Anies, Pemimpin yang Dirindukan

Anies, Pemimpin yang Dirindukan

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Penulis: Tony Rosyid

Meriah! Itulah kesan di acara Jakarta Muharram Festival. Lebih meriah dari Festival Muharram dimanapun.. Bahkan lebih meriah dari Festival Tahun Baru Masehi. Yang hadir bukan hanya rakyat Jakarta, tapi masyarakat se-Jabodetabek.

Kenapa semeriah itu? Pertama, tentu karena persiapannya lebih matang. Ini alasan normatifnya. Acara digarap serius dan profesional. Meski bukan jaminan bahwa setiap acara yang serius dan terencana selalu meriah dan banyak pengunjung. Acara di Lapangan Simpang Lima Semarang beberapa bulan lalu misalnya. Persiapannya matang, dianggarkan hingga 18 miliar, melibatkan hampir semua ASN se-Jateng, dan dihadiri presiden RI, acaranya sepi. Malah dikotori dengan kehadiran sejumlah orang yang mabuk-mabukan di acara itu.

Kedua, masyarakat muslim rindu festival keislaman. Ini bagian dari ekspresi keberagamaan yang sempat dilarang oleh gubernur sebelumnya. Tidakkah ini hak setiap umat beragama untuk memanfaatkan Monas sebagai sarana mengekspresikan ajaran agamanya? Tidak merusak, gak mengganggu umat agama lain. Kenapa dilarang?

Monas dan juga kawasan Bundaran HI milik rakyat. Setiap rakyat, baik secara personal maupun komunal, pribadi atau ormas, berhak untuk memanfaatkan Monas dan kawasan Bundaran HI sebagai sarana hiburan dan kegiatan. Karena Monas memang dibangun oleh negara untuk rakyatnya. Selama tidak melanggar aturan, tak ada norma yang ditabrak, tetap menjaga etika dan kesopanan, maka siapapun boleh mengadakan acara di Monas. Termasuk untuk acara keagamaan. Jadi, larangan Monas untuk kegiatan rakyat sesungguhnya cukup aneh dan patut disesalkan. Dan hari ini, keanehan itu sudah berakhir. Layak disyukuri.

Monas tidak saja dibebaskan Anies, tapi dijadikan sarana Gubernur DKI ini untuk merangkul warganya. Jakarta Muharram Festival adalah salah satu sarana Anies merangkul seluruh warganya, khususnya muslim, dan dari semua etnis, ormas dan mazhab politik. Pendukung maupun bukan, semua dilibatkan dan bebas untuk hadir. Sebab, Anies bukan gubernurnya para pendukung. Tapi Anies adalah gubernur seluruh warga Jakarta. Semua etnis, agama dan lintas dukungan politik.

NU struktural dan kultural hadir. Yang garis lurus maupun setengah lurus hadir. Muhammadiyah hadir. FPI hadir. Semua representasi ormas diundang untuk hadir di acara Jakarta Muharram Festival. Dan memang terbuka untuk siapapun yang hadir.

Ketiga, Itu tanda bahwa Anies ada di hati rakyatnya. Jakarta Muharram Festival itu hajat Pemprov DKI. Anies Baswedan komandannya. Rakyat hadir seolah ingin membuktikan bahwa mereka masih istiqamah mendukung dan mencintai Anies sebagai pemimpinnya.

Anies tak perlu siapkan bus, tiket kereta gratis dan uang saku untuk para pengunjung, sebagaimana yang selama ini lazim dilakukan oleh para pemimpin kita. Mereka datang dengan hati. Tidak datang demi 100 ribu. Tidak pula demi nasi bungkus. Tidak datang karena takut dipidanakan. Begitulah seharusnya pemimpin.

Bagaimana Anies berhasil mengambil hati rakyatnya?

Pertama, Anies menggunakan jurus merangkul, bukan memukul. Pendukung maupun bukan pendukung dilibatkannya. Anies tak pernah menanggapi kritik dan bulian kecuali dengan kerja dan karya. “Saya tak akan menjawab kritik dan bulian itu dengan kata-kata, tapi saya jawab dengan karya”, kata Anies di acara ILC 13/8/2019. Sumbut, kata orang Jawa. Terbukti, kerja Anies di DKI sudah banyak mendapat penghargaan.

Emosi Anies stabil. Tak mudah terpancing untuk marah. Tutur katanya terukur. Komunikasinya menyejukkan, meski kepada lawan politiknya. Tak suka berdebat, apalagi menyerang lawan. Sesekali perlu menjelaskan dan melakukan klarifikasi kalau dianggap urgen bagi rakyat. Emotional Quotient (EQ) seperti ini penting untuk dimiliki oleh setia pemimpin. Pemimpin kelas manapun. Sebab, di tangan pemimpin nasib rakyat akan ditentukan.

Kedua, satunya kata dan pebuatan. Yang paling mudah diukur adalah janji politiknya. Anies selalu ungkap 23 janji politiknya. Dia ingatkan terus kepada rakyat bahwa itu janji yang harus ditunaikan. “Sukses tidaknya seorang pemimpin salah satunya diukur dari ditunaikannya janji politiknya kepada rakyat saat kampanye”, begitu kata Anies. Ini sekaligus jadi faktor yang membedakan Anies dari para pemimpin pada umumnya. Politisi lain cenderung lupa, bahkan berusaha untuk melupakan janji-janji politiknya. Anies justru terus mengingatkan mana janji-janji yang sudah ditunaikan, dan mana yang akan ditunaikan.

Ketiga, adil dalam kebijakan. Di Jakarta, batas perbedaan antara orang-orang kaya dengan masyarakat miskin sagat timpang. Anies membuat banyak kebijakan melalui pergub untuk mendorong masyarakat miskin mengejar ketertinggalannya dan merapatkan jarak kesejahteraannya dengan orang-orang kaya. Diantaranya adalah pergub No 132/2018 yang mewajibkan pengembang menyerahkan pengelolaan apartemen dan ruko kepada para pemilik. Pergub 42/2019 Yang menggratiskan pajak bagi rumah para pahlawan, perintis kemerdekaan, dosen, guru dan pensiunan. Sebab, banyak rumah mereka yang tak mampu dibayar pajaknya oleh ahli waris, akhirnya terpaksa dijual dan dibeli oleh mereka orang-orang yang kaya.

Anies juga akan mengambil alih pengelolaan air bersih yang selama ini dikelola dua perusahaan swasta. Ini memberatkan warga Jakarta, karena harga air bersih dianggap cukup mahal. Anies buat kebijakan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan dua perusahaan swasta itu. Selain itu, Anies juga membebaskan motor hadir di jalan Soedirman dan Thamrin. Karena di situlah roda ekonomi rakyat kecil ikut berputar.

Inilah diantaranya yang menjadi faktor mengapa Anies berhasil hadir di hati rakyatnya. Dan antusiasme kehadiran rakyat di Jakarta Muharram Festival tak terlalu berlebihan jika disebut sebagai salah satu bukti bahwa Anies adalah pemimpin yang dirindukan oleh rakyatnya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita