GELORA.CO - Aksi protes yang berujung kerusuhan di Manokrawi, Papua Barat kemarin, Senin (19/8) adalah hal wajar.
Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, apa yang dilakukan kemarin adalah bentuk pernyataan sikap dan kebebasan berekspresi serta perlawanan warga Papua terhadap dehumaninasi berkepanjangan.
“Meskipun aksi pembakaran sejumlah gedung tidak dapat dibenarkan, tetapi aksi tersebut menggambarkan tentang bagaimana politik rasial yang dipelihara negara menimbulkan bahaya berkelanjutan,” kata Ismail dalam keterang pers yang diterima
Menurutnya, rentetan kekerasan, diskriminasi hingga intimidasi yang diterima oleh mahasiswa Papua di beberapa daerah dalam sepekan terakhir mencederai kemanusiaan dan HAM.
Sejumlah mahasiswa Papua yang berencana melakukan aksi unjuk rasa di Malang menghadapi pengadangan, tindak kekerasan, dan pemaksaan oleh masyarakat, aparat, maupun pemerintah Kota Malang.
Intimidasi kembali terjadi di Surabaya dengan penyerbuan asrama Papua oleh aparat kepolisian, TNI, Pol PP, dan ormas. Aksi ini menyebabkan penangkapan 43 mahasiswa Papua yang tidak terbukti bersalah ditangkap walau sudah dibebaskan.
Berkaca dari dua kejadi di Jawa Timur itu, Setara Institute mengecam tindakan kekerasan terhadap warga negara yang menyampaikan aspirasi dan ekspresi politik.
Menurut Ismail, pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi menjadi akar rantai kekerasan yang berulang kali dialami oleh masyarakat Papua, baik secara struktural, kultural, maupun langsung.
Stigmatisasi dan rasialisme itu, tambahnya tampak pada penyebutan tertentu terhadap masyarakat Papua.
"Sebutan yang mereduksi posisi sebagai manusia atau dehumanisasi yang bercokol dari waktu ke waktu dan menjadi legitimasi tindakan kekerasan terhadap mereka," ujarnya.
Menurut Ismail, Setara Institute menentang dehumanisasi terhadap masyarakat Papua yang hadir akibat pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi. Pengakuan atas hak yang melekat pada mereka sebagai manusia berada di titik rawan dan rapuh sebagaimana ditunjukkan dengan frekuensi insiden kekerasan terhadap masyarakat Papua yang tinggi sehingga melanggar kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, hak atas rasa aman, dan hak berpindah.
“Pelanggaran HAM dan kebebasan masyarakat Papua menjadi catatan buruk berkelanjutan karena kegagalan negara mencari solusi berkeadilan di Papua,” ucap Ismail yang juga Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
Ia menambahkan, pihaknya juga mendesak Kapolri Jenderal Tito Karnavian agar menindak tegas aparat yang bersikap represif terhadap mahasiswa Papua sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan kebijakan ketidakberulangan (guarantees of non-repetition). (Rmol)