GELORA.CO - Presiden Joko Widodo dinilai sengaja meminta DPR RI untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sambil mencari opsi lain karena takut kepercayaan publik pada pemerintah anjlok.
Hal itu disampaikan Pengamat Politik Centre of Strategic and Internasional Studies (CSIS) Arya Fernandes. Menurut Arya, pemerintah kini sedang memikirkan opsi lainnya karena banyaknya penolakan dari publik berkenaan dengan RUU KUHP.
"Saya kira eksekutif atau pemerintah memikirkan opsi baru gitu ya ditengah tingginya penolakan publik soal RUU KUHP, beberapa opsi yang mungkin dipikirkan adalah mengevaluasi kembali atau pada batas yang lebih tinggi menarik atau meminta perubahan pada pasal-pasal kontroversial," ucap Arya Fernandes kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (23/9).
Perubahan sikap yang diambil pemerintah, kata Arya, karena RUU KUHP sudah terlalu tinggi penolakan dari masyarakat terhadap pasal-pasal yang kontroversial. Apalagi sebelumnya publik juga melakukan penolakan terhadap Revisi UU KPK.
"Nah kalau pemerintah nekat gitu untuk ikut mendukung atau memberi dukungan terhadap UU (KUHP) itu mungkin pemerintah khawatir juga akan mendapatkan risiko politik dari publik terkait misalnya kepercayaan publik yang turun," katanya.
Padahal kata Arya, seluruh fraksi partai politik baik pendukung pemerintah maupun nonpendukung pemerintah telah mengesahkan di tingkat pertama, pemerintah dinilai tidak ingin mengambil risiko yang tinggi. Sehingga Presiden Jokowi meminta DPR untuk menunda sementara pembahasan Revisi UU KUHP.
"Jadi saya kira ini cara pemerintah juga untuk meredam situasi sambil memikirkan opsi-opsi politik terkait UU tersebut," pungkasnya.(rmol)