GELORA.CO - Kerusuhan yang terjadi di Papua Barat terkait perlakuan rasial atas para mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya beberapa waktu lalu, tengah mendapat perhatian luas masyarakat. Isu kesenjangan sosial dan ekonomi terhadap Papua pun kembali muncul dan, bagi kalangan pengamat, faktor kesenjangan itu lah yang menjadi salah satu penyebab mengapa Papua rentan tersulut konflik.
Mempersempit jurang kesenjangan agar taraf sosial dan ekonomi masyarakat di Papua tak jauh beda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia selalu menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah.
Padahal, seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia, Papua zaman dulu juga sama-sama dalam cengkeraman penjajahan Inggris dan Belanda dan juga sama-sama berjuang melepaskan diri dari penjajah sebelum akhirnya "kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia" seperti yang dicanangkan mendiang Presiden Soekarno pada 1963.
Sejumlah literatur sejarah mengungkapkan awal mula kolonialisme bangsa asing di Papua. Salah satunya dalam "Mengindonesiakan Indonesia" karya Harry Kawilarang - serial buku sejarah yang terdiri dari 12 volume yang mengungkapkan upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia selama periode 1900-1958.
Dalam bukunya itu, Harry menjelaskan bahwa pelaut-pelaut Belanda yang bekerja untuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sudah berlayar hingga pesisir Papua Barat di awal abad ke-17. Namun, baru di abad ke-19 Belanda memproklamirkan Papua sebagai bagian dari wilayahnya setelah mendapati wilayah itu termasuk kawasan pelayaran strategis dan kaya akan sumber daya alam.
Sebelum kedatangan Belanda dan orang-orang Eropa lainnya, tulis buku itu, Tanah Papua sudah dikenal oleh pelaut-pelaut nusantara melalui pelayaran dan perdagangan. Para pelaut Bugis dan Makassar, di antaranya. Mereka memperoleh hasil-hasil hutan di sana untuk kemudian diperdagangkan lagi ke daerah-daerah lain.
Begitu pula para nelayan dari Kepulauan Sangihe Talaud di Laut Sulawesi. Saat mencari ikan, perahu-perahu mereka sering terseret arus hingga terdampar sampai Raja Ampat hingga pantai utara Pulau Papua.
"Kerajaan Bacan, Jailolo, Ternate dan Tidore yang merupakan kerajaan-kerajaan Islam di Laut Maluku Utara memiliki hubungan erat dengan beberapa daerah bagian barat dari pantai utara Pulau Papua," tulis Harry.
Datangnya Orang-Orang Eropa
Orang-orang Eropa pertama yang mendarat di Papua adalah para pelaut Portugis pada 1511-1512. Kemudian datang pula orang-orang Spanyol, Belanda, Jerman, dan Inggris.
Pada 13 Juni 1545, kapal San Juan dari Spanyol yang dinakhodai Ynigo Ortiz de Retez berlayar dari Meksiko dengan mengarungi Samudera Pasifik menuju Tidore. Dia dan anak buahnya sempat mendarat di beberapa pulau di bagian utara Papua, yang di antaranya dia beri nama La Selvillana (Pulau Supion) dan Pulau Los Martyre (Pulau Numfor). Lalu dia pun memasuki mulut Sungai Bei, yang kini merupakan bagian timur Sungai Memberamo.
Tempat itu dia ibaratkan bak Guinea, yaitu wilayah Spanyol di pantai barat Afrika. Sehingga muncul ide menamakan wilayah itu dengan Nueva Guinea. Baru 100 tahun kemudian disadari bahwa Nueva Guinea adalah sebuah pulau, dan bukan benua oleh musafir Spanyol lainnya, Luiz Vaez de Torres, tetapi tidak diteruskannya kepada para kartograf Spanyol.
Mengingat de Torres menyusuri dari selatan hingga selat yang memisahkan Pulau Papua dengan Benua Australia, maka perairan itu selanjutnya disebut Selat Torres.
Dalam bukunya, Harry menjelaskan bahwa Belanda kemungkinan baru pertama kali masuk ke Tanah Papua awal abad ke-17. Saat itu perusahaan VOC mengirim sebuah tim ekspedisi dari Banten dengan kapal Duyfken pada 1605 sampai menyelusuri Pantai Papua Barat untuk mencari emas.
Kapal yang dinakhodai Willem Janszoon itu selanjutnya meneruskan pelayaran hingga ke pantai utara Australia. Menurut T.D. Mutch dalam bukunya, The First Discovery of Australia, Janszoon dan para anak buahnya diyakini sebagai orang Eropa pertama yang menemukan pesisir utara Australia.
Lalu pada 1642, nakhoda Belanda bernama Abel Tasman mendarat di pantai selatan Papua dalam perjalanan pulang dari Selandia Baru. Namun, waktu itu VOC kurang menaruh perhatian terhadap Papua, dan lebih menitikberatkan perhatian pada Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku sebagai basis menghadapi ancaman Spanyol dan Inggris dalam perebutan wilayah-wilayah jajahan.
Orang Eropa pertama yang justru bermukim di Papua adalah Letnan John Hayes, perwira asal Inggris. Dia diketahui tinggal di Manokwari pada 1793.
Beberapa orang Inggris dan Belanda juga ikut-ikutan menetap, namun gagal. “Itu karena mereka rentan terkena berbagai penyakit, terutama malaria,” tulis Harry. Selain itu mereka berhadapan dengan orang-orang asli Papua yang masih kanibal.
Pada 17 Maret 1824 pemerintah Inggris dan Belanda di London sepakat dengan perjanjian pembagian wilayah di Asia Tenggara. Belanda memperoleh Sumatera, Jawa, Maluku dan Papua. Inggris memperoleh Semenanjung Malaya, Singapura dan Kalimantan Utara. Perjanjian penting ini dikenal sebagai Anglo-Dutch Treaty atau Treaty of London.
Diklaim Belanda
Namun, baru empat tahun kemudian, tepatnya 24 Agustus 1828, Belanda menyatakan Papua bagian barat sebagai wilayahnya. Ini ditandai dengan peresmian Benteng For de Bus di Teluk Triton, yang letaknya di kaki Gunung Lamenciri. Kini keindahan Teluk Triton dikenal sebagai salah satu tujuan wisata andalan Kabupaten Kaimana, Papua Barat.
Proklamasi ini dicanangkan oleh A.J. van Delden, seorang komisaris pemerintah utusan Gubernur Belanda di Maluku yang datang bersama Kapten J.J. Steenboom. Mereka dan rombongan dalam dua kapal, Triton dan Iris, sudah berada di tempat itu sejak Juli 1828 untuk mempersiapkan pembangunan benteng.
Dalam bukunya, Harry menulis awalnya Belanda tidak ambil peduli atas Papua karena menganggap daerah ini tidak menguntungkan, dilihat dari kondisi alam yang sangat berat, apalagi pulau luas ini juga terpencil dari dunia luar dan dihuni orang-orang yang dianggap masih hidup pada “zaman batu”.
Namun, Belanda berubah sikap ketika tim ekspedisi van Delden menemukan Teluk Triton sebagai tempat ideal untuk berlabuh bagi kapal-kapal Belanda. Itu sebabnya didirikan benteng di sana.
Sejak saat itu Belanda mencetuskan Papua Barat sebagai wilayah teritorialnya, apalagi setelah menyadari potensi ekonomi yang besar di Bumi Cendrawasih itu. Demi mencegah koloni-koloni Eropa lainnya masuk ke Papua, Belanda menyusun strategi politik dengan mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat.
Lalu, pada 16 Mei 1895, Belanda kembali mengadakan perjanjian dengan Inggris. Kali ini menetapkan garis perbatasan di Pulau Papua yang terbelah dua, setelah pada 6 November 1884 Inggris mengklaim wilayah tenggara Papua degan membangun Port Moresby sebagai ibu kota.
Bagian timur pulau Papua yang dikuasai Inggris itu kelak menjadi negara bernama Papua Nugini. Sedangkan bagian barat Papua yang dikuasai Belanda ketika “kembali ke pangkuan NKRI” sempat bernama Provinsi Irian Jaya sebelum akhirnya terbagi menjadi dua provinsi - yaitu Provinsi Papua Barat dan Papua sejak 1999. [vn]