GELORA.CO - HASIL pemilu legislatif 2019 membawa kabar gembira bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Kabar gembira tersebut adalah soal keterwakilan perempuan di DPR periode 2019-2024 yang saat ini tertinggi sepanjang sejarah hasil pemilu pasca reformasi, yakni sejumlah 118 perempuan berhasil merebut kursi parlemen, artinya meningkat 20,5 persen.
Berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2014, hanya 97 perempuan atau 17,3 persen yang duduk di parlemen. Kemudian Pemilu tahun 2009 hanya terwakili 101 kursi atau 18 persen. Sementara pemilu tahun 2004 keterwakilan perempuan di parlemen paling rendah, hanya 61 orang atau 11 persen.
Tentu ini merupakan kesempatan berharga bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan isu-isu tersebut di dalam parlemen terkait banyaknya agenda mendesak yang harus menjadi perhatian bersama, khususnya bagi mereka yang terus konsisten berjuang pada isu-isu perempuan, termasuk yang akan sedikit diulas dalam tulisan ini, yakni akses keadilan bagi perempuan.
Akses terhadap keadilan (Access to Justice) merupakan karakteristik kondisi dasar hukum responsif yang ditandai pada satu sisi oleh ketersediaan dasar-dasar hukum (konstitusi, legislasi, regulasi) serta dasar-dasar kebijakan (policy) bagi tercapainya keadilan substantif, serta pada sisi lain adanya prosedur dan mekanisme bagi realisasi keadilan substantif.
Pasca Retifikasi CEDAW melalui UU 7/1984 dan diperkuat dengan UU 29/1999 tentang Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965) telah dikeluarkan berbagai ketentuan, antara lain Keppres 181/1998 tentang Pembentukan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan diperbaharui oleh Perpres 65 dan 66 tahun 2005. Inpres tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan dan instrument hukum lainnya.
Proteksi atas kekerasan terhadap perempuan juga telah diperkokoh dengan adanya UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kemajuan upaya untuk melindungi dan menangani kekerasan terhadap perempuan di berbagai negara sangat bervariasi. Pada Maret 2013 lalu, sehari setelah peringatan Hari Perempuan Sedunia, pemerintah Bolivia mengesahkan Undang-Undang baru untuk memerangi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
UU tersebut menjamin hak kaum perempuan untuk hidup bebas dari berbagai bentuk kekerasan. Di dalam UU ini diciptakan kerangka normatif untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, pelayanan khusus untuk korban pelecehan, dan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Bahkan, menurut UU ini, pernyataan melecehkan dan merendahkan martabat perempuan di media massa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap perempuan. Penggunaan bahasa seksis masuk kategori kekerasan terhadap perempuan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memuji UU baru Bolivia ini. Kemudian pada Pada April 2017 lalu, Kirgizstan, negara yang terletak di Asia Tengah, mengadopsi sebuah undang-undang baru bertajuk 'Safeguarding and Protection Against Domestic Violence' atau perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Pada Mei 2018 lalu, Swedia mengeluarkan undang-undang baru yang memaparkan bahwa seks tanpa persetujuan (sex without consent) adalah bentuk pemerkosaan. Dan beberapa negara lain seperti Tunisia, Yordania, Lebanon mengeluarkan produk legislasi yang pro terhadap akses keadilan untuk kaum perempuan.
Mengutip Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang meluncurkan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018 (CATAHU 2019) pada awal Maret 2019 lalu, bahwa ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 naik dari tahun sebelumnya yang terdapat 348.466 kasus.
Kasus kekerasan terhadap perempuan ini tersebut terdiri dari 13.568 kasus yang ditangani oleh 209 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di 34 provinsi, serta sebanyak 392.610 kasus bersumber pada data kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama.
Menurut Ketua Komnas Perempuan, Azirana Manalu, angka-angka tersebut memperlihatkan pola dan kecenderungan kekerasan terhadap perempuan di tiga ranah yakni privat, publik dan negara. Akan tetapi sisi positifnya bahwa pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2018 meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya. Artinya kesadaran masyarakat dalam hal mengadukan kekerasan terhadap perempuan semakin membaik.
Paparan di atas menunjukkan betapa isu kekerasan perempuan serta akses keadilan bagi perempuan harus menjadi perjuangan bersama serta dapat menjadi salah satu agenda prioritas para wakil rakyat hasil pemilu 2019, yang meningkat tajam tajam sepanjang sejarah pemilu pasca reformasi, terkait keterwakilan perempuan di parlemen saat ini.
Kita berharap dengan banyaknya perempuan di parlemen dapat memperjuangkan untuk mendorong terwujudnya perlindungan hukum atas hak-hak fundamental perempuan, dalam berbagai perundang-undangan nasional diharapkan dapat terus mendesakkan lahirnya produk legislasi, serta regulasi yang sejalan dengan aspirasi progresif kaum perempuan.
Sudah seharusnya akses terhadap keadilan bagi perempuan dan kasus kekerasan terhadap perempuan harus segera di atasi dengan menjadikan salah satu prioritas produk-produk legislasi nasional ke depan bagi para anggota legislatif terpilih, khususnya calon legislatif terpilih yang selalu memperjuangkan isu-isu keadilan untuk kaum perempuan. (Rmol)
Girindra Sandino
Direktur Eksekutif Indonesian Democratic Center for Strategic Studies (INDENIS).