Jokowi Makin Kalang Kabut

Jokowi Makin Kalang Kabut

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior)

TULISAN saya sebelumnya berjudul, “Jokowi Sumber Masalah,” banyak mendapatkan cibiran dari pendukungnya. Saya sudah menduga akan seperti itu.

Jokowi Makin Kalang Kabut, ini pun saya pastikan dianggap para pendukungnya sebagai usaha memojokkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Bahkan, bisa jadi mereka menuduh saya memfitnah, memprovokasi, dan sederet sebutan lainnya.

Saya tidak akan ambil pusing. Saya hanya berusaha menyuarakan hati nurani dan fakta-fakta terkini. Saya hanya ingin mengkritìsi, seperti yang saya lakukan di rezim Orde Baru, era BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan era Jokowi.

Jokowi Makin Kalang Kabut! Ibarat pepatah, “Maju kena, mundur kena!” Kenapa? Karena rencananya mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang) tentang UU KPK yang baru, mendapat penolakan dari PDIP, partai utama pendukungnya maju pada pemilihan presiden.

Akhirnya Jokowi serba salah! Lagi-lagi pepatah mengatakan, “Ibarat buah si malakama, dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah.” Mengapa? Coba saja pembaca lihat dan saķsikan berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini (kecuali di Papua- rusuh karena tuntutan merdeka). Sejak awal demosntrasi yang dilakukan mahasiswa dan pelajar SMK– ee mereka lebih suka disebut pelajar STM — selalu diakhiri dengan rusuh atau kalimat paling tepat, bukan rusuh, tetapi perang saudara dengan polisi.

Jokowi serba salah! Demonstrasi yang marak dalam beberapa hari belakangan ini di berbagai kota menuntut agar DPR tidak mensyahkan RUU KUHP dan beberapa RUU lainnya. Juga tuntutan agar UU KPK dibatalkan, karena isinya jelas melemahkan lembaga antirasuah itu dalam memberantas korupsi. RUU KUHP dan beberapa RUU sudah ditunda. Ketika ditunda, pemerintah berharap demo berkurang. Akan tetapi, kenyataannya, demo terus terjadi di berbagai tempat.

Paling lucu dan mengherankan, baru sekarang ada pelajar ikut demo dengan atribut sekolahnya. Mereka terutama pelajar STM (Sekolah Teknik Menengah). Mereka lebih suka disebut pelajar STM ketimbang SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Mungkin mereka kesal, karena nama SMK “dicatut” jadi bahan jualan politik lewat mobil Esemka.

Jokowi serba salah! Jika melihat perkembangan situasi terakhir, masyakat pun semakin pesimistis keadaan semakin baik. Bahķan ada tagar yang muncul di medsos #MenyesalMemilihJokowi. Entah siapa yang membuatnya. Akan tetapi, itu bukti semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi.

Jokowi dan jajarannya berharap, setelah RUU KUHP ditunda DPR, demo mereda. Apalagi, Jokowi sendiri sebelumnya meminta agar DPR menunda pengesahannya. Akan tetapi, harapan agar demo berkurang dan tensi politik turun, hanya tinggal harapan. Faktanya demo semakin kencang. Tensi politik akan terus naik, baik menjeĺang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, 20 Oktober 2019 maupun seterusnya.

Jokowi serba salah! Ah itu kan menurut penulisnya. Asumsi itu bisa benar dan bisa salah. Akan tetapi, fakta yang bicara. Ketika Jokowi meminta bertemu dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se Indonesia, mereka menolaknya. Sama seperti 1998, saat demonstrasi mahasiswa marak, Soeharto juga meminta bertemu BEM se Indonesia. Akan tetapi, mereka (BEM) menolaknya.

Lalu bagaimana dengan peserta demonstrasi pelajar STM? Mereka tidak dikoordinir oleh OSIS atau Organisasi Siswa Intra Sekolah. Lalu siapa nanti yang akan mewakili mereka jika diminta bertemu Presiden? Toh, teman-teman mereka juga menjadi korban kekerasan aparat kepolisian.

Paling kepala sekolah atau pengurus yayasan dipanggil dinas pendidikan setempat. Akan tetapi, pemanggilan itu tidak logis. Sebab, para pelajar itu melakukan aķsinya di luar jam belajar. Artinya, aksi demo para pelajar itu sudah berada dalam tanggungjawab keluarga dan lingkungan.

Kalaupun kepala sekolah dan pemilik yayasan dipanggil, yang ada adalah pembinaan kepada mereka. Jawabannya, “Pasti dibina.! Toh, selama ini, tanpa demo pun, kepala sekolah bersama guru-guru dan staf sekolah sudah membina para pelajar. Kalau tidak ada pembinaan, tidak mungkin mereka sekolah, naik kelas dan bahkan nanti lulus 100 persen.

Jokowi serba salah! Bisa benar bisa salah. Akan tetapi fakta yang bicara. Ketika Jokowi menerima 45 orang yang dianggap sebagai tokoh bangsa (maaf yang diterima umumnya pendukung Jokowi), kepercayaan masyarakat sudah terus berkurang. Sama, ketika Soeharto menerim beberapa tokoh untuk membentuk Komite Reformasi. Jokowi menerima di Istana Kepresidenan, Pak Harto juga menerima di tempat yang sama.

Perbedaannya, Jokowi mempertimbangkan Perpu UU KPK yang baru disahkan DPR. Sedangkan 1998, tokoh yang diundang langsung menolak pembentukan Komite Reformasi yang diusulkan Soeharto.

Pak Harto menginginkan cendekiawan Muslim Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur menjadi Ketua Komite Reformasi yang diisi sejumlah tokoh. Namun, Cak Nur menolaknya. Akhirnya Komite Reformasi gagal dibentuk dan situasi negara semakin memburuk dan terpuruk.

Jokowi serba salah! Kenapa? Kalaupun akhirnya menebitkan Perppu terkait UU KPK yang baru, ia tetap menghadapi masalah besar. Para pendemo tidak akan diam dengan “hadiah” Perppu itu. Luka hati para pendemo tidak akan terobati dengan Perppu itu. Sebab, sudah semakin banyak korban di pihak pendemo, banyak yang ditahan dan bahkan dua mahasiswa tewas ditembus peluru. Kalau tuntutan sudah dipenuhi, mestinya demo berhenti. Akan tetapi, faktanya berbeda. Tuntutan agar RUU KUHP dan sejumlah RUU lainnya yang tidak disetujui DPR, tapi kok masih demo. Bukankah tuntutan pendemo itu sudah sejalan dengan keinginan Jokowi dan aparatur pemerintahannya? Akan tetapi kok masih demo.

Jokowi serba salah! PDIP sebagai pengusung utama Jokowi dalam dua kali Pilpres jelas menolak Perppu dikeluarkan. Alasannya, kalau Perppu mudah dikeluarkan, itu berbahaya. Lebih baik mereka yang tidak setuju membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi, kepercayaan masyarakat terhadap MK masih rendah, terutama pasca putusan MK atas hasil Pilpres yang baru lalu.

Jokowi serba salah! Kenapa? Ya, karena persoalan yang muncul tidak lagi sekadar KPK yang terus dilemahkan lewat UU yang baru. KPK adalah ‘anak kandung’ reformasi 1998. Reformasi yang juga diawali demonstrasi yang menyebabkan empat mahasiswa tewas di ujung peluru tajam.

Jokowi tidak sekadar serba salah, tetapi semakin kalang kabut! Mengeluarkan Perppu salah, tidak mengeluarkan pun lebih salah lagi. **
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita