GELORA.CO - Pemerintah tetap menaikkan iuran premi BPJS Kesehatan meskipun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolaknya. Pihak parlemen menolak khususnya pada kelas III kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri.
Pemerintah tetap menaikkan iuran premi BPJS Kesehatan sebesar dua kali lipat dari yang saat ini berlaku. Kenaikan iuran dilakukan demi BPJS Kesehatan tidak lagi mengalami defisit atau tekor keuangan.
Keputusan penyesuaian juga sudah dibahas oleh Pemerintah bersama Komisi IX dan Komisi XI DPR pada rapat kerja (raker) gabungan mengenai defisit keuangan BPJS Kesehatan.
Berikut ulasan lengkapnya:
1. DPR Tolak Kenaikan Iuran Kelas III
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak usulan pemerintah menaikkan iuran premi BPJS Kesehatan yang sebesar dua kali lipat.
Hal itu tertuang dalam kesimpulan rapat kerja (raker) gabungan antara pemerintah dengan Komisi IX dan Komisi XI DPR mengenai defisit keuangan BPJS Kesehatan di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta Selatan.
"Demikian raker gabungan Komisi XI dengan Komisi IX. Sebelum kami tutup kami persilakan dari Pemerintah menyampaikan kata penutup," kata Wakil Ketua Komisi XI Soepriyatno, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Dalam raker gabungan ini terdapat sembilan kesimpulan yang disepakati oleh Pemerintah dengan DPR. Penolakan kenaikan tertuang dalam poin dua.
Hanya saja, penolakan kenaikan hanya berlaku pada peserta mandiri atau yang masuk dalam kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja menjadi Rp 42.000 per bulan per jiwa. Dengan begitu, iuran premi untuk golongan tersebut tetap Rp 25.500 per bulan per jiwa.
2. Kenaikan Iuran Berlaku 1 Januari 2020
Pemerintah menegaskan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan untuk seluruh kelas dan kelompok tetap naik pada 1 Januari 2020.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo mengatakan untuk tahun ini penyesuaian hanya berlaku pada kelompok penerima bantuan iuran (PBI) pusat dan daerah menjadi Rp 42.000 per bulan per jiwa.
"Yang kelas I, kelas II, 2 Januari 2020 jadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu sehingga kita bisa sosialisasi untuk masyarakat," kata Mardiasmo di gedung DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Pemerintah mengusulkan iuran untuk kelas I menjadi Rp 160.000 per bulan per jiwa, kelas II menjadi Rp 110.000 per bulan per jiwa, dan kelas III menjadi Rp 42.000 per bulan per jiwa. Sedangkan PBI pusat dan daerah diusulkan menjadi Rp 42.000 dari Rp 23.000 per bulan per jiwa.
Tujuan penyesuaian, kata Mardiasmo demi menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan yang diproyeksi hingga akhir tahun ini sebesar RP 32,84 triliun.
Hasil rapat kerja (raker) gabungan antara Pemerintah dengan Komisi IX dan Komisi XI DPR memutuskan untuk menyesuaikan kelompok PBI pusat dan daerah menjadi RP 42.000 per bulan per jiwa.
Penyesuaian ini berlaku duluan sejak Agustus 2019. Sedangkan untuk kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri tetap Rp 25.500 per bulan per jiwa atau tidak ikut naik menjadi Rp 42.000 per bulan per jiwa hingga cleansing data oleh Kementerian Sosial rampung. Target penyelesaian data tersebut pada September 2019.
3. Pemerintah Suntik BPJS Kesehatan Rp 13 T
Pemerintah akhirnya resmi menyuntik modal kembali BPJS Kesehatan sekitar RP 13 triliun hingga akhir 2019.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo mengatakan, suntikan modal tersebut berasal dari penyesuaian kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) pusat dan daerah.
"Jadi yang PBI pusat dan daerah akan dibayar oleh APBN untuk menutup defisit, kita beri Rp 13 triliun agar masyarakat bayar obat, dan rumah sakit bayar utang kita lunasi, yang sebesar RP 13 triliun itu masuk APBN itu," kata Mardiasmo di gedung DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Mardiasmo mengatakan pencairan dana sebesar Rp 13,5 triliun itu baru terlaksana usai peraturan presiden (Perpres) diterbitkan. Adapun, penyesuaian iuran PBI pusat dan daerah terhitung sejak Agustus 2019.
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kemeterian Keuangan, Suminto suntikan modal pemerintah yang sebesar Rp 13 triliun ini berasal dari selisih kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelompok PBI pusat dan daerah yang mulai berlaku pada Agustus-Desember 2019.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, suntikan modal ini pun baru akan dibayarkan pemerintah usai Perpresnya terbit. Adapun, asal muasal angka Rp 13 triliun ini merupakan selisih dari kenaikan premi iuran yang menjadi RP 42.000 per bulan per jiwa.[dtk]