Oleh Fitriyan Zamzami, wartawan Republika
Ada masanya, gerakan Komunisme dan komunitas Muslim punya bulan madu. Utamanya sepanjang Revolusi Rusia pada 1917, saat pemimpin besar gerakan komunis di Rusia kala itu, Vladimir I Lenin, merayu Muslim ikut dalam upaya menggulingkan Tsar dan membentuk republik baru bernama Uni Soviet.
Ide itu sudah digalang Lenin sejak 1916, saat ia mengimbau gerakan Bolshevik merangkul kader sayap kiri dari komunitas Muslim di Rusia, Asia Tengah, dan negara-negara mayoritas Islam lainnya yang tengah dicengkeram kolonialisme. Terkait hal itu, atas dorongan kaum komunis, Kongres Muslim se-Rusia sempat digelar pada awal 1917 untuk mendukung penggulingan Tsar.
Selepas revolusi pada Oktober 1917, Lenin juga menjanjikan kebebasan beribadah bagi Muslim. Ia menjanjikan, rezim komunis tak akan seperti kekaisaran Tsar yang "menginjak-injak kepercayaan dan tradisi umat Islam" di Rusia. Di belahan dunia lain, aktivis komunisme mendengar perintah Lenin dan berupaya menyusupi gerakan-gerakan Islam, termasuk ke dalam Sarekat Islam di Hindia Belanda.
Masa-masa itu, berbarengan dengan meruaknya semangat Pan-Islamisme di berbagai negara jajahan sebagai tanggapan atas kejinya kolonialisme dan imperialisme.
Sejak awal mula penyebaran Islam, kerajaan dan kesultanan yang terbentuk sudah mengangankan semacam pemerintahan terpadu untuk seluruh pengikut Nabi Muhammad SAW. Meski begitu, ideal tersebut hanya bertahan hingga berdirinya dinasti Abbasiyah pada abad ke-8. Sementara sejak abad ke-9, kekhalifahan ketiga dalam Islam itu mulai terpecah-pecah menjadi daerah otonomi dan kerajaan-kerajaan protektorat hingga yang berdiri sendiri.
Sejak itu, secara praktis tak ada lagi pemerintahan Islam yang benar-benar terpadu. Kekhalifahan Utsmaniyah (abad ke-14 hingga abad ke-20) juga membayangkan dirinya sebagai pemerintahan pusat Islam, meski faktanya tak demikian.
Nah, soal Pan-Islamisme dan gerakan khilafah modern adalah persoalan yang berbeda dengan kekhalifahan awal tersebut. Dua pemikir penting gerakan itu, Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani hidup pada puncak kolonialisme Eropa di wilayah-wilayah mayoritas Islam pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Keterpurukan umat dibandingkan ekspansi kolonial jadi dasar al-Afghani menilai perlu dibentuknya sebuah imperium Islam terpadu dengan nilai-nilai Islam. Setelah mereka, dinamika penetrasi asing di "Darul Islam" dan munculnya ide khilafah jadi pola yang berulang.
Di Indonesia, menurut jurnalis senior Republika Alwi Shahab, semangat Pan-Islamisme itu secara tersirat sudah terbentuk seiring pendirian Jamiatul Khair, lembaga pendidikan yang digagas komunitas Arab di Indonesia pada 1901. Menurut Abah Alwi, Jamiatul Khair punya korespondensi aktif dengan gerakan-gerakan Pan-Islamisme di Timur Tengah. Para alumni Jamiatul Khair ini juga yang kemudian membawa gagasan Pan-Islamisme ke Sarekat Islam yang berdiri pada 1912.
Pada akhir dekade kedua abad ke-20, gerakan Pan-Islamisme ini kian kencang. Para pemikir Islam di berbagai negara serentak mengkampanyekan kebangkitan Islam secara terpadu melawan dominasi Barat. Tepat pada saat itu pandangan Lenin terhadap Islam, khususnya Pan-Islamisme yang merupakan akar dari gerakan khilafah, berubah. Agaknya, Lenin gerah karena internasionalisme Pan-Islamisme akan berhadap-hadapan dengan internasionalisme yang juga diperjuangkan komunisme.
