GELORA.CO - SEJAK awal kerusuhan Papua diprediksi bukan kebetulan dan berdiri sendiri. Justru kasus ini sarat akan kepentingan politik baik nasional maupun internasional.
Papua adalah "lahan" multi dimensi yang menarik. Dapat menjadi incaran kekuatan baru atau dapat pula menjadi "kartu truf" kekuatan lama untuk mempertahankan penguasaanya.
Pernyataan Moeldoko cukup menjadi sinyal. Menurut Kepala Staf Kepresidenan ini, Amerika Serikat siap mendukung dan mempertahankan Papua.
Ini disampaikan setelah Moeldoko bertemu dengan Asisten Menlu AS urusan Asia Timur dan Pasific David R. StilwellI di Kantor Staf Kepresidenan. Ini jawaban yang menggambarkan bahwa persoalan kerusuhan Papua akan segera selesai.
Ternyata Amerika Serikat tidak bisa diabaikan. Indonesia "gagah-gagahan" mengambil saham 51 persen Freeport lalu aktif menawarkan berbagai saham dan juga aset ke RRC sebagai bagian dari paket keakraban Indonesia dengan China, termasuk program strategis OBOR yang dijalankan Menko Luhut Panjaitan.
Ditambah tawaran investasi lain kepada RRC. Sementara RRC siap mengucurkan dana besar untuk meminjamkan kepada Indonesia. Poros Jakarta-Beijing ini yang menggusarkan Amerika.
Jeweran Papua yang cukup keras membuat Jokowi berat dan Istana berteriak. Jika Amerika memainkan kartunya, maka dengan kekuatan yang dimiliki di PBB sudah dipastikan referendum akan terjadi dan hasilnya Papua akan merdeka.
Australia dan Amerika akan membuat pangkalan kepentingan di bumi "hitam manis" ini. Lepas Papua berimbas pada jabatan Jokowi yang akan diminta pertanggungjawaban rakyat. Jokowi dapat jatuh oleh impeachment. Ini soal jabatan.
Dengan referendum Papua disetujui PBB maka efek domino terjadi. Aceh juga bisa lepas. Semua tahu Eropa memiliki hubungan khusus. Daerah lain menyusul seperti Maluku, NTT, Riau, sampai ke Jawa Barat.
NKRI harga mati menjadi tak berharga karena memang Negara Kesatuan mati. Ini yang diprediksi terjadi "Balkanisasi" di Indonesia. Indonesia menjadi negara yang terpecah pecah.
Situasi dan polarisasi politik bangsa Pasca Pilpres 2019 sangat memungkinkan akan hal tersebut dapat terjadi.
Persetujuan Amerika tentu tidak gratis ada konsesi yang mesti diberikan, sebagaimana dahulu juga referendum "Irian Jaya" tak bisa lepas dari dukungan Amerika.
Kita tak tahu apa saja "give" pemerintah untuk "take" bantuan Amerika tersebut. Tapi itu kekalahan pertama rezim. Ke depan tentu berpengaruh pada aspek lain khususnya dalam kaitan poros Jakarta Beijing.
Kita lihat waktu mendatang fluktuasi politik dan ekonomi yang terjadi di negeri ini yang tak bisa dipisahkan dari konflik global persaingan pengaruh AS dan China.
Bisakah Jokowi memainkan pola keseimbangan politik atau mengambil jalan penguatan poros dengan segala risikonya termasuk akhirnya kesiapan melepaskan jabatannya sebagai Presiden.
Penumpasan G 30 September dahulu konon juga berhubungan dengan peran Amerika. Jadi patut belajar dan waspada. Jangan jauhi dan khianati rakyat.
M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik.(rmol)