GELORA.CO - JULI-Agustus adalah bulan terpanas dalam sejarah. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization), Juli-Agustus 2019 adalah rekor suhu tertinggi setelah sebelumnya titik panas tertinggi secara global terjadi pada Juli 2016. Sampai akhir 2019 ini, bumi akan menjadi daratan terpanas yang pernah dilihat dan dirasakan oleh peradaban manusia.
Perubahan iklim adalah masalah global yang seharusnya dicermati serius oleh para pemimpin dunia. Namun, semua bukti-bukti ilmiah para ilmuan mulai dari data naiknya permukaan laut, siklus badai meningkat, prediksi gelombang panas, dan kekeringan, diabaikan begitu saja oleh para pemimpin dunia. Para pemimpin elit dunia hanya memikirkan kepentingan nasionalnya yang sempit.
Banyak pemimpin dunia seperti Presiden AS, Pemimpin Uni Eropa, Pemimpin Asia termasuk China menganggap isu perubahan iklim adalah perselisihan partisan kebijakan, bukan berjuang untuk kelangsungan hidup manusia di bumi ini.
Amerika dan negara maju di Uni Eropa dan Asia dengan segala kemewahannya untuk memberikan kepemimpinan global telah gagal mengambil tindakan yang serius untuk memitigasi perubahan iklim global.
Para ilmuwan telah lama menganalisis penyebab perubahan iklim tersebut. Namun para pengambil keputusan global mengabaikannya dan secara kompak seolah sepakat menuduh para ilmuwan iklim tersebut telah melakukan permainan self-delusi untuk mendapatkan dana penelitian lebih besar.
Ilmuwan mengatakan bahwa salah satu penyebab perubahan iklim adalah karbon dioksida dan efek gas rumah kaca yang menyebabkan panas dari matahari terjebak di atmosfer dan diteruskan ke permukaan bumi sehingga menyebabkan suhu bumi naik.
Karbon dioksida merupakan unsur stabil selama ratusan tahun berdasarkan sampel inti es kuno di kutub utara. Tetapi sejak era industrialisasi modern naik drastis seiring dengan makin hebatnya pembakaran bahan bakar fosil.
Apa yang terjadi dengan bumi selanjutnya adalah setiap tahun 'berlomba' meraih rekor tertinggi rata-rata suhu global, masifnya pencairan kutub es, kenaikan permukaan laut, dan destabilisasi dari pola cuaca.
Informasi logis tersebut sudah kita dengar selama beberapa dekade terakhir, bahkan terkonfirmasi oleh data ilmiah. Namun kita tidak menemukan solusi serius secara global dalam mengurangi pembakaran bahan bakar fosil dan pelepasan karbon dioksida tersebut.
Presiden AS Donald Trump sering menyerang dari mimbar kepresidenannya bahwa isu kenaikan suhu bumi adalah isu elit NASA dan elit ilmuwan yang melakukan permainan self-delusionary untuk kepentingannya sendiri. Pemimpin lain memang tidak menyerang publik, namun abai dan tidak berbuat apa-apa yang signifikan dari kepemimpinannya. Padahal perubahan iklim adalah ancaman nyata terhadap kelangsungan manusia dan makhluk di atasnya.
Kenaikan suhu bumi adalah tidak fiksi, beberapa riset terakhir menunjukan kemarau akan terjadi lebih hebat dan lebih panjang. Dalam kurun 3-4 tahun (2019-2022) ke depan akan mencapai level tertinggi yang belum pernah terjadi pada peradaban manusia.
Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi dunia, memperingatkan dalam sebuah pernyataan, "Kita kehabisan waktu karena suhu bumi meningkat drastis dan bahaya tersebut sudah kita rasakan pada penurunan ekonomi, gagal panen, dan kelangkaan air bersih."
Dunia membutuhkan kepemimpinan baru untuk mengambil langkah besar secara global untuk memitigasi perubahan iklim dan kenaikan suhu bumi tersebut. Kepemimpinan dunia yang gagal karena terlalu mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri telah terbukti mengatasi isu tersebut secara tidak memadai.
Kita butuh kepemimpinan baru yang model pembangunannya berdasarkan energi natural terbarukan, yang tidak lagi berdasarkan kepada eksploitasi bahan bakar minyak yang begitu destruktif terhadap lingkungan.
Pemimpin dunia bersatulah, atau ras manusia akan punah dalam waktu dekat.
Hidayat Matnoer MPP
Pengamat Kebijakan Publik(rmol)