrang.

Logika yang fatal. Kita patut berterima kasih nilai religiusitas ada di pegawai KPK, karena dengan begitu mereka memahami bila gerak-geriknya selalu diawasi tidak hanya oleh peraturan tetapi sekaligus Sang Illahi. Berbekal sikap religius, mereka diharapkan mampu berhadapan dengan para pencuri uang negara yang memiliki kemampuan beli sebagai daya tawar.

Membiarkan demokrasi tersandera oleh kerja buzzer yang meruntuhkan akal sehat, perlu dilakukan. Terlebih bila mereka bekerja untuk melindungi kekuasaan dari barisan pengkritiknya. Demokrasi yang terbuka, bukan hanya menyediakan ruang bagi diskusi yang berbeda, tetapi juga pada keadilan perlakuan kekuasaan atas perspektif yang berlainan dari cara pandang penguasa. Memberangus kritik memang cara termudah untuk memuluskan jalan bagi roda kekuasaan.

Setidaknya dalam kasus asap dan KPK, ada hal yang menghilang, yakni perspektif korban. Kita abai dengan banyak rakyat yang terpapar polusi asap serta menderita. Kita sibuk berdebat di wilayah politik. Kita juga lalai bila rakyat yang menanggung derita akibat korupsi, dan para pencoleng sedang mengintai menunggu waktu yang tepat untuk kembali merampok.

Sementara buzzer memberi ruang legitimasi, sekaligus membentuk pemahaman publik secara bias, bagi kepentingan yang tengah dilindunginya. Jadi bagaimana Anda bersikap?

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid(rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita