GELORA.CO - Rapat Gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR RI menghasilkan sikap menolak kenaikan premi jaminan kesehatan nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Keputusan berbentuk kesimpulan rapat itu dibacakan Wakil Ketua Komisi XI, Supriyanto di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/8).
Supriyanto menyebutkan, penolakan itu bukan untuk seluruhnya. Tetapi untuk dua kategori saja.
"Komisi IX dan Komisi XI DPR RI menolak rencana pemerintah untuk menaikkan premi JKN untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III sampai pemerintah menyelesaikam cleansing data," ujarnya.
Kata politisi Partai Gerindra ini, penolakan sampai cleansing data selesai bertujuan untuk memilah siapa saja yang berhak menerima bantuan iuran atau PBI berdasarkan kategori kemampuan ekonomi.
Selain itu, lanjutnya, rapat gabungan juga meminta pemerintah mencari cara lain untuk menutup defisit BPJS selain dengan menaikkan premi atau iuran.
"Mendesak pemerintah mencari cara lain dalam menanggulangi defisit dana jaminan sosial (DJS) kesehatan," tukasnya.
Presiden Joko Widodo dikabarkan akan segera mengeluarkan peraturan presiden (perpres) tentang penetapan besaran iuran baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Hal itu dikatakan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah ditentukan dan akan ditandatangani oleh Jokowi.
Mardiasmo mengungkapkan, besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan sama seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada rapat gabungan antara Komisi IX dengan Komisi XI kemarin, yakni kelas 3 sebesar Rp 42.000 per bulan per jiwa. Sedangkan kelas 2 sebesar Rp 110.000 per bulan per jiwa, dan kelas 1 sebesar Rp 160.000 per bulan per jiwa.
Segera akan keluar Perpresnya. Hitungannya seperti yang disampaikan Ibu Menteri," kata Mardiasmo di gedung DPR, Jakarta, Rabu (28/8).
Ia berharap, dengan naiknya iuran makan BPJS Kesehatan tak lagi defisit. (Rmol)