Oleh Indra Adil (Eksponen 77/78)
Fenomena Pilkada DKI
Dimulai dengan Penistaan Agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI saat itu, maka bergulirlah Aksi Demo 411 yang disusul Aksi Demo 212 yang sangat fenomenal. Kedua aksi luar biasa itu (bahkan untuk ukuran dunia), telah melahirkan aksi legal judisial, tergulingnya Gubernur DKI paling potensial saat itu, Ahok dari kedudukannya dalam Pilkada DKI tahun 2