Mati Lampu Lagi, Lobi, dan Monopoli

Mati Lampu Lagi, Lobi, dan Monopoli

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - JIKA tanah seukuran Perancis (88.000 km2) ditutupi oleh solar panel --sebuah alat yang mengambil energi dari matahari kemudian menkonversikannya kepada energi listrik -- niscaya bisa memenuhi kebutuhan listrik dunia -- (National Geographic).

Hukum pertama dalam energi adalah: energi tidak dapat diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan. Energi hanya bisa diubah bentuk. Kedua: jumlah energi di alam semesta sama jumlahnya ketika alam ini terbentuk dan ketika alam ini mati nantinya.

Di Indonesia, energi listrik yang didapatkan dipilih oleh para pengambil keputusan berasal dari batubara. Ya, batubara dibakar kemudian uapnya yang panas memutar turbin yang kemudian diubah menjadi listrik. Singkatnya energi panas dikonversi menjadi energi listrik.

Dalam hal mati lampu yang terjadi di Jakarta, Banten dan Jawa Barat sejak Minggu (4/8) hingga Senin (5/8) siang, saat tulisan ini ditulis Senin (5/8) sore, menunjukan betapa lemahnya infrastruktur power negara kita. Berikut penjelasan secara simple:

Listrik yang digunakan di Jakarta dan Pulau Jawa sebagian besar berasal dari Pembangkit Listrik Jawa Timur, kemudian dikirim melalui kabel tegangan tinggi yang disebut SUTET (Saluran udara tenga ekstra tinggi) ke arah Barat sampai ke Jakarta. Kemudian terjadi gangguan SUTET di Jawa Tengah yang menyebabkan saluran mampet. Karena kontribusi dari Jawa Timur hilang, maka pembangkit Suralaya mengalami kelebihan beban, kemudian karena dua pembangkit besar mengalami trip, berdampak domino ke yang lain.

Singkatnya, di Indonesia ada batubara yang dibakar dengan jarak dari lebih dari 2.000 kilometer, kemudian dikirimkan dengan kabel ke Ibukota. Secara ketahanan keamanan dan ekonomi, di zaman yang serba tergantung pada konraktivitas yang membutuhkan tenaga listrik, hal ini; yang pertama, rentan terhadap kelangsungan ekonomi dan hidup masyarakat banyak. Yang kedua, ini bisa menjadi celah bagi negara lain apabila ingin menyerang Indonesia.

Secara geografis, Indonesia terletak di garis khatulistiwa. Matahari bersinar dengan waktu yang sama sepanjang tahun. Kita hanya  mempunyai dua musim, yang berarti angin selalu bergerak dari arah Benua Australia ke utara kemudian sebaliknya, dari benua Asia ke selatan.

Indonesia negara kepulauan, yang berarti energi ombaknya bisa dimanfaatkan di sepanjang garis pantai pulau-pulau yang jumlahnya ribuan. Cadangan energi panas bumi satu dunia ini pun hampir 40 persen, berada di Indonesia.

Para investor energi terbarukan dari seluruh dunia, merasa gemas dan ingin berinvestasi di Indonesia. Ini karena Indonesia yang berada di garis equator, adalah negara yang paling baik untuk energi terbarukan.  Berbeda dengan Afrika, yang tingkat ekonominya masih rendah, atau Amerika Selatan yang tertutup hutan Amazon sebagai paru-paru dunia.

Bayangkan bila 88.000 kilometer persegi dimanfaatkan di negara seluas hampir 2 juta kilometer persegi ini menjual listrik keseluruh dunia? Tunggu dulu, nampaknya itu masih jauh. Walaupun saya membayangkannya, bisa berbentuk floating solar panel yang mengambang di lautan tanpa memakan lahan dan mengambil fungsi air laut sebagai cooling effectnya.

Di Indonesia, berbeda skemanya dengan negara negara lain. Apabila kita pasang solar panel, yang membuat batubara lebih sedikit dibakar, kemudian mengurangi polusi udara -yang membuat anak dan cucu kita mempunyai harapan melihat langit biru dan dapat menghirup udara bersih- maka, adakah yang menghalangi kita untuk berpikir demikian? Jawabnya ada, yaitu peraturan atau regulasi.

Apabila solar terpasang di atap rumah kita, yang dalam bahasa fisika sebenarnya adalah mengambil tenaga nuklir dari jarak yang aman, maka lampu hanya padam apabila matahari tidak terbit. Tetapi peraturan yang ada sungguh membingungkan. Apabila kita kelebihan daya, kemudian diekspor ke PLN, namun PLN tidak akan membayar, melainkan hanya memutar terbalik meteran listrik kita. Tidak fair bukan? Jawabannya pasti tidak.

Ini karena RUU Energi terbarukan tidak kunjung disahkan menjadi Undang Undang. Diduga, mandeknya RUU ini antara lain karena lobi para pengusaha batubara di parlemen maupun pemerintah. Para pemain di sektor ini tentu tidak mau penjualan batubara ke PLN berhenti, yang dapat menyebabkan bisnis utama mereka mati.

Jadi dengan skema peta listrik tersebut, kita sekarang mengetahui mengapa diluar peristiwa pemadaman massal pada 4-5 Agustus 2019 ini sering terjadi. Satu truk ayam berisi muatan yang berlebih tingginya menyangkut di salah satu kabel melintang, dapat memadamkan satu kelurahan, atau kecamatan.

Bayangkan apabila aturan diubah, setiap rumah ada panel surya atau turbin angin, skema pesebaran listrik akan berubah, yaitu PLN mempunyai pembangkit yang menyerupai amoeba kecil tapi menyebar. Namun, apakah para pembuat peraturan berkepentingan, membiarkan? Tentu tidak, karena di bulan-bulan berikutnya, kita tidak menyetor ke matahari dan ke angin, seperti halnya membayar listrik ke PLN, kemudian PLN membayar ke pengusaha batubara.

Satu lagi, monopoli PLN harus berhenti. Masyarakat harus dibiarkan memilih provider sesuai yang mereka inginkan, seperi halnya Telkom bersaing dengan provider lainnya. Persaingan membuat sebuah perusahaan menjadi lebih baik di industri manapun di tempat manapun.

Ke depan, kita harus berani untuk menginstal solar panel di atas rumah kita sendiri, untuk kebaikan rumah tangga, penghematan, dan masa depan alam Indonesia dan Bumi secara keseluruhan.

Jangan ragu dan gentar untuk membuat petisi, aksi nyata untuk mendukung dan memasang energi baru terbarukan. “Keraguan adalah Pengkhianat, yang akan membuat kita kehilangan peluang untuk sering menang dalam banyak laga! Yang berawal dari takut mencoba.” (William Shakespeare, dalam buku ‘Measure for measure’ 1623)(rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita