GELORA.CO - Komisi III DPR tidak perlu mengikat calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kontrak politik saat uji kelayakan dan kepatutan.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai kontrak politik justru berpotensi mengubah fokus penegakan hukum para pimpinan KPK mendatang.
Menurutnya, jika DPR meneken kontrak politik kepada setiap capim KPK, maka pimpinan tersebut akan loyal pada pemimpin politik.
Bukan dia loyal kepada penegakan hukum yang menjadi tujuan utama dari aparat penegak hukum itu bekerja," tutur Laode di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (10/9).
Laode menilai, seorang aparat penegak hukum tidak boleh memiliki komitmen apapun dengan pihak manapun, termasuk dengan wakil rakyat di parlemen.
Dia juga menyinggung bahwa hingga periode pimpinan KPK 2015 hingga 2019 tidak pernah ada kontrak politik diteken.
"Karena kita (KPK) enggak mewakili konstituen politik tertentu. KPK itu adalah lembaga penegak hukum yang tugasnya adalah menegakkan hukum, tidak boleh terikat pada komitmen politik tertentu," jelas Laode.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan bahwa pihaknya akan meminta kontrak politik di atas materai kepada capim KPK saat fit and proper test nanti.
“Apapun yang nanti disampaikan capim, dan itu merupakan komitmen, maka itu akan dituangkan secara tertulis," kata politisi PPP itu.
Komitmen yang dimaksud bisa berarti macam-macam. Salah satunya mengenai revisi UU KPK. Jika capim setuju, maka akan dibuat kontrak politik sebagai sebuah komitmen. Begitu juga sebaliknya.
Contoh, kalau ada pertanyaan apakah saudara setuju dengan revisi UU KPK yang sekarang sedang bergulir, kemudian dia tidak setuju, yang kita harapkan dia dengan berani tegas menyatakan tidak setuju," kata Arsul.(rmol)