GELORA.CO - Presiden Joko Widodo dianggap sebagai kepala negara terburuk dalam pemberantasan korupsi. Bahkan melebihi Presiden ke-2 RI Soeharto yang pemerintahannya punya catatan panjang korupsi, kolusi dan nepotisme alias KKN.
Pendapat ini muncul menyusul keputusan Jokowi menyetujui pembahasan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diusulkan DPR.
"Ini surpres (surat presiden) tercepat dalam sejarah pengajuan RUU, presiden punya waktu 60 hari untuk mengkaji usulan DPR, tetapi Jokowi secara singkat keluarkan surpres," kata pengamat politik Dedi Kurnia, Jumat (13/9).
Oleh karena itu, kata Dedi, wajar jika muncul asumsi publik bahwa presiden sejak awal telah menyetujui adanya skenario melemahkan KPK. Selain presiden, kata dia, DPR juga turut melemahkan KPK.
"Revisi UU KPK setali dengan proses seleksi capim KPK yang serba cepat dan tanpa mengindahkan kritik publik. Bahkan sebelum terpilih, para capim harus diintimidasi dengan kontrak yang ditawarkan DPR sebagai syarat keterpilihan," kata dia.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini, terpilihnya 5 pimpinan KPK periode mendatang, terpaksa diterima publik dengan segala konsukuensi. Termasuk dengan kekhawatiran jika KPK mendatang tidak lagi produktif memberantas, tetapi lebih lunak pada koruptor.
"Terlebih lagi, ketua pimpinan KPK adalah tokoh yang sejauh ini dicatat sebagai pelanggar etik," kata dia.
Dia juga menilai Jokowi merupakan salah satu presiden yang tidak membawa semangat pemberantasan korupsi seperti kepala-kepala pemerintahan sebelumnya. Meski begitu, Dedi menduga ada hal di balik Jokowi yang membuat dia mengeluarkan kebijakan itu.
"Ada keganjilan dengan langkah Jokowi, seolah ada sandera yang membuatnya tidak berani mengambil sikap, termasuk menolak usulan DPR, presiden lupa jika KPK dibentuk karena ada kegagalan lembaga lain yang dulu bertugas memberantas korupsi," kata dia. [nn]