GELORA.CO -Halal Institute mengapresiasi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdangan yang berencana merevisi Permendag 29/2019 tentang Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.
"Sudah benar kalau Permendag direvisi, kami mendukungnya," kata Wakil Ketua Halal Institute, SJ Arifin, Senin (16/9).
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana menyebutkan rencana merevisi Permendag 29/2019 karena banyaknya tekanan masyarakat yang menuntut pengembalian ketentuan label halal dalam Permendag.
Sebagaimana diketahui, pasal tentang kewajiban label halal dalam produk hewan yang diimpor tidak ditemukan lagi dalam Permendag 29/2019. Padahal dalam Permendag sebelumnya, ketentuan itu tercantum dalam Pasal 16 Permendag 56/2016.
Menurut Indrasari, tidak adanya ketentuan tersebut tidak berarti ketentuan halal tidak ada. Ada rekomendasi dari Kementerian Pertanian yang mewajibkan label halal yang menjadi acuan. Sedangkan Permendag 29/2019 fokus kepada tata niaga.
Jelas Arifin, ketentuan halal diperlukan bukan hanya untuk menanggapi komplain masyarakat yang merasa dirugikan, tetapi juga agar Permendag sesuai dengan UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.
UU 33/2014 akan segera diberlakukan satu bulan lagi, tepatnya 17 Oktober 2019 yang meliputi pemberlakukan kewajiban label halal untuk semua produk yang dikonsumsi atau dipergunakan masyarakat muslim, meskipun pemberlakuan ini akan dilakukan secara bertahap dimulai dari makanan dan minuman.
"Revisi menunjukkan adanya komitmen Kemendag pada kebijakan negara yang tertuang dalam Undang-undang. Ketentuan ini harus menjadi arus utama kebijakan, termasuk di Kemendag. Makanya tidak boleh hanya menjadi rekomendasi dari instansi lain," paper Arifin.
Ekonomi halal dan industri halal dunia sedang berkembang pesat. Diperkirakan mencapai 3 triliun dolar AS pada tahun 2023. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sekaligus konsumen produk halal terbesar.
"Di tengah ancaman resesi yang menghantui dunia, justru Indonesia harus memanfaatkan momentum dan peluang yang ditawarkan oleh ekonomi halal. Di pandang dari sudut manapun, secara keagamaan maupun murni ekonomi, Indonesia tak boleh lagi mengabaikan ekonomi halal," demikian SJ Arifin. (Rmol)