Oleh Chazali H. Situmorang
Sejarah berulang. Begitulah situasi yang terjadi beberapa hari ini. Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di kota Jakarta, Bandung, Yogya, Makassar, Medan melakukan demonstrasi ke DPR dan DPRD masing-masing kota, dengan tuntutan “Mosi tidak percaya kepada DPR dan derivasinya DPRD di daerah”.
Mungkin banyak yang tahu, bahwa para anggota DPR dan DPRD yang mereka protes, dulunya adalah pahlawan reformasi yang menduduki Gedung DPR, untuk menurunkan Soeharto yang sudah 30 tahun berkuasa. Karena rezim Orde Baru sudah sangat KKN, dan ekonomi semakin memburuk.
Untuk sejarah berulang, rupanya tidak perlu sampai 30 tahun. Sejak reformasi berlangsung 17 tahun, roda berputar, manusia berubah. Mereka yang dulu pahlawan reformasi, kemudian memasuki kekuasaan di eksekutif, legislatif, termasuk para militer yang dulu turut menentang dwi fungsi ABRI, dan ikut gerakan reformasi, menjadi sekelompok manusia yang “tegar” untuk mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan demokrasi dan reformasi.
Kuburan Habibie belum kering. Tetapi sebagai bapak demokrasi yang memancangkan pilar-pilar demokrasi, begitu saja dilupakan oleh mereka yang menepuk dadanya sebagai reformis sejati. Indonesia saat ini dalam situasi anomali, serba antagonist, dan tidak jelas arah kehidupan sebagai bangsa.
Pemerintah dan DPR yang merasa yakin rakyat sedang bengong, mahasiswa sedang sibuk main gadget, para dosen sibuk mengurus persyaratan yang rumit untuk dapat remunerasi sertifikasi dosen, yang harus dilengkapi setiap semester, merupakan strategi menteri Nasir, untuk tidak turut mengajak mahasiswa berdemonstrasi.
Strategi Pemerintah dan DPR mulai menunjukkan hasilnya, dengan lolosnya Capim Pimpinan KPK yang “bermasalah” menjadi Pimpinan KPK. Demikian juga revisi UU KPK mulus disetujui dalam sidang Paripurna DPR.
Masyarakat dan mahasiswa tersentak. Mereka kembali kepada nalurinya sebagai mahasiswa yang berpikir kritis, responsif, demokratis, dan “memberontak” atas kemapanan dan rezim yang mulai menunjukkan arah langkah ke otoriter, atau bahkan Koran Tempo menyebutkan hendak kembali ke Orde Baru.
Disisi lain, DPR semakin bernafsu menyelesaikan RUU yang dinilai sangat krusial dan potensi untuk hidup suburnya korupsi. Antara lain RUU KUHP. RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan. Dan RUU Minerba. Siang malam DPR bersidang dengan sisa waktu yang sangat sempit sebelum periode mereka berakhir, akhir September ini.
Sidang-sidang di DPR, saling berpacu dan kejar-kejaran dengan demonstrasi mahasiswa di DPR sampai malam hari, dan berlanjut esok harinya seolah tidak kenal lelah. Bedanya mahasiswa berpanas-panasan dan berhadapan dengan polisi, sedangkan para anggota DPR di ruang rapat yang ber AC, dengan panganan yang lezat, sangat kontras dengan mahasiswa yang hanya mendapatkan nasi bungkus.
Demontrasi mahasiswa sudah mulai menunjukan hasil. “Tadi siang saya bertemu dengan Ketua DPR, serta Ketua Fraksi, Ketua Komisi, yang intinya tadi saya minta agar pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, kemudian keempat RUU Pemasyarakatan itu ditunda pengesahannya untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, substansi yang lebih baik sesuai keinginan masyarakat,” ujar Jokowi.
“Jadi yang belum disahkan tinggal satu yaitu Rancangan Undang-Undang Tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujar Jokowi.
Kebijakan tersebut, seolah memberikan permen kepada mahasiswa, dengan tuntutannya direspons dengan cepat. Apakah mahasiswa berhenti berdemonstrasi?. Dari pengalaman sejarah, tidak semudah itu menghentikan gerakan moral mahasiswa. Isu-isu ikutan lainnya, tidak luput. Termasuk persoalan Pimpinan KPK, soal UU KPk yang baru, kabut asap, soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan, tidak luput dari pantauan mahasiswa.
Di Yogya, melalui Aliansi Rakyat Bergerak mengajukan tujuh tuntutan. Ketujuh poin tuntutan ini diserukan oleh ribuan massa aksi #GejayanMemanggil kepada Presiden Jokowi dan DPR RI.
Adapun tujuh tuntutan itu adalah:
- Mendesak penundaan dan pembahasan ulang pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
- Mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
- Menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan di Indonesia.
- Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja.
- Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria.
- Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
- Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Jika dicermati ketujuh tuntutan tersebut, bersinergi dengan tuntutan Mahasiswa di Jakarta yaitu “Mosi tidak percaya kepada DPR”. Mereka akan terus berdemonstrasi di DPR yang rencananya akan mengadakan 3 kali Sidang Paripurna sebelum periode mereka berakhir September 2019.
Eskalasi suhu politik yang tinggi, juga semakin memanas dengan pembakaran kantor Bupati di Wamena oleh para pelajar Papua. Apalagi persoalan ekonomi yang masih sangat berat, juga dapat menjadi pemicu.
Tetapi yang tidak kalah pentingnya, adalah apakah dalam situasi suhu politik yang memanas ini, tidak ada elite partai, politisi, elite pemerintah, dan juga para Jenderal purnawirawan yang ikut bermain, mengepung Presiden, dalam upaya mendapatkan kue kekuasaan. Baik jabatan menteri, kepala lembaga negara, lembaga pemerintahan, dan posisi stretegis lainnya.
Indikasi adanya strategi para elite dalam berbagai gerakan mahasiswa, antara lain adalah tidak terlihat tindakan represif Polisi atas berbagai demonstrasi yang berlangsung sampai malam hari.
Berbeda dengan demonstrasi 21-22 Mei 2019 di Bawaslu yang lalu, Brimob turun langsung dengan senjata lengkap. Letusan senjata dan petasan, lemparan batu bersahutan. Ratusan demonstrans ditangkap. Para elite nya dipanggil Polisi dengan tuduhan makar dan memiliki senjata api ilegal. Situasi mencekam. Setiap hari ada siaran pers dari Kepolisian melaporkan perkembangan keadaan kepada media.
Hari-hari ini, gerakan demonstrasi mahasiswa ke DPR dan di beberapa kota besar, tidak ada kita dengar Siaran Pers dari Kadiv. Humas Polri, apa ada yang luka-luka, apa ada yang ditemukan bawa batu, bom molotov, dan selongsong peluru.
Mudah-mudahan hal tersebut menunjukkan kondisi yang kondusif. Demonstrasi masih tertib. Tuntutan jelas yaitu “Mosi tidak percaya kepada DPR” , bukan kepada lembaga lainnya he…he… . Karena DPR ya silahkan, karena mereka memang wakil rakyat, dan dulunya mereka juga adalah para demonstrans atas nama reformasi 17 tahun yang lalu. Sekali lagi sejarah berulang.
Perkembangan situasi mendatang
Sebagaimana kita ketahui, 1 Oktober 2019 adalah pelantikan anggota DPR/MPR/DPD baru, walaupun 50,26% masih wajah lama, tetapi tentu suasana dan dinamika iklim baru akan terasa. Dimulai dengan pemilihan Pimpinan DPR dan MPR, pimpinan Komisi-Komisi dan badan kelengkapan DPR/MPR dengan saling tarik-menarik antara partai akan mencuat ke permukaan. Diduga partai pendukung Jokowi akan terbelah. Dan bukan tidak mungkin partai lawan Jokowi berkolaborasi dengan partai pendukung Jokowi. Banyak hal dapat terjadi. Namanya politik. Dalam politik tidak ada teman yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi.
Bulan Oktober 2019, merupakan bulan yang mendebarkan bagi mereka pemburu kekuasaan. Bukan tidak mungkin situasi akan semakin memanas dengan tuntutan mahasiswa terkait dengan UU KPK yang baru yang terus bergulir, dan juga Mosi tidak percaya yang ditujukan kepada anggota DPR yang baru, yang terasa hambar di mata mahasiswa.
Puncaknya adalah pelantikan Presiden Jokowi, 20 Oktober 2019, diikuti satu atau dua hari dengan pengumuman Kabinet. Bukan tidak mungkin juga pengumuman Kabinet jika tidak kredibel, menjadi amunisi baru bagi mahasiswa untuk berdemonstrasi.
Pemerintah tentu tidak berkeinginan proses pelantikan Presiden Jokowi menjadi terganggu. Antara lain dengan menunda pengesahan 4 RUU yang telah disampaikan langsung oleh Jokowi. Upaya relaksasi ini, diharapkan dapat mendinginkan suhu politik. Tetapi Presiden Jokowi terlambat. Karena RUU KPK sudah disetujuinya. Mungkin Jokowi yakin aman, setelah mendapatkan masukan dari intel-intel disekitarnya. Tetapi ada yang menganalisis bahwa RUU KPK tersebut juga sesuai keinginan Presiden Jokowi yang ingin tetap aman, tidak “diganggu” KPK selama menjadi Presiden 5 tahun mendatang. Nasi sudah menjadi bubur. Pemerintah harus dengan bijak menghadapi situasi sekarang ini.
Pergerakan mahasiswa di tiga kota Jakarta, Bandung, dan Yogya jangan dianggap sepele. Jika dicermati dari berbagai media malam ini, pergerakan mahasiswa dari Bandung mulai bergerak menuju Jakarta ke gedung DPR. Mereka mungkin bercita-cita melahirkan sejarah Reformasi Jilid II.
Cibubur, 23 September 2019 (*)