Oleh: Asyari Usman (Wartawan Senior)
Di tengah hiruk-pikuk aksi protes dDi Jakarta dan kota-kota lainnya, ada peristiwa sadis dan brutal yang mencemaskan. Yaitu, kerusuhan terbaru di Wamena, Papua bagian tengah. Terjadi pada 23 September 2019. Menelan korban puluhan tewas dalam kondisi mengenaskan.
Berita kerusuhan ini tertutup oleh rangkaian kekerasan di Ibukota.
Situasi di Wamena dilaporkan mulai kondusif. Tapi, ada satu hal yang perlu diwaspadai. Kerusuhan terbaru ini menyisakan gejala yang sangat mengkawatirkan. Yaitu, kemungkinan adanya pihak yang ingin melakukan “ethnic cleansing” (pembersihan etnis) di Papua. Gejala itulah yang terbaca di Wamena.
Lakon kerusuhan baru ini adalah penyerangan terhadap warga pendatang. Kuat dugaan, pelaku penyerangan adalah orang asli Papua (OAP). Dari 32 korban tewas yang terdata hingga 29 September, sekitar 25 orang berasal dari luar Papua. Kebanyakan yang terbunuh adalah pendatang dari Sulawesi (9 orang) dan Sumatera Barat (10 orang). Selebihnya berasal dari Jawa-Madura.
Tidak salah kalau ada yang bertanya, inikah awal dari “ethnic cleansing” di Papua? Apakah pembersihan etnis adalah salah satu butir ideologi separatisme di Bumi Cendrawasih? Semoga saja tidak.
Akibat penyerangan yang sadis ini, sekitar 8,500 orang, sebagian besar warga pendatang, masih berada di sejumlah lokasi pengungsian. Banyak diantara mereka yang menyatakan keinginan untuk pulang ke kampung halaman mereka.
Seorang perwira Kodam Cendrawasih mengatakan bahwa TNI belum melihat kerusuhan terbaru di Wamena sebagai konflik horizontal. Penjelasan perwira Kodam itu masuk akal. Karena yang terjadi bukan perkelahian yang sifatnya saling serang. Yang terjadi adalah penyerangan oleh satu pihak.
Dalam peristiwa terbaru ini warga pendatang yang menjadi sasaran serangan itu tidak terdengar melakukan provokasi atau membuat gara-gara. Mereka diserang tanpa alasan.
Jadi, memang tidak tepat disebut konflik horizontal. Warga pendatang boleh dikatakan tidak melakukan perlawanan. Mereka bahkan tidak bisa berbuat apa-apa.
Kesadisan dan kebrutalan adalah ciri penyerangan terhadap warga pendatang di Wamena. Para korban dibacok dan dikapak. Kebanyakan mereka tewas karena rumah atau ruko mereka dibakar oleh para penyerang.
Kaum pendatang sekarang merasa ketakutan. Nyawa mereka terancam setiap saat. Tidak salah kalau dikatakan mereka semua merasa terteror.
Dari lakon penyerangan terhadap warga pendatang di Wamena minggu lalu itu terlihat jelas bahwa kelompok penyerang tidak ingin ada pendatang yang tinggal di Papua. Tapi, siapakah mereka? Apakah OPM yang melakukan ini?
Tidak ada pernyataan pasti tentang itu. Yang hampir pasti bisa diyakini adalah bahwa para penyerang menunjukkan ketidaksukaan terhadap suku atau etnis lain di negeri mereka. Kalau ini benar, maka inilah ciri “ethnic cleansing” yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Menyerang, membunuh dan mengusir suku lain adalah inti perang Balkan. Suku Serbia tidak suka terhadap orang Bosnis-Herzegovina. Mereka juga tidak suka suku Kroasia dan Slovenia. Orang-orang Serbia mencoba mengusir hampir dua juta warga suku Albania keluar dari Kosovo ketika berlangsung konflik Balkan pada 1990-an.
Tapi, skenario pembersihan etnis itu gagal. NATO melakukan campur tangan militer. Setelah itu, bermunculan negara-negara baru pecahan bekas Yugoslavia.
Kalau pembunuhan warga pendatang, plus pembakaran dan pengrusakan fasilitas milik mereka di Wamena dibiarkan, sangat besar kemungkinan “ethnic cleansing” akan menjadi kenyataan. Bisa saja menjalar ke tempat-tempat lain.
Tentu kita semua tidak ingin melihat ini terjadi. Dan tentu kita juga tidak ingin ada aksi-aksi balas dendam.
Sumber gagasan “ethnic cleansing” itu perlu cepat ditumpas. Orang-orang yang berada di belakang pembunuhan warga pendatang di Wamena harus segera diadili. Semua pihak, pemerintah dan masyarakat dari segala latarbelakang, harus bekerja sama untuk mencegah “pembersihan suku”.
Sebab, “ethnic cleansing” akan menjadi bahan bakar yang cepat menyala untuk disintegrasi Indonesia. []