Referendum Papua, Mungkinkah?

Referendum Papua, Mungkinkah?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Syahganda Nainggolan*

JOKOWI telah melakukan "touring" di Papua dengan sepeda motor yang canggih beberapa tahun lalu. Berbagai pembangunan juga dibanggakan Jokowi, memberi kesan bahwa dia pemilik prestasi terbesar membangun jalan terpanjang selama ini di Papua.

Kelompok buzzer Jokowi malah memposting jalanan yang indah mirip di negara-negara maju sebagai jalan yang dibangun Jokowi di Papua. Rakyat Papua juga mencintai Jokowi dengan memilih Jokowi dalam pilpres yang lalu. Hampir 100 persen.

Apakah kini rakyat Papua semakin cinta Indonesia, setelah dinyatakan bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969?

Saya baru saja melihat video dari kegiatan yang dihadiri ribuan atau puluhan ribu massa di depan kantor Gubernur Papua kemarin (Senin, 19/8). Di video itu seorang Ibu berpidato.

Ibu itu mengatakan bahwa anak-anak Papua yang di Jawa adalah anak-anak yang dia lahirkan. Bukan dilahirkan monyet, dan karenanya bukan anak monyet. Bahwa dia berkeringat membesarkan anak-anak itu. Dalam keringat itu mengalir darah Papua. Tapi, mengapa Jawa dan NKRI menindas anak-anak Papua?

Lalu ibu itu meneriakkan yel-yel setelah berhenti menghela nafas.

Teriaknya, "Papua!"

Puluhan ribu massa menjawab dengan teriakan, "Merdeka!"

Kata Ibu itu lagi, "Referendum!"

Disahut massa, "Yes!"

Teriakan merdeka yang saya lihat di dalam video itu tidak seperti 21 tahun lalu, ketika saya menanyakan hal itu kepada almarhum Theys Eluay dan Toha Al Hamid.

Beberapa hari sebelum Theys Eluay dibunuh, pemimpin Papua itu bersama sekjennya, Toha, sempat makan siang bersama almarhum Adi Sasono, Yorrys R, dan saya.

Keinginan mereka merdeka masih mix atau bercampur antara perluasan otonomi sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat (rakyatnya yang merdeka, bukan Papua) vs merdeka.

Setelah Theys dibunuh di era Presiden Megawati, beberapa tahun kemudian, Toha mengatakan pada saya bahwa bangsa Papua sudah sulit untuk bersama Indonesia. Menurutnya seluruh negara Melanesia di Pasifik dan jaringan Gereja di Amerika semakin bulat mendukung Papua berpisah.

Paska kematian Theys, kecenderungan Papua tidak pernah lagi mix antara merdeka vs ragu-ragu. Kecenderungan keinginan merdeka semakin dominan. Bendera Merah Putih sudah dibakar sebagian dari mereka.

Olivia Tasevski dalam West Papua's Quest for Independence, yang diterbitkan The  Diplomat, Juli 2019, menjelaskan detail dukungan yang semakin besar kepada gerakan Papua Merdeka. Ketua partai oposisi Inggris dari Partai Buruh, Jeremy Corbyn, dan Senator Parlemen Australia, Richard Di Natali, di antara figur utama pendukung itu.

Benny Wenda, pemimpin Papua Merdeka (United Liberation Movement of West Papuan/ULMWP), mengklaim telah mendapat dukungan dari 1,8 juta jiwa rakyat Papua dalam petisi yang ditujukan ke PBB untuk menuntut pengusutan pelanggaran HAM dan menuntut pula kemerdekaan.

Petisi itu sudah diterima Ketua Komisi Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Blachelet. Di samping itu, Benny juga telah berhasil meyakinkan negara-negara Pasifik untuk ikut dalam pertemuan rutin mereka Melanesia Spearhead Group (MSG).

Di sisi lain, dukungan Israel terhadap Papua semakin nyata. Beberapa tahun lalu, Papua mengibarkan bendera Israel di seluruh penjuru Papua, sebagiannya resmi. Resmi ini diperkuat lagi oleh pernyataan Sekda Papua baru baru ini tentang tanah Papua sebagai tanah Israel kedua.

Meskipun Israel, Inggris, Australia dan Amerika, tidak melibatkan negara dalam relasi dukungan terhadap gerakan Papua Merdeka, namun gerakan rakyat dan elite dari negara-negara tersebut mengindikasikan kedekatan gerakan Papua Merdeka dengan mereka.

Sejauh pembahasan ini, kita sudah melihat bahwa kehendak rakyat Papua untuk merdeka, khususnya lima tahun belakangan ini semakin menggila. Lalu bagaimana kita berbuat?

Sikap lembut Jokowi terhadap Papua selama lima tahun ini kecenderungannya akan mengantar pada sebuah situasi kompromistis. Selain tentunya balas jasa dukungan orang orang Papua hampir 100 persen dalam pilpres mendukung Jokowi. Zaman Suharto, situasi Papua tenang dan terkendali, karena Suharto menggunakan cara kekerasan mempertahankan Papua.

Dalam masa sebelum Jokowi, beberapa institusi dalam negara memanfaatkan "gerakan jihadis Islam" sebagai milisi sipil berperang atau ancaman memerangi kelompok-kelompok separatis, seperti dulu "Laskar Jihad".

Laskar-laskar seperti ini sudah distigmatisasi sebagai gerakan radikalisme, ISIS dan pembuat kerusuhan. Sehingga akhirnya, situasi separatisme di Papua hanya akan dilawan oleh tentara. Namun, siapkah tentara diterjunkan ke Papua?

Tentara tentu siap berperang. Masalahnya tinggal pada Jokowi. Jika Jokowi percaya pada kehendak rakyat, maka referendum bukanlah jalan yang "haram". Negara demokrasi seperti Inggris pun mempersilakan Bangsa Skotlandia melakukan jajak pendapat untuk merdeka, tahun lalu. Kenapa kita tidak?

Persoalannya adalah apakah kasus Timor Timur akan terulang? Ketika Habibie, presiden yang dianggap lemah, mempersilakan referendum Timor Timur, akhirnya provinsi ke-27 kala itu lepas dari Indonesia.

Apalagi muncul pertanyaan, bagaimana kalau setelah Papua minta referendum lalu Aceh menuntut hal yang sama?

Semuanya sekarang tergantung Jokowi. Dan bersifat urgent. Opsi Jokowi dapat berupa: 1. Menyerang gerakan Papua Merdeka dan anasir-anasirnya secara massif. 2. Jokowi melakukan referendum rakyat Indonesia untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan Referendum Rakyat Papua. 3. Memberi izin Referendum Papua.

Sambil menunggu keputusan Jokowi, lembaga saya Sabang Merauke Circle, nasibnya diujung tanduk, karena Sabang dan Merauke mungkin saja hilang, tinggal Circle-nya saja.

*) Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita