GELORA.CO - Mungkin semua lembaga sudah pernah mendapat kritik dari Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Terlebih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini tengah menjadi sorotan.
Sejak awal, Fahri memang terus mengkritik kinerja KPK. Meski banyak yang mendukung lembaga antirasuah itu, sikap Fahri malah sebaliknya. Yang dikritik adalah sistem di lembaga superbody itu.
Dari sisi materi, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sebenarnya kerap mempersoalkan ekses kinerja KPK, tapi tidak secara langsung. Akibatnya, banyak kepala daerah dan pejabat yang takut mengambil kebijakan. Karena takut diangkut KPK, kerugian yang ditimbulkan bisa lebih besar dibandingkan dana yang diselamatkan dari penindakan KPK.
Tibalah saatnya, KPK akan “dipreteli” kewenangannya yang luar biasa lewat Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK. Fahri tetap lantang, ada yang bermasalah di KPK sehingga ia lebih setuju dengan revisi UU tersebut.
Di lain sisi, pemberitaan media massa juga keras dan pedas terkait revisi UU tersebut. Di media, seolah-olah tidak ada space buat mereka yang mendukung revisi UU KPK. Termasuk kepada Fahri yang sejak lama sudah sangat intens mengkiritik kinerja lembaga antikorupsi itu.
Fahri menilai ada yang salah dari sebagian besar arus pemberitaan media massa. Terlebih lagi, dia menyinggung sejumlah media memang dikendalikan oleh kekuatan politik.
“Media massa kebanyakan cari sensasi untuk kepentingan sendiri. Yang penting rame, gak peduli sistem jadi rusak. Bikin hero supaya diberitakan 24 jam. Jual sensasi untuk industri yang mulai kalah bersaing dengan media sosial. Media massa harus taubat dari jualan kepalsuan,” cuit Fahri lewat akun Twitter-nya, @fahrihamzah.
Fahri juga menilai tokoh yang di-pahlawan-kan di media sedang sakit. Namun dia tidak menyebut siapa “hero” yang dimaksud. Karenanya dia merasa lebih asyik berkicau lewat media sosial dibandingkan media massa.
“Heronya media massa banyak yang sakit. Mendingan kita ber-media sosial saja gak pakai iklan. Lebih bebas tanpa editan pemilik yang punya partai politik dan punya koneksi politik atau konglomerat berpolitik. Media sosial lebih baik, tanggung jawab masing-masing dah kalau diculik,” katanya.
Dari rentetan twitnya, Fahri mengingatkan, media juga harus dikritik. Terlebih lagi, akses publik terhadap media bersifat langsung dan bebas sehingga opini yang dibangun lewat media harus diawasi oleh publik.
“Tapi kritik memang harus dilakukan kepada media massa. Saya ingat dulu, mau kirim tulisan (yang) mengkritik KPK tahun 2007 saya ingat, ditolak oleh semua media. Alasannya “maaf kami ada kerja sama memberantas korupsi sama KPK”. Ini kan sinting! Masak kritik KPK sama dengan prokorupsi?” tulis Fahri.
Secara umum, dia menyebut era saat ini memang memasuki era masa di mana kritik menjadi tabu. Yang dikritik seolah seperti batu. Karenanya, dia menyebut masa-masa ini kembali ke sistem feodal.
“Jiwa feodal kita akut, takut kritik. Gak berani adu argumen. Senang main belakang, pengecut. Padahal dunia ini diwariskan Tuhan kepada semua orang. Semua manusia sama. Gak ada orang suci. Apalagi lembaga negara. Sudahlah!” katanya.
Tapi begitulah bangsa kita, lanjutnya lagi. “Senang dengan ratu adil. Seolah satu orang bisa selesaikan semua masalah. Satu lembaga bisa rampungkan semua hal. Kita suka bergantung pada orang besar. Kalau sudah terkenal, seolah gak mungkin salah. Kita sesat jalan berkali-kali. Kecewa pada pemimpin,” katanya. [ns]