PEMERINTAH pusat kelihatan tidak memiliki solusi konkrit menghadapi bergejolak di Papua. Sejauh ini langkah pemerintah pusat hanya mencabut listrik dan akses internet. Terlihat juga pengiriman pasukan TNI untuk mengamankan keadaan.
Tetapi sejauh mengenai penyelesaian konflik belum ada langkah kongkrit, integratif dan menyeluruh. Langkah Presiden, baru berupa himbauan yang menurut saya masih jauh dari yang bisa dilakukan oleh seorang Presiden yang juga sebagai kepala negara.
Masalah separah yang terjadi di Papua tidak mungkin berhenti atau selesai hanya dengan himbauan, ini perlu langkah konkrit presiden tentang bagaimana penanganan terhadap masalah tersebut.
Urusan Papua ini dari awal sudah terjadi kegamangan, pertama ada sikap gamang dan ragu yang berlebihan, untuk melebelkan gerakan sparatis dan makar dengan mengunakan label Kelompok Kriminal Bersenyata (KKB). Oleh karenanya model penyelesaiannya penegakkan keamanan, sangat berbeda kalau kita menyatakan gerakan sparatis dan pemberontakan yang motifnya untuk merdeka, maka model penyelesaiannya menjaga kedaulatan negara dan TNI menjadi leading sektor.
Sebenarnya pemicu masalah ini berawal dari dugaan ucapan rasis dan penghinaan terhadap mahasiswa Papua, yang dilakukan oleh orang-orang tuna adab, kehilangan kepekaan sosial, yang seharusnya tuntutannya penegakkan hukum atas ucapan tersebut. Akan tetapi respon yang dilakukan dengan tindakan anarkis dengan merusak, membakar gedung gedung, fasilitas lainnya dan merebut nyawa dari anggota TNI, serta berlanjut minta merdeka.
Menurut saya, Ini sudah keluar dari konteks persoalan utama. Kenapa gerakan tersebut semakin membesar dan bahkan semakin berbahaya? Sepertinya ada kepentingan besar yang sedang menggoyangkan Papua. Pemerintah tidak boleh lagi meremehkan keadaan itu, bila Papua masih ingin disebut sebagai NKRI.
Menurut saya gerakan Papua sekarang tidak bisa lagi dianggap hanya sebagai protes, ini sudah masuk pada ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI. Sebab kalau hanya menuntut "kata" rasis yang katanya dilontarkan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, bagi saya, penyelesaiannya dengan memproses secara hukum terhadap siapa saja, yang melakukan ucapan dan tindakan tersebut tanpa pandang bulu, hajar dengan hukuman yang seberat beratnya, dengan proses peradilan yang terbuka, tidak boleh ada yang diselamatkan dan ada yang dikorbankan.
Mari kita dorong dan kawal agar aparat hukum segera menuntaskannya. Jadi tuntutan merdeka atas kedaulatan satu negara jelas tindakan makar dan sparatisme.
Lalu siapa yang sedang mengobok-obok NKRI? Kenapa protes terhadap rasisme berubah menjadi kekacauan dengan tuntutan Papua merdeka? Kalau kita menjawab pertanyaan itu maka kita harus berani mengatakan bahwa ada kekuatan besar yang sedang mengepung Indonesia, karena pemerintah semakin memperlihatkan kelemahannya di hadapan negara-negara besar yang bernafsu mendirikan "negara boneka" di Papua.
Kita tidak boleh menjadi pelayan kepentingan negara-negara adidaya, dan tanpa sadar kita menggantungkan segala keinginan bangsa Indonesia pada neo-kolonialisme dan imperialisme. Tentu Beberapa negara memiliki agenda penting, dan siap mendukung segala upaya pembentukan negara boneka tersebut.
Langkah-langkah Untuk Mengatasi Keadaan
Presiden tidak cukup hanya menyebar semacam himbauan saja, sebab untuk menangani dan mengatasi keadaan papua harus dilakukan beberapa pendekatan penyelesaian masalah. Untuk mengatasi keadaan yang sudah pada titik krusial seperti ini, tidak hanya menggunakan satu pendekatan saja, semua pendekatan harus diambil.
Pertama, pemerintah pusat harus melalui langkah dialog integratif, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak. Langkah ini adalah merupakan langkah lunak pemerintah dalam mengajak semua pihak untuk menerima kesepakatan.
Papua bergabung dengan NKRI dengan menggunakan referendum yang diikuti oleh rakyat Papua. Keinginan untuk bergabung dengan NKRI adalah hasil kesepakatan masyarakat Papua sendiri. Karena itu, untuk mendamaikan keadaan, pemerintah pusat harus melakukan dialog yang integral dengan masyarakat Papua, bila perlu pemerintah pusat hadir di tengah-tengah masyarakat Papua.
Selain pendekatan yang lunak dengan melakukan dialog integratif, Langkah kedua adalah menindak secara tegas pelaku anarkisme dan menghadang segala upaya untuk memecahkan NKRI. Sikap tegas pemerintah adalah tidak mengambil kompromi apapun yang membuka terjadinya separatisme dan gerakan pemisahan diri. Sebab, secara de facto dan de jure Papua adalah wilayah Indonesia yang berada dalam wilayah hukum Indonesia.
Siapapun yang melakukan pelanggaran hukum menurut norma hukum Indonesia, maka wajib ditegakkan hukum, bila perlu dengan mengerahkan militer yang kuat untuk mengamankan keadaan. Sebab sifat lunak pemerintah selama ini yang cenderung mentolerir gerakan separatis di Papua telah membuka jalan terjadinya disintegrasi. Maka langkah "keras" perlu diambil sebelum terjadi kerusakan yang lebih besar.
Sambil menjalankan dialog integrasi dan mengamankan keadaan dengan kekuatan militer, Pemerintah harus melakukan diplomasi yang pada dunia Internasional. Mengadakan pertemuan dengan negara-negara pasifik, Amerika, Australia dan Eropa, supaya tidak ikut campur dan intervensi dalam persoalam dalam negeri Indonesia.
Langkah diplomasi internasional tidak sekali-sekali memberikan kesempatan kepada dunia luar untuk melakukan mediasi. Sebab jalan mediasi atau penghentian pertikaian oleh pihak ketiga akan membawa masuk negara lain melakukan intervensi lebih jauh terhadap persoalan republik.
Diplomasi internasional ini untuk menghalau gerakan Beny Wenda yang terus memprogandakan kondisi Papua di kancah internasional. Pintu diplomasi bagi pemerintah sangat banyak, namun hal tersebut perlu keseriusan.
Saya punya pengalaman ketika menjadi anggota Komisi III DPR RI ketika berkunjung ke Parlemen Amerika. Salah seorang anggota Parlemen yaitu Eni FH Falcoma Vaega, Refresentative American Samoa, yang begitu anti terhadap Indonesia, tetapi ketika diberikan pemahaman oleh Duta Besar Indonesia Untuk AS, Dino Patti Djalal melalui diplomasi "rendang" yaitu pendekatan informal dengan mengundang dan mengajak makan ala Indonesia (nasi rendang) secara terus-menerus, yang akhirnya merubah sikapnya terhadap Indonesia yaitu dapat mengerti dan menerima serta menjadi lunak terhadap Indonesia, pada waktu kami bertemu dan berdialog sudah memberikan dukungan bahwa Papua adalah bagian dari negara Indonesia.
Menurut saya langkah diplomasi ini sangat penting untuk menggalang dukungan internasional, termasuk menghalau Propaganda politik internasional yang sedang di mainkan di kancah Internasional. Kalau langkah diplomasi ini tidak diseriusi bisa jadi Benny Wenda bisa mendominasi pergerakan mencari legitimasi internasional.
Untuk itu Presiden dan Wakil Presiden harus berbagi peran, siapa yang mengambil peran memadamkan bara api dalam negeri dan siapa yang memadamkan bari api di dunia internasional, di dunia internasional harus melakukan dengan aktif melobby, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa, sebagaimana Presiden Gus Dur pernah melakukan dalam meredam dan menyelesaikan Aceh. Memang untuk hal diperlukan kecakapan dan kehandalan diplomasi dan komunikasi Internasional.
Langkah terakhir yaitu menegakkan hukum terhadap gerakan separatis. Pemerintah pusat jangan terlalu memanjakan gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) yang setiap saat mengancam kedaulatan dan keutuhan bangsa Indonesia.
Sikap lunak dengan memberikan "label" Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sangat manja. Gerakan di Papua itu adalah gerakan separatis bersenjata yang harus ditindak tegas menurut hukum.
Aparat keamanan perlu mengambil sikap tegas dan menyatakan gerakan separatis berbahaya yang merongrong kesatuan dan persatuan bangsa. Semua pelaku haru ditindak menurut hukum Indonesia.
Itulah empat langkah yang harus diambil oleh pemerintah pusat dalam menghadapi gerakan separatis yang "beringas" di Papua. Tidak ada jalan lain kecuali Papua harus tetap berada di NKRI dan pemerintah wajib untuk mempertahankan itu.
Dr. Ahmad Yani
Anggota Komisi III DPR RI 2009-2014, dosen Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadyah Jakarta.
[rmol]