GELORA.CO - Sikap politik PDIP untuk melakukan amandemen UUD 1945 guna mengembalikan posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara dinilai tidak perlu.
Pasalnya, bisa jadi mengamanden UUD 1945 lalu menjadikan MPR lembaga tertinggi membawa agenda terselubung agar presiden kembali dipilih oleh MPR.
Menurut Senior Lecture FISIP UGM Nyarwi Ahmad, jika PDIP sukses membuat MPR sebagai lembaga tertinggi dan menaruh fungsi sebagai penunjuk kepala pemerintah maka hal itu dianggap sebagai kemunduran dalam berdemokrasi.
Pasalnya, Nyarwi menilai, dengan adanya sistem pemilihan langsung secara luber dan jurdil yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia merupakan bagian dari langkah besar upaya demokrasi di Indonesia.
“Satu di antaranya privilege politik yang nyata dari sistem demokrasi yang saat ini dinikmati rakyat kita adalah pilpres langsung bukan oleh MPR,” papar Nyarwi, Senin (12/8).
“Kalaulah disebut sebuah kemajuan salah satu kemajuan nyata yang kita rasakan sebagai buah atau hasil dari reformasi adalah Pilpres pemilu presiden secara langsung,” tambahnya.
Menurutnya, Indonesia saat ini belum sepenuhnya sukses menerapkan sistem demokrasi. Karena, banyak masyarakat yang belum merasakan mudahnya menyampaikan pendapat dan juga politik dinasti masih berkuasa di Indonesia.
“Dalam banyak dimensi kehidupan yang lain masyarakat kita belum sepenuhnya merasakan wujud nyata dari demokrasi, buktinya politik dinasti ada di mana-mana. Oligarki juga terus bermetamorfosis dan berkuasa. Parpol-parpol kita rata-rata ada di tangan kekuasaan kelompok-kelompok dinasti politik dan oligarki,” jelasnya.
Adanya dinasti politik dan oligarki, lanjut Nyarwi, dapat disaksikan di sejumlah partai yang belum dapat move on dari sosok ketumnya yang seorang elit.
“Buktinya, sulit mendapatkan sosok ketum parpol yang berasal dari rakyat biasa, yang bukan bangsawan politik ataupun pengusaha, itu salah satu contoh," katanya.
“Kalau Pilpres sebagai salah satu mekanisme demokrasi elektoral terpenting yang bisa dinikmati rakyat pun mau dipangkas. Saya kira kita tinggal menunggu waktu saja runtuhnya demokrasi yang pernah kita bangun," demikian Nyarwi.
Sekadar informasi, salah satu hasil Kongres V PDIP adalah, partai pimpinan Megawati itu menelurkan 23 sikap politiknya. Dalam poin ketujuh, PDIP menilai perlu mengamandemen UUD 1945 untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara untuk menetapkan GBHN.
Berikut bunyi poin ketujuh tersebut:
Demi menjamin kesinambungan pembangunan nasional perlu dilakukan amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan. [rm]