OLEH: DR. AHMAD YANI, SH.MH
GELORA.CO - SUDAH Dua hari ini amarah mahasiswa terus menggeliat, interupsi yang sangat keras, bergerak dari berbagai arah, menghiasi seluruh ruang ruang dan media, publik tersentak melihat itu, riuh tepuk tangan menyambut.
Di berbagai daerah, dari semua kampus, sebuah gelombang besar menggetarkan singgasana kekuasaan. Wajah kekuasaan kelihatannya lesu, memandang protes sosial yang begitu membludak, tak disangka awet dan semakin menggelinding seperti bola salju.
Ini amarah yang "liar" tidak didominasi oleh remote kontrol "makelar" atau oligarki politik. Gerakan yang lahir dari perasaan yang tercabik-cabik oleh ketidakadilan dan tirani regulasi.
Saya memantau "kerumunan" amarah itu, melihat wajah pemuda yang bersemangat dengan keringat di bawah asap gas air mata dan tembakan water cannon yang keras. Mereka tidak mundur dan putus asa, justru semakin kuat dan membludak.
Solidaritas bahkan meningkat, mahasiswa di berbagai daerah seakan-akan menerima transfer emosi itu. Kemudian sepanjang hari amarah itu menghasilkan letupan-letupan besar.
Potret ini menggambarkan mekarnya idealisme dalam diri mahasiswa. Idealisme yang lahir dari kegelisahan yang terakumulasi, karena negara sedang dalam keadaan tidak baik.
Panggilan sejarah telah tiba, siklus 20 tahunan semakin menguat. Dulu ada sejarah dari para legenda pergerakan, melihat dengan tajam kejahatan kekuasaan otoriter. Lalu berteriak memecahkan ufuk untuk melaporkan ketidakadilan itu pada Tuhan. Tuhan mendengar dan meluluhlantakkan kezaliman itu.
Kini kezaliman merajalela, kekuasaan dilaksanakan dengan ugal-ugalan, rakyat menjerit kekuasaan melanggeng. Keadilan menjadi "yatim piatu", kebenaran menjadi milik segelintir orang.
Kesejahteraan kemanakah engkau pergi meninggalkan para mustadafin yang merana karena penindasan? Kekuasaan buta terhadap kemeralatan, tuli terhadap rintihan rakyat. inilah yang memompa emosi mahasiswa. Mereka gelisah melihat kondisi politik dan kebangsaan yang semakin hancur.
Sejarah kini mengulang sebuah peristiwa, sebuah peristiwa yang pernah dialami oleh kita di masa lalu. Sejarah tentang perlawanan kaum intelektual terhadap kekuasaan yang dzolim.
Panggilan sejarah yang memekakkan telinga, menggetarkan nurani, menyeru kita dalam satu nafas perubahan yaitu menuju Indonesia Maju. Mahasiswa Dipanggil lagi untuk menunaikan tugasnya, tugas untuk mengibarkan bendera idealisme yang selama ini terhenti pasca 20 tahun lalu.
Kenapa Mahasiswa Begitu Marah?
Revisi beberapa UU seperti UU KPK, KUHP, Pemasyarakatan, Pertanahan, Ketanagaan kerja, dan Pembentukan UU PKS, dianggap sebagai pemicu utamanya. Regulasi yang secara serentak disahkan oleh DPR dan Presiden menurut mahasiswa tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Tetapi saya membaca sebuah gejala yang lebih besar terkait gerakan mahasiswa. Masalah Politik hukum dalam pembentukan UU yang diduga ada “penyelundupan kepentingan tertentu“ yang jauh dari semangat demokrasi pancasila.
Spirit Pancasila adalah merupakan meta-yuris bagi politik hukun pembentukan UU tidak dijadikan landasan bagi DPR dan Pemerintah untuk mengeluarkan produk hukum. Seharusnya setiap regulasi harus mencerminkan meta-yuris itu. Bahwa setiap peraturan wajib mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan berkeadilan.
Mahasiswa membaca, meta-yuris terhadap produk hukum itu "kering" dengan nalar kekuasaan yang lebih mendominasi, bukan nalar keadilan sosial. Karena itu "kecurigaan" mahasiswa wajar, sebab kekuasaan tidak memberikan penjelasan yang terbuka pada mahasiswa dan masyarakat luas.
Bukan hanya regulasi yang tidak memberikan kepastian dan keadilan, masalah lain yaitu, tersumbatnya aspirasi, terputusnya komunikasi antara elit penguasa dan rakyat, serta tirani regulasi. Intinya bukan hanya masalah UU KPK dan RUU KUHP, tetapi masalah bangsa yang secara keseluruhan.
Sebuah ilustrasi yang menarik untuk memahami gejala gerakan Mahasiswa ini dapat kita baca dalam karya yang ditulis George Orwell. Hidup dalam ketimpangan, penindasan dan, keinginan untuk bebas dan berdiri diatas kaki sendiri mendorong makhluk dalam "kandang" untuk bergerak menantang kekuasaan tuan mereka.
Sekelompok binatang yang digambarkan dalam Animal Farm, mampu "mengguncang singgasana" tuan mereka dan mengusirnya dari tempat tinggalnya karena persoalan ketimpangan, ketidakadilan dan ancaman tirani sang tuan.
Hasrat untuk hidup bebas dari segala penindasan, kemauan untuk merubah keadaan yang sudah mulai tidak bersahabat dengan nurani keadilan, mendorong gerakan perubahan yang sangat kuat, bahkan mempersingkat sirkulasi kekuasaan.
Pada saat yang sama kondisi ekonomi, kemerosotan, dan perilaku penguasa dan elite politik yang menimbulkan distrust dan memperkecil legitimasi, sehingga mempermudah terjadinya gejala pembangkangan itu.
Masalah-masalah inilah yang membuat gerakan mahasiswa itu semakin menguat, bahkan membentuk satu kekuatan moral yang kuat bagi mahasiswa untuk memperhebat tekanan kepada kekuasaan.
Ke Mana Arah Gerakan Mahasiswa?
Banyak analisa yang bertebaran bahwa gerakan mahasiswa akan berhenti pada persoalan rencana revisi beberapa UU dan Pembentukan UU baru, Ujung dari gerakan ini seperti biasanya akan berhenti dan tenggelam dengan munculnya isu baru.
Tetapi menurut saya, pergerakan ini akan bertahan sampai menemukan titik klimaksnya. Yaitu terpecahnya masalah sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Gerakan ini menurut saya tidak berakhir hanya karena tuntutan sebatas regulasi hukum yang sedang diperbincangkan, tetapi lebih jauh, yaitu untuk mengakhiri ketimpangan sosial, ekonomi dan ketidak adilan yang dialami dan dirasakan oleh rakyat.
Gerakan Mahasiswa sudah berjalan, diberbagai daerah tuntutannya sudah semakin berbeda, mulai dari persoalan defisit BPJS dan kenaikan Biaya BPJS, Ekonomi yang sedang tekor, kenaikan BBM, TDL, tenaga kerja asing, kebakaran hutan yang meluas terjadi di mana-mana dan penegakkan hukum yang timpang.
Kemarahan mahasiswa yang pada awal dipicu oleh hal yang sektoral, kini berubah menjadi besar. "Menggonggong" kekuasaan yang tidak mampu memberikan solusi bagi banyaknya persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi.
Dengan demikian, jelas gerakan mahasiswa ini merupakan moral of force di tengah runtuhnya moralitas elit. Gerakan Mahasiswa ada social of control di tengah masyarakat yang sudah mulai kehilangan daya kontrolnya akibat kekuasaan yang tidak memihak kepentingan rakyat. Gerakan Mahasiswa adalah agent of change di tengah kondisi bangsa yang sudah tidak punya arah lagi.
Oleh sebab itu gerakan mahasiswa hari ini merupakan jawaban atas akumulasi persoalan bangsa yang dinilai tidak mampu lagi diselesaikan oleh kekuasaan dan elite politik. Bahkan kalau kekuasan terus merawat kegelisahan mahasiswa ini, tidak menutup kemungkin kekuasaan lepas dari singgasanannya.
Menggelinding Seperti Bola Salju
Pada saat gerakan semakin kuat, singasana kekuasaan merasa gerah, maka muncullah narasi ditunggangi. Narasi ditunggangi ini saya menyebutnya sebagi "tirani narasi". Di mana setiap Gerakan mahasiswa selalu dituduh didalangi oleh pihak tertentu, tanpa alasan dan data yang jelas. Itu bagian dari tirani narasi.
Tirani narasi bertujuan untuk membungkam dan meredam gerakan mahasiswa. Kekuasaan sengaja menciptakan narasi ditunggangi untuk membuat apatis para mahasiswa yang berujung pada saling curiga. Namun yang terjadi sebaliknya, gerakan mahasiswa tidak redam, malah justru menggelinding semakin besar.
Dalam tirani narasi itu, muncul gerakan yang mencengangkan. Sekelompok siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) bergerak secara massif dan sangat berani. Gelombang gerakan siswa ini bangkit kembali setelah puluhan tahun tengelam, yaitu gerakan KAPI yang ikut menumbangkan kekuasaan Orde Lama.
Gerakan yang begitu lincah dan berani dari siswa STM menimbulkan tanda tanya. Bahkan keberanian mereka justru mengalahkan keberanian seniornya yang sudah menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Disaat narasi yang memojokkan gerakan mahasiswa, justru gerakan semakin menguat. Simpati masyarakat begitu kuat, dan dengan simpati pula siswa STM bergerak. Ini solidaritas yang sulit dibaca dengan analisa biasa, sebab solidaritas ini justru datang dari kelompok siswa yang dianggap masih labil.
Bagi saya ini sebuah gejala yang harus diperhatikan dan butuh wawasan dan pikiran yang jernih untuk memahami gerakan yang muncul ini. Gejolak yang terjadi akan menjadi amukan yang keras kalau tidak muncul kesadaran negarawan dari para elit yang berkuasa.
Sebab munculnya tuduhan terhadap gerakan mahasiswa tidak menyulutkan "kemarahan" dan kegelisahan publik. Sekarang yang bergerak bukan hanya mahasiswa, simpati datang dari berbagai lapisan masyarakat. Arahnya akan menuju pada "amukan massa" yang kuat dan tentu akan menggoncang singgasana kekuasaan.
Dosen Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ)(rmol)