Mbah Moen: Kang Maftuh, Sampean Tamu Saya yang Terakhir

Mbah Moen: Kang Maftuh, Sampean Tamu Saya yang Terakhir

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel menjadi tamu terakhir KH Maimun Zubair alias Mbah Moen.

Hal itu terungkap saat Agus Maftuh didaulat memberikan testimoni dalam upacara penghormatan terakhir kepada Mbah Moen di kantor daerah kerja (daker) Makkah, Selasa (6/8). Di sanalah, jenazah kiai karismatik kelahiran Rembang itu disemayamkan beberapa saat sebelum dibawa ke Masjidil Haram untuk disalatkan.

“Saya hanya mampu menyampaikan duka yang sangat mendalam atas kondur-nya guru kami, mursyid kami, syekh kami, sekaligus juga orang tua kami KH Maimoen Zubair Dahlan,” kata Agus Maftuh seperti dikutip dari NU Online.

Dia menuturkan, sehari yang lalu, dia sowan ke Mbah Moen, ke hotel tempat Mbah Moen bermalam. "Kami sowan beliau bukan sebagai duta besar. Namun, sebagai santri beliau. Sebagai seorang santri beliau, kemarin saya sowan beliau bersama istri dan anak-anak saya dan juga para staf KBRI,” ungkapnya.

Dia merasa berdosa jika belum sowan kepada guru idolanya tersebut. “Kami sowan beliau sebagai seorang santri, karena berdosa besar kalau Mbah Moen ada di Saudi sementara saya tidak sowan beliau,” tuturnya.

Agus Maftuh menceritakan, malam itu sebenarnya Mbah Moen sudah pamit. Ada kata-kata yang kemudian dia diskusikan bersama teman-teman. “Jadi beliau dengan suara berat setelah berdoa untuk Bangsa dan Negara Indonesia yang beliau sebut sebagai negara nasionalis-religius dan religius. Beliau bilang, ‘Kang Maftuh, malam ini sampean tamu saya yang terakhir’,” ujar Dubes Maftuh menirukan Mbah Moen.

Mendengar kalimat tersebut, Agus Maftuh mengaku diam seribu bahasa. “Saya langsung tak bisa berkata apa-apa. Keluar dari ruangan Mbah Moen jam dua dini hari. Dua jam saya sama beliau karena enggak boleh pulang,” ujarnya terbata, disambut isak tangis hadirin di kantor daker Makkah.

Mbah Moen sempat melarang Agus Maftuh beranjak dari tempat duduknya. “Beliau asyik bercerita saat pertama kali mendirikan Pesantren Sarang pada 1970 dengan dibantu seorang santri namanya Abdurrasyid, itu adalah bapak saya. Lalu, beliau juga cerita soal mertua saya, seorang guru mengaji, namanya Abdullah Zawawi,” tuturnya. [jn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita