GELORA.CO - PAPUA saat ini sasaran choke point dua kubu. Saya katakan sasaran jadi artinya belum, tapi sedang diupayakan.
Karena di mata Australia, sekarang Vanuatu dalam bahaya. Kalau Pelabuhan Loginville diambil Cina setelah gagal bayar utang, pantai timur Australia dalam bahaya. Karena angkatan laut Cina masuk mengakases pengamanan maritim.
Otomatis Papua New Guinea gatel-gatel. PGN gatel-gatel Papua Barat demam tinggi.
Lepas dari itu, mainan Donald Trump juga tidak kalah bahaya. Sebagai pengusaha Trump sadar betul negaranya banyak tekornya alias alami defisit perdagangan bukan saja terhadap Cina dan Jepang.
Bahkan dengan beberapa negara ASEAN seperti Vietnam dan Malaysia. Artinya, nilai impor AS lebih besar daripada nilai ekspornya. Yang dibeli kegedean daripada yang dijualnya.
Alhasil, untuk mengompensasi neraca perdagangannya, lalu Trump mencanangkan untuk menggalakkan ekspor senjata ke negara-negara yang selama ini AS tekor alias defisit perdagangan.
Nah, untuk mengondisikan ekspor senjata, AS mulai ganti tema. Bukan lagi kampanye pasar bebas dan free trade area. Melainkan mengembangkan konsepnya obama "Poros Keamanan Asia" secara lebih ekstrem. Bukan saja mengirim 60 persen kapal perangnya ke Laut Cina Selatan. Tapi mengawinkan Indopasifik dan US Pacifik Command.
Kita tidak diajak ikut forum Indopasifik maupun persekutuan ala Seato seperti Quad sebenarnya sudah benar. Mereka tahu arus besar kita masih berpedoman pada politik luar negeri bebas aktif.
Titik rawan dari biak di Papua maupun Morotai di Maluku Utara dan juga Bitung di Sulawesi Utara, ketika pergeseran pendekatan ekonomi ke militarisasi dalam kebijakan luar negeri Trump, maka kawasan inipun berubah jadi medan konflik bersenjata. Sebab Cina pastinya akan melakukan manuver militer juga. Bukan sekadar manuver ekonomi bisnis yang mana Cina sekarang sebenarnya lagi di atas angin.
Dengan potensi seperti itu, ketiga titik rawan wilayah kita tadi menjadi sasaran perebutan pengaruh dan areas of war. Maka yang jadi taruhannya adalah perdamaian dan stabilitas kawasan. Sehingga zona damai, bebas dan netral seperti dicanangkan ASEAN benar-benar dalam bahaya.
Maka itu, kebijakan luar negeri RI terlalu penting untuk ditangani para birokrat Kemlu semata. Yang memandang krisis masih sebagai business as usual. (Rmol)