Benarkah CIA Terlibat di Balik Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965?

Benarkah CIA Terlibat di Balik Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Di antara sekian banyak teori soal peristiwa G30S, keterlibatan Amerika Serikat mungkin yang paling sulit dipahami.

Perlu diingat, saat itu Amerika tengah berebut pengaruh dengan Uni Soviet yang menyebarkan komunisme.

Tim Weiner dalam bukunya Legacy of Ashes: The History of the CIA (2011) menuturkan, saat itu AS mengkhawatirkan sikap Presiden Soekarno yang cenderung memihak komunisme.

Apalagi, Soekarno juga pernah menghina AS dengan menolak bantuan keuangan dari IMF.

"Go to hell with your aid!" begitu ungkapan Soekarno yang menolak bergabung dengan Blok Barat. CIA pun diberi tugas untuk menyingkirkan Soekarno.

Sejak dekade 1950-an, CIA mencoba berbagai operasi rahasia mulai dari membuat film porno dengan Soekarno palsu hingga menyuplai senjata untuk pemberontakan.

Amerika mencoba mendekati militer, kendati militer sendiri terpecah menjadi beberapa faksi.

Satu yang diyakini bisa digunakan Amerika Serikat adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani.

"Duta Besar Amerika yang baru untuk Indonesia, Howard Jones, mengirim pesan telegram kepada Menlu, mengabarkan bahwa Jenderal Nasution adalah antikomunis yang dapat dipercaya dan para pemberontak tidak memiliki peluang untuk menang," tulis Weiner.

Teknisi telekomunikasi asal Jerman, Horst Henry Gerken dalam bukunya A Magic Gecko, Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno (2011) bercerita, keresahan politik saat itu sudah tersebar di mana-mana.

Partai komunis tumbuh besar dan diisi atau terafiliasi dengan sejumlah politisi penting, tokoh militer, dan pengusaha.

Konon, jika kudeta terjadi, harta milik semua orang akan disita atau dilikuidasi.

Kondisi politik saat itu amat membingungkan.

Pengganti Howard Jones, Marshall Green, dan agen CIA Edward Masters baru membeberkan keterlibatan CIA dua dekade kemudian.

Pengaruh komunis justru lebih sedikit dalam kudeta dibandingkan CIA.

Kebijakan Soekarno yang anti-Barat dan berorientasi ke Cina menjadi momok bagi AS dan Inggris.

Demikian juga bagi kelompok-kelompok muslim garis keras dan para jenderal.

AS bersekutu dengan mereka yang juga tak suka dengan Soekarno.

AS mengirim bantuan Marshall Green pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Adam Malik, agen CIA McAvoy, dan Soeharto.

Adam Malik saat itu adalah Duta Besar Indonesia di Rusia yang dipecat oleh Soekarno.

Keempatnya bicara soal membebaskan Indonesia dari komunisme.

Pasalnya, Soekarno dianggap terlalu lemah dalam menangani partai komunis.

Green mengatakan,"Saya memerintahkan agar ke-14 walkie talkie yang ada di Kedutaan Besar untuk keadaan darurat diserahkan kepada Soekarno... Ini untuk keamanan internal tambahan bagi dia dan pejabat terasnya sendiri," kata Green.

Peralatan ini sekaligus jadi alat sadap Kedubes AS.

Untuk menyembunyikan dukungan AS bagi Soeharto pada tahap awal, Angkatan Darat diberi pasokan medis senilai 500.000 dolar AS yang bisa dijadikan uang tunai.

AS juga menurunkan peralatan komunikasi yang sangat maju dengan cuma-cuma.

Atas saran Green, Adam Malik secara diam-diam juga akan diberi uang.

Green menulis sebuah telegram ke pemerintahnya yang berbunyi, "Keinginan kami untuk membantunya dengan cara ini, menurut saya akan menggambarkan dukungan kami atas perannya dalam upaya tentara yang anti-PKI, dan meningkatkan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan tentara. Kemungkinan bahwa dukungan kami akan terdeteksi atau terungkap sangat minimal."

Dewan Jenderal Kedekatan sejumlah jenderal dengan Amerika Serikat ini boleh jadi terendus sebagai upaya untuk mengkudeta Soekarno.

Setidaknya, itu lah yang diyakini para pelaku G30S.

Peter Kasenda dalam Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI (2016) menulis, PKI mendengar sekelompok jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Presiden Soekarno.

Informasi ini didapat dari rekan mereka di militer yang merupakan simpatisan PKI.

Pada zamannya, tiap partai dan kelompok politik punya jaringan serupa dalam militer.

PKI memiliki tim khusus dan rahasia yang bertugas mengumpulkan beragam informasi.

Tim ini disebut Biro Chusus (BC).

Informasi dan analisis yang dihimpun BC amat menentukan langkah partai.

Informasi dari BC PKI penting untuk menentukan apakah PKI akan bertindak sebelum kudeta itu terjadi atau menunggu.

Berdasarkan rapat dengan para perwira militer, Kepala BC PKI Syam Kamaruzaman menyimpulkan pihak militer siap melancarkan langkah untuk mencegah kudeta terjadi.

Komandan G30S Letkol (Inf) Untung Samsuri dalam persidangan mengaku, sejak awal, tak pernah ada niat menggulingkan pemerintahan.

"Saya bisa menarik kesimpulan, akan ada sebuah gerakan yang bisa membahayakan keselamatan Presiden. Saya dasarkan kepada peristiwa masa lalu, misalnya peristiwa 17 Oktober dan yang lain-lain.

Semuanya, makar terhadap Presiden," kata Untung seperti dikutip dalam G30S, Fakta atau Rekayasa (2013) karya Julius Pour.

"Pertimbangan tersebut mendorong saya memprakarsai pertemuan sejumlah perwira, merencanakan gerakan untuk mendahului aksi Dewan Jenderal. Sebagai seorang perwira Tjakrabirawa, saya tidak akan rela kalau Paduka Yang Mulia Presiden sampai digulingkan," lanjut Untung.

Letkol Untung (kiri), pemimpin Gerakan 30 September dibawa masuk ke dalam sidang Pengadilan Mahmillub.(DOK. KOMPAS)
Soal keberadaan Dewan Jenderal, Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel CPM Maulwi Salean mengaku pernah menguping percakapan Soekarno dengan Jenderal Ahmad Yani.

Soekarno menanyakan apakah benar ada dewan yang dimaksud.

"Pak, het is er geweest, maar ik heb ze al in mijn handen, hunt op mij aan (Pak, itu kan dulu. Mereka sudah di tangan saya. Bapak bisa percayakan kepada saya)," kata Maulwi menirukan perkataan Ahmad Yani seperti dikutip dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 65 (2001).

Kolonel Latief sebagai salah satu komandan G30S, membela alasan ini di mahkamah militer.

Ia mengaku sudah mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat. Menurut Latief, Soeharto hanya bergeming mendengar informasi itu.

Begitu pula Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.

Seperti Soeharto, keduanya menanggapi dingin isu soal Dewan Jenderal.

"Jadi siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto, yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?" kata Latief seperti dicatat oleh Julis Pour (2013).

"Nyatanya , sama sekali tidak pernah ada langkah-langkah untuk menambah penjagaan. Sebaliknya, setelah Peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S dan juga membantai ribuan rakyat yang sama sekali tidak tahu apa-apa, mereka bertiga kemudian malahan bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno," ujar Latief.

Harapan kepada Soeharto inilah yang mungkin membuat namanya tak pernah masuk dalam sasaran G30S seperti petinggi angkatan darat lainnya. PKI dihabisi Kembali ke keterlibatan Amerika Serikat dalam G30S, setelah peristiwa itu meletus, Dubes Marshall Green mengirim telegram ke negaranya.

"We did what we had to do..." seperti ditulis Julis Pour (2013).

Pasca G30S, Soeharto berusaha menghabisi para tokoh PKI yang dianggapnya sebagai dalang.

Gerken menulis (2011), Kedubes AS dan CIA bahkan memberi pemerintah Indonesia daftar ribuan tentara yang terafiliasi dengan PKI.

Green mengatakan AS memiliki lebih banyak informasi soal PKI dari pada Indonesia sendiri. Nama-nama di daftar itu pun disingkirkan tanpa tuduhan maupun pengadilan.

Agar eksekusi berjalan lancar, Pentagon menaruh Jip dan sejata. Ada banyak pemancar SSB gelombang pendek untuk keperluan telekomunikasi militer Indonesia.

Perangkat radio Collins KWM-2 yang saat itu paling canggih di pasaran, memungkinkan komando militer di Jakarta berkomunikasi dengan basisnya di daerah-daerah.

Hingga puluhan tahun kemudian, upaya ini melebar dengan menghabisi siapa saja yang terafiliasi, bahkan yang tidak tahu apa-apa soal G30S.

Hingga kini, pembantaian massal itu belum pernah diperkarakan.[tn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita