GELORA.CO - Rakyat Indonesia hari ini bersuka cita merayakan kemerdekaan bangsanya yang ke-74 tahun. Bagi masyarakat, khususnya umat Islam, jasa Ki Bagus Hadikusumo dan Mr Kasman Singodimedjo tak boleh dilupakan. Pasalnya, mereka adalah dua di antara sekian banyak tokoh yang memiliki peran sentral dalam kemerdekaan RI.
Wakil Ketua Majelis Dikti dan Litbang PP Muhammadiyah, Sudarnoto Abdul Hadi menuturkan, Ki Bagus dan Mr Kasman mempunyai peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Mereka juga menyiapkan landasan-landasan penting sebagai dasar negara yang hari ini dianut Bangsa Indonesia.
“Nah, di sejarah disebutkan bahwa BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) itu melakukan persiapan kemerdekaan dan terjadi perdebatan yang sangat sengit terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta,” kata Sudarnoto kepada Indonesia Inside, Jumat (16/8).
Saat penetapan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di sila pertama dicantumkan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ki Bagus Hadikusumo merupakan salah satu tokoh yang mempelopori rumusan tujuh kata itu.
“Namun, tokoh lain seperti Bung Hatta belum mampu meyakinkan pihak lain, sehingga Pak Kasman Singodimedjo, tokoh muda Muhammadiyah, diharapkan dapat berdiskusi dengan Ki Bagus,” ujarnya.
Melalui perdebatan yang sangat lama, Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima keputusan untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta karena pertimbangan akan menimbulkan resistensi bagi pemeluk agama di luar Islam. Namun, ia meminta agar sila pertama diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
“Kedua tokoh ini dalam waktu cepat membuat keputusan yang tidak gampang karena mempertimbangkan integrasi nasional yaitu NKRI. Jadi, tidak berlebihan juga kalau kedua tokoh ini merupakan kunci dari integrasi nasional,” tuturnya.
Menurut Ketua Komisi Pendidikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sejatinya merupakan ungkapan sangat strategis bagi umat Islam karena bagian dari akidah. Sementara, tujuh kata tersebut menyangkut syariah.
“Jadi, kalau mau melihat hierarki dalam Islam, tentu saja akidah yang menjadi basic. Nah, inilah yang juga terkait ketatanegaraan di Indonesia. Itu peran-peran penting dari kedua tokoh Muhammadiyah,” kata dia.
Ketika menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia menjadi negara yang mengayomi seluruh keyakinan dan agama, tanpa ada diskriminasi. Menurutnya, hal ini berbeda jika negara berdasarkan pada syariat Islam, maka Indonesia akan menjadi negara Islam, sementara rakyatnya sangat heterogen.
“Kalau Pancasila, Indonesia bukan negara Islam, juga bukan negara sekuler. Tapi mengayomi seluruh warga negara seperti Rasulullah bersama seluruh penduduknya di Madinah al-Munawwarah,” tuturnya.
Artinya, negara memberikan tempat kepada rakyatnya untuk menjalankan perintah agama. Karena itu, demokrasi yang dianut di Indonesia harus sesuai dengan nilai keindonesiaan dan keagamaan.
“Pancasila itu sungguh sangat tepat. Dua-duanya (Ki Bagus dan Mr Kasman) itu orang pergerakan yang juga terlibat di partai. Pak Kasman juga sangat muda dan terlibat dalam JIB (Jong Islamieten Bond). Di sinilah dia mengalami pematangan intelektual dan keagamaan. Pak Kasman menjadi tokoh integrasi penting dengan ikut Sumpah Pemuda pada 1928,” katanya.
Teladan bagi generasi muda
Sudarnoto menuturkan, kedua tokoh bangsa itu merupakan referensi penting bagi generasi muda dalam melanjutkan semangat nasionalisme dan perjuangannya. Terpenting, kata dia, generasi muda harus belajar adab bernegara dan berpolitik pada tokoh-tokoh sejarah, termasuk Ki Bagus Hadikusumo dan Mr Kasman Singodimedjo.
“Generasi muda bukan membangun nasionalisme sempit (chauvinisme), tapi bagaimana menjalankan kewajibannya kepada tuhan dan menjaga akhlakul karimah, ini penting karena problem pertama kita hari ini adalah pada karakter,” ujarnya.
Selain itu, dia juga mendorong generasi muda untuk terus menuntut ilmu sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini selaras dengan teknologi yang semakin berkembang dan menuntut generasi muda memiliki kepiawaian dengan ilmu.
“Jadi, kedua kontribusi ini penting, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai akhlakul karimah,” kata dia. [ns]