Pada 5 Juni 1920, dalam "Tesis tentang Pertanyaan Nasional dan Kolonial" yangvia sampaikan di Kongres Kedua Komunis Internasional (Komintern), Lenin menegaskan perlawanannya. "Semua partai komunis harus melawan Pan-Islamisme dan tren-tren serupa yang berupaya menggabungkan perjuangan kemerdekaan melawa imperialisme Eropa dan Amerika," tulis Lenin.
Sebagai bagian propagandanya, Lenin menilai gerakan Pan-Islamisme semata upaya menguatkan posisi para khan, pemilik tanah, mullah, dan sebagainya. Klaim ini janggal karena sedari mula, baik Jamaluddin al-Afghani maupun Muhammad Abduh membayangkan kesatuan politik Islam sedunia yang demokratis.
Sikap Lenin terhadap Pan-Islamisme yang kemudian didukung aparatus partai ini bukannya tanpa perlawanan. Pada Kongres Keempat Komunis Internasional pada 12 November 1922, ada sebuah sanggahan sengit terhadap kebijakan Lenin tersebut. Sanggahan itu datang dari seorang pemuda Minangkabau bernama Tan Malaka yang baru setahun menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu, nampak dari notulen pidato, sanggahan Tan Malaka coba dihentikan moderator. "Saya datang dari Hindia Belanda, empat puluh hari perjalanan!" balas Tan Malaka disambut riuh tepuk tangan peserta kongres.
Tan Malaka kemudian menjelaskan bagaimana sikap Lenin terhadap Islam digunakan Belanda menutup peluang kerja sama dengan gerakan Islam dan menimbulkan perpecahan di Sarekat Islam di mana Tan Malaka sempat menjadi anggota. "Mereka bilang, 'lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan perpecahan, mereka ingin menghancurkan agamamu!'. Itu terlalu berlebihan bagi seorang petani Muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tidak akan! Ini adalah cara seorang Muslim jelata berpikir. Para propagandis dari agen-agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasi ini dengan sangat baik. Jadi kita pecah," ujar Tan Malaka.
Tan Malaka memaparkan, kekhalifahan pada masa lalu memang memiliki makna historis dan berarti bahwa Islam harus menaklukkan seluruh dunia di bawah satu khalifah. Meski begitu, konsep itu melemah sekitar 400 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad, saat umat Islam terpisah menjadi tiga kerajaan besar yang berpusat di Andalusia, Baghdad, dan Kairo.
Konsep kekhalifahan atau Pan-Islamisme terkini, kata Tan Malaka, "berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdekaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Italia. Oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas," ujarnya.
Dalam pidato itu, Tan Malaka juga mengingatkan para pendengar bahwa di hadapan Tuhan, ia tetap seorang Muslim. Pada akhir pidato, dalam sebuah gestur berani, Tan Malaka secara tegas mempertanyakan kebijakan Lenin melawan Pan-Islamisme. "Sebab itu, saya tanyakan sekali lagi. Bukankah kita harus mendukung Pan-Islamisme dalam hal ini (melawan imperialisme)!?".
Pada akhirnya, tentu saja, Tan Malaka jadi orang kalah. Ia yang mencoba terus menjalin hubungan dengan Sarekat Islam, akhirnya tersingkir dari gerakan Komunis Internasional pada 1926. Saat itu, Tan Malaka keberatan dengan Joseph Stallin, penerus Lenin yang sangat kental kebijakan anti-Islamnya.
Sementara ketakutan Lenin terhadap Pan-Islamisme terus lestari hingga saat ini. Ia sikap yang menghinggapi berbagai pemerintahan pada spektrum ideologi yang beragam. Ketakutan yang mengabaikan niatan semula gerakan Pan-Islamisme, yakni sebagai gerakan perlawanan terhadap kolonialisme, imperialisme, dan ketakadilan yang dialami umat Islam di mana saja. (*)