GELORA.CO - Panitia seleksi (Pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyaring ratusan calon yang mendaftar dan akan memilih sepuluh ‘manusia setengah dewa’ untuk menjadi ujung tombak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pukul 23.59 WIB, tanggal 4 Juli 2019, pendaftaran calon pimpinan KPK resmi ditutup. Semula, total pendaftar capim KPK sebanyak 384 orang. Namun setelah dilakukan penelitian berkas, ternyata delapan pendaftar mendaftar dua kali, yakni mendaftar secara fisik dan online. Sehingga total pendaftar hanyalah 376 orang.
Proses seleksi selanjutnya berada sepenuhnya di tangan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) KPK yang dibentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tahap pertama berupa seleksi berkas sudah selesai. Hanya 192 orang pendaftar yang dinyatakan berkasnya memenuhi persyaratan.
Yang lolos seleksi administrasi 192, terdiri dari 180 orang laki-laki dan 12 orang lainnya perempuan,” kata Ketua Panitia Seleksi Capim KPK, Yenti Garnasih, di Sekretariat Pansel di Gedung Setneg, Kamis, 11 Juli 2019.
Demikian pula dengan tahap kedua, uji kompetensi. Pansel KPK pada Kamis 18 Juli 2019 menyatakan, tinggal 104 peserta berhasil lolos. Dari nama yang lolos, unsur Polri ada sembilan orang, pensiunan Polri 3 orang, hakim tujuh orang, mantan hakim dua orang, jaksa empat orang, pensiunan jaksa dua orang, unsur KPK 14 orang, dosen 19 orang, advokat 11 orang, auditor empat orang.
Kemudian dari anggota Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian Nasional berjumlah tiga orang, pegawai negeri sipil (PNS) 10 orang, dan lain-lainnya 13 orang. Secara gender, dari semua yang lolos tahap kedua, laki-laki sebanyak 98 orang dan perempuan enam orang.
Kemudian Capim yang lolos mengikuti tes psikologi. Tes akan dimulai pada Minggu 28 Juli 2019 di Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara, Cilandak, Jakarta Selatan.
“Yang lolos akan mengikuti tahap profile assesment,” terang anggota Pansel Capim KPK Harkristuti Harkrisnowo.
Bagi yang lolos tahap ketiga, para Capim harus mengikuti tahapan yang diberi nama uji publik. Uji publik ini dilakukan agar masyarakat mengetahui kapabilitas sosok Capim KPK itu. Masyarakat juga bisa merespon rekam jejak para Capim dan memberikan masukan ke Pansel.
“Kami belum tahu apakah nanti masyarakat yang bisa bertanya live (langsung), ataukah dari pansel. Kami berharap dari masyarakat, tapi memang itu kita belum putuskan,” ujar Harkristuti.
Pada Jumat, 23 Agustus 2019, Ketua Pansel Yenti Garnasih mengumumkan sebanyak 20 orang dinyatakan lolos tes profile assessment calon pimpinan KPK masa jabatan 2019-2023. Selanjutnya mereka akan mengikuti tes kesehatan, wawancara, dan uji publik.
Peserta terbanyak berasal dari anggota Polri 4 orang, kemudian akademisi/dosen sejumlah 3 orang, dan jaksa 2 orang.
Dari 20 capim KPK yang lolos, nantinya akan disaring menjadi 10 orang untuk diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
Pansel hanya diminta oleh Presiden Joko Widodo untuk menyerahkan hasil dan nama-nama yang lolos dari seleksi wawancara dan uji publik.
" Tidak diumumkan. Kita serahkan kepada presiden, nanti presiden terserah," kata Yenti di Kemensetneg, Jakarta, Rabu , 28 Agustus 2019.
Namun, Yenti tidak menutup kemungkinan 10 nama yang lolos tes wawancara dan uji publik bakal diumumkan. Hanya saja, hal itu kembali kepada kehendak presiden apakah 10 nama itu akan diumumkan lebih dulu atau langsung diserahkan ke DPR RI untuk langsung mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Mereka yang ‘Diperas’
Dari ratusan orang yang mendaftar, unsur penegak hukum termasuk yang berlomba-lomba mengirimkan kandidat terbaik mereka untuk mengisi lima kursi pimpinan KPK.
Dari internal komisioner KPK, ada Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, dan Laode M Syarif. Ada satu penasihat KPK yakni, Mohammad Tsani dan 10 pegawai KPK.
Dari kepolisian 9 anggota Polri, yakni Irjen Antam Novambar, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wakabreskrim), Irjen Dharma Pongkerum, Pati Polri penugasan di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN, Irjen Coki Manurung, Widyaiswara Utama Sekolah Staf dan Pimpinan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Sespim Lemdiklat).
Lantas Irjen Abdul Gofur, Analis Kebijakan Utama bidang Polisi Air Badan Pemeliharaan Keamanan (Polair Baharkam), Brigjen Muhammad Iswandi Hari, Pati Polri penugasan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Brigjen Bambang Sri Herwanto, Widyaiswara Madya Sespim Lemdiklat Polri.
Brigjen Agung Makbul, Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum (Karosunluhkum) Divisi Hukum Polri, Brigjen Juansih, Analis Kebijakan Utama Biro Pembinaan Pendidikan dan Latihan (Bindiklat) Lemdiklat Polri, Brigjen Sri Handayani, Wakil Kapolda Kalimantan Barat.
Ada juga Irjen Pol Ike Edwin, mantan Dirtipikor Mabes Polri, Staf Khusus Kapolri, Anang Iskandar, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) sekaligus mantan Kabareskrim dan Yotje Mende, mantan Kapolda Papua yang kini menjadi komisioner Kompolnas.
Kejaksaan mengutus lima anggota. Yakni, Sugeng Purnomo, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Johanis Tanak, Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, M Rum, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.
Kemudian Ranu Mihardja, Kepala Pusat Diklat Manajemen dan Kepemimpinan pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Supardi, Koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Sementara dari kalangan hakim, selain Binsar Gultom ada delapan hakim lainnya yang turut mendaftar di Panel Capim KPK. Ada juga aktivis demokrasi dan HAM, Natalius Pigai yang pernah menjadi Komisioner Komnas HAM.
Dari kalangan TNI, satu perwira TNI Angkatan Udara yang menjabat staf khusus KSAU, juga menyampaikan berkas lamaran menjadi Capim KPK. Kedua nama terakhir langsung gugur dalam tahap seleksi berkas, karena dianggap tidak memmenuhi persyaratan.
Sementara dari kalangan advokat, setidaknya tercatat ada 53 orang turut meramaikan bursa Capim KPK.
Dari sejumlah nama-nama diatas, selebihnya berasal dari kalangan dosen, auditor, wakil bupati hingga dari lembaga keuangan. Dan hingga Sabtu, 30 Agustus 2019, tersisa 20 orang yang kemudian akan 'diperas' hingga jadi 10 orang untuk diserahkan kepada Presiden Jokowi.
Dosen/Akademisi
1. Luthfi Jayadi
2. Neneng Euis Fatimah
3. Nurul Ghufron
Anggota Polri
4. Antam Novambar
5. Bambang Sri Herwanto
6. Firli Bahuri
7. Sri Handayani
Komisioner/Pegawai KPK
8. Alexander Marwata (Komisioner KPK)
9. Sujarnako (Pegawai KPK)
Auditor
10. I Nyoman Wara
PNS
11. Roby Arya - PNS Seskab
12. Sigit Danang Joyo (PNS Kemenkeu)
Jaksa
13. Johanes Tanak
14. Sugeng Purnomo
15. Supardi
Advokat
16. Lili Pintauli Siregar
Hakim
17. Nawawi Pamolango
Pensiunan Jaksa
18. Jasman Panjaitan
Lainnya
19. Jimmy Muhammad Rifai (Penasihat Menteri Desa)
20. Cahyo RE Wibowo (Karyawan BUMN)
Siapakah yang akan masuk kategori 10 orang dari 20 orang capim KPK ini?
Menu Awal: Kritik
Di tengah bergulir proses seleksi, hujan kritik terhadap proses seleksi capim KPK terus saja mengalir.
Kritik sebenarnya sudah muncul sejak Pansel KPK mulai bekerja pada Jumat 17 Mei 2019, seiring terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 54/P Tahun 2019 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Masa Jabatan Tahun 2019-2023. Belakangan Keppres ini dipermasalahkan dari sisi keterbukaan informasi.
Gugus tugas ini dipimpin Yenti Garnarsih, dosen Fakultas Hukum Universitas Trisaksi yang dikenal sebagai pakar hukum tindak pidana pencucian uang. Ini adalah kali kedua Yenti menjadi Pansel Capim KPK.
Yenti dikenal sebagai ahli hukum pertama soal tindak pidana pencucian uang dari Indonesia. Tak heran ia kerap dipanggil sebagai saksi persidangan, misalnya dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan dan kasus TPPU kes pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Bahasyim Assyifie.
Sementara mantan Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji duduk sebagai wakil ketua. Seno adalah anak mantan Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji ini dikenal malang melintang di dunia hukum Indonesia sebagai advokat. Dia pernah menjadi pengacara mantan Presiden Soeharto dan pengacara mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh dalam kasus korupsi.
Rekam jejaknya itu memunculkan protes dari pegiat antikorupsi tatkala dirinya ditunjuk menjadi pelaksana tugas pimpinan KPK, bersama Taufiequrachman Ruki dan Johan Budi pada 2015. Setelah purnatugas, KPK pernah meminta masukannya terkait keabsahan panitia angket KPK di DPR saat pengusutan kasus korupsi e-KTP. Saat ini, Indriyanto menjadi anggota pakar dalam tim gabungan kasus teror Novel Baswedan bentukan Polri.
Selebihnya menjadi anggota. Yakni Harkristuti Harkrisnowo, Hamdi Moeloek, Marcus Priyo, Hendardi, Al Araf, Diani Sadia, dan Mualimin Abdi.
Harkristuti Harkriswono juga pernah menjabat sebagai anggota pansel capim KPK pada 2015. Tuti-panggilan akrabnya-adalah seorang akademisi juga birokrat. Tuti menjabat sebagai guru besar hukum pidana di Universitas Indonesia. Dan dia juga punya jabatan di Kementerian Hukum dan HAM.
Sedangkan Hamdi Muluk adalah Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Bidang keahliannya yaitu psikologi politik. Dia menulis buku Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Selain di dunia psikologi, ia juga aktif dalam kegiatan survei politik. Ia menjabat sebagai anggota dewan etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia.
Adapun Marcus Priyo Gunarto adalah ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada. Disertasinya mengambil topik hukum pajak dan retribusi. Selain pengamat hukum, Marcus juga anggota tim revisi RKUHP. Selain itu, ia pernah menjadi saksi ahli persidangan, salah satunya dalam sidang praperadilan kasus mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Sementara Hendardi dikenal sebagai pendiri sekaligus Ketua Setara Institute, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang HAM, isu keberagaman dan toleransi. Sebelum mendirikan Setara, Hendardi aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Saat ini, ia menjabat sebagai penasihat Kapolri Jenderal Tito Karnavian di bidang HAM. Sama seperti Indriyanto, Hendardi juga menjadi anggota pakar tim gabungan kasus teror Novel Baswedan bentukan Tito.
Dan Al Araf merupakan penggiat LSM Imparsial yang berfokus pada isu HAM dan reformasi TNI-Polri.
Sedangkan Diani Sadia Wati menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Hubungan Kelembagaan. Ia juga mantan anggota sembilan “Srikandi Jokowi” yang menyeleksi calom pimpinan KPK pada 2015. Alumnus Fakultas Hukum UI ini pernah menjadi anggota Lembaga Sertifikasi Profesi KPK yang memberikan masukan kepada pegawai internal KPK.
Nama terakhir adalah Mualimin Abdi yang saat ini menjabat Direktur Jenderal HAM Kemenkumham. Sebelumnya, dia menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Penyiapan dan Pembelaan Persidangan Kemenkumham. Karena posisinya, doktor ilmu pemerintahan ini selalu mewakili Menkumham dalam setiap pengujian UU di Mahkamah Konstitusi.
Komposisi Pansel yang ditetapkan Jokowi, mengundang banyak suara yang meragukan kemampuan kerja mereka untuk mendapatkan komisioner KPK yang mumpuni. Tentu tidak bisa dipersalahkan, bila muncul suara-suara yang demikian. Sebab kondisi korupsi di Indonesia sudah memasuki tubir yang mengkhawatirkan.
Dalam penilaian Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KMSAK), yang beranggotakan ICW, TII, Pusako, Pukat UGM, YLBHI, MCW, KRPK, SAHDAR Medan, GAK Lintas Perguruan Tinggi, Banten Bersih, dan MaTA Aceh, melihat pada komposisi Pansel, ada nuansa bahwa Presiden lebih mempertimbangkan harmoni dan kompromi kepentingan elit dalam lingkaran terdekatnya daripada upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas korupsi.
“Presiden Jokowi dianggap tidak memiliki imajinasi besar dalam agenda pemberantasan korupsi. Target untuk meningkatkan Corruption Perception Index (CPI) Indonesia sulit diharapkan tercapai dengan materi Pansel hari ini,” sebut KMSAK dalam pernyataan, Sabtu, 18 Mei 2019.
Menurut mereka, mestinya Presiden Jokowi melakukan evaluasi menyangkut kinerja sejumlah anggota Pansel terdahulu. Mengingat pada periode kepemimpinan KPK hari ini, banyak masalah internal KPK yang kian mengkhawatirkan.
Termasuk aspek rekam jejak yang dilihat dari integritas maupun sikap atau posisi mereka terhadap kelembagaan KPK. Hal ini yang sepertinya abai untuk dilakukan sehingga komposisi pansel menimbulkan kesan politik akomodatif.
KMSAK menolak komposisi Pansel Capim KPK yang ada sekarang karena adanya catatan serius terhadap beberapa nama pansel. Menurut KMSAK tidak sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi dan penguatan KPK. “Ini akan mempengaruhi kualitas Capim KPK yang akan dipilih kemudian.”
Sebelum keluarnya Keppres pengangkatan Pansel Capim KPK, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief berharap Presiden Jokowi bisa memilih orang-orang terbaik saat membentuk Pansel. Menurutnya, orang yang ditunjuk menjadi Pansel harus memiliki integritas tinggi.
“Berharap bahwa orang-orang yang di Pansel itu adalah orang-orang yang terkenal integritasnya oleh masyarakat Indonesia,” ungkap Laode Rabu, 15 Mei 2019.
Laode menekankan, Pansel KPK harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam tugas maupun fungsi pimpinan KPK.
Bukan hanya Wakil Ketua KPK, Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK, Yudi Purnomo pun ikut bersuara, mengingatkan Jokowi.
Bagi WP KPK, terang Yudi, siapapun yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjadi Pansel, harus transparan dalam menjalankan tugasnya untuk menyeleksi calon pimpinan KPK yang kemudian akan dipilih oleh DPR.
“Salah satu bentuk transparansi itu adalah dengan membuka akses yang luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses seleksi pimpinan KPK,” pinta Yudi, 14 Juli 2019.
Ketua WP KPK mengingatkan, yang perlu menjadi perhatian serius Pansel, ketika pimpinan KPK yang terpilih nanti harus siap menghadapi serangan balik dari para koruptor.
“Sehingga tidak ada permasalahan yang bisa dicari dari mereka (pimpinan KPK), sekecil apapun yang bisa menjatuhkan kredibilitas dan integritas mereka, yang bisa menghambat upaya pemberantasan korupsi di negeri ini,” ujar Yudi.
Sebagai bentuk keseriusannya, WP KPK juga membentuk Tim Pengawalan Seleksi (TPS) Pimpinan KPK. Menurut Yudi, TPS Pimpinan KPK fokus pada poin integritas dan independensi capim KPK dari konflik kepentingan dengan lembaga manapun.
Terhadap banyaknya kritik atas komposisi punggawa Pansel KPK, pihak Istana pun buka suara. kesembilan anggota Pansel yang dipilih Presiden tersebut adalah tokoh-tokoh yang kredibel dan memiliki kapasitas.
“Saya kira pansel figur-figurnya sangat kredibel dan memiliki kapasitas untuk menyeleksi,” kata Jokowi dalam keterangan tertulis dari Biro Pers Sekretariat Presiden, Sabtu, 18 Mei 2019.
Sementara pihak KPK, enggan mengomentari figur yang dipilih Jokowi untuk menyeleksi pimpinan KPK jilid lima itu. “Ya sudah ditentukan, enggak perlu ada kritik dari KPK,” kata Ketua KPK Agus Raharjo di Gedung KPK, Senin, 20 Mei 2019.
Meski demikian, Agus mengingatkan agar masyarakat Indonesia tetap mengawasi kinerja Pansel KPK tersebut. Bagaimana mereka bekerja agar lebih transparan dan masyarakat tentunya dapat pula mengenal rekam jejak para calon pimpinan KPK.
“Jadi kalau menurut saya diawasi saja. Kami rakyat Indonesia bersama KPK akan mengawasi tahap itu. Jadi diawasi saja, nanti kita bisa nilai kan mana yang bagus, mana yang tidak,” terang Agus.
Sikap Ketua KPK tersebut dapat dipermaklum. Agus sepertinya ingin membuat proses seleksi yang penuh hiruk pikuk kritik menjadi lebih ‘adem-ayem’. Memberi kesempatan kepada Pansel KPK agar lebih nyaman dalam ‘memeras’ ratusan calon tersebut menjadi sepuluh orang pilihan untuk diserahkan kepada Presiden Jokowi.
Tiga A: Asyik-Asyik Aja
Di masa lalu, pernah muncul perseteruan yang oleh media dilabeli sebagai kasus Cicak vs Buaya, isu rekening gendut yang dikaitkan dengan isu kriminalisasi pimpinan KPK
Pada periode ini, KPK mengalami berbagai dinamika yang dinilai mengancam ketahanan internal lembaga. Sebut saja kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK, teror ke rumah pimpinan KPK, kasus etika yang melibatkan Deputi Penindakan, penyebaran opini publik yang masif bahwa KPK dikuasai kelompok “celana cingkrang” dan lain sebagainya.
Dengan latar belakang fakta dan isu seperti itu, patut dipahami mengapa moment pergantian kepemimpinan KPK kali ini, menjadi sesuatu yang sangat penting. Bisa menjadi ajang dan peluang memperjuangkan aspirasi kepentingan elit-elit tertentu.
Bukan itu saja, ditengarai banyak kepentingan lain yang turut berjuang untuk memengaruhi agar KPK tampil ‘lebih kalem’ dan tidak jor-joran dalam melakukan penindakan kasus-kasus korupsi.
Fakta menunjukkan, selama ini bukan hanya elit-elit parpol yang dijerat KPK dengan kasus-kasus korupsi. Ada hakim, ada jaksa, ada polisi. Mereka terseret perilaku korup pebisnis atau para taipan tertentu.
Situasi yang demikian, sangat mungkin menjadikan mereka memiliki aspirasi serupa, untuk menjinakkan KPK. Bahkan, lebih jauh dari itu, berbagai dugaan kasus yang melibatkan lingkar dalam kekuasaan negeri ini, juga perlu diantisipasi agar tidak menjadi batu sandungan di kemudian hari. KPK perlu “dimoderatkan”. Lebih fokus pada pencegahan.
Dalam konteks pencegahan, Wakil Presiden Jusuf Kalla setidaknya sudah mengingatkan soal arti pentingnya. Pada Kamis, 4 Juli 2019, JK mengatakan, selain penindakan korupsi, pimpinan KPK yang terpilih diharapkan fokus pada bidang pencegahan. Upaya itu penting untuk menekan angka korupsi di Indonesia.
“Oh ya pencegahan, tentu harus bisa,” ujar Wakil Presiden.
JK juga menekankan, calon pimpinan KPK yang terpilih harus memiliki keberanian dan pengetahuan hukum yang mumpuni dan tak sembarang menangkap seseorang.
“Tentu tokoh yang bersih dan punya keberanian, pengetahuan tentang hukum, tentang masalah tata negara. Jangan orang asal ambil, tangkap, tentu juga harus dilihat efek-efeknya,” jelas JK.
Di sisi lain, belum lepas dari ingatan publik, kekritisan anggota-anggota Komisi III DPR yang lintas parpol terhadap KPK, bisa saja bertaut dengan para mitra mereka dalam rangka menyalurkan aspirasi “moderasi” KPK.
Bila ini yang terjadi, dapat dipahami sebagai strategi bersama kelompok-kelompok tertentu untuk mengamankan masa depan dari potensi kasus hukum dan citra negatif yang mengikutinya.
Penyusunan Pansel KPK yang lebih banyak melibatkan nama-nama yang dinilai dekat dengan kekuasaan, ditengarai pula sebagai langkah awal untuk memunculkan calon-calon yang dianggap sesuai dengan aspirasi “memoderasi” KPK. Memuluskan langkah calon-calon pimpinan KPK yang dianggap menekuni tugas bidang pencegahan, tapi tetap menjaga nuansa “asyik-asyik aja” (Tiga A).
Ditengah kesibukan kerja Pansel, angin dari parlemen bertiup. Mempertanyakan kinerja Pansel Capim KPK. Pansel tidak sekalipun berkonsultasi ke Parlemen, khususnya Komisi III.
“Pertanyaan saya, kenapa tidak mendatangi Komisi III yang menjadi mitra dari lembaga tersebut (KPK)?” ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo, Rabu, 10 Juli 2019.
Bamsoet menyayangkan langkah pansel yang hanya berkunjung ke Polri, Kejaksaan Agung dan KPK bahkan ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Ditegaskan Bamsoet, pansel jangan lupa bahwa KPK bermitra dengan DPR yakni Komisi III, yang tentu lebih paham apa yang mitranya butuhkan.
Pun soal seleksi, katanya, setelah pansel menyeleksi 10 nama untuk diajukan, toh akhirnya akan bermuara di Komisi III juga.
“Pada akhirnya 10 nama itu kan akan ke Komisi III dan dipilih menjadi 5,” demikian Bambang Soesatyo.
Nah, DPR akan menjadi kunci ‘pengesahan’ Pimpinan KPK. Sehingga tanpa kata sepakat dari parlemen, setidaknya akan ‘ramai’ dan sulit menjelmakan pimpinan KPK yang bekerja dalam nuansa Tiga A.
Sehingga, patut diduga, bila ke depan pimpinan KPK yang terpilih ‘asik’asik aja’, faksi-faksi yang memiliki kepentingan ‘tertentu’ akan bersepakat. Setidaknya dari lima calon pimpinan yang lolos, diduga akan di isi oleh figur-figur yang berasal dari polisi, jaksa, hakim, dan pimpinan sebelumnya. Lainnya berlabel wakil publik, tetapi bukan yang “ceriwis”.
Bila itu yang terjadi, semuanya jadi “asyik-asyik saja”. Penindakan kasus-kasus korupsi tidak terlalu demonstratif. Apalagi akan mengguncang hirarki kekuasaan politik dan ekonomi, seperti yang dilakukan KPK sebelumnya. Fokus pencegahan akan lebih dikedepankan.
Penindakan-penindakan tanpa pandang bulu yang diwariskan KPK periode-periode lalu, bisa dikemas dalam jargon “membahayakan kepentingan investasi dan bisnis”. Sudah tidak jamannya lagi dipraktikkan KPK mendatang.
Meski demikian, bila benar niatan “memoderasi" KPK berjalan, tetap akan mendapatkan tantangan, khususnya dalam konteks pembentukan opini publik. Walau belakangan berkembang anggapan, kelompok penggiat antikorupsi akhir-akhir ini tidak terlalu banyak ceriwis karena adanya akomodasi terhadap senior-senior mereka di lingkar kekuasaan.
Nah, manuver mendorong pembentukan lembaga pengawas KPK, terkesan paralel dengan langkah untuk ‘memoderasi’ KPK. Agar potensi “liar” dalam penindakan kasus korupsi terkendali.
Gejala ‘memoderasi’ KPK bisa jadi yang membuat kalangan masyarakat dan kalangan internal KPK, belakangan aktif tampil di media massa. Mereka menyuarakan hal-hal yang dianggap sebagai ancaman terhadap masa depan lembaga, sekaligus terhadap masa depan penindakan korupsi di Indonesia? (Rmol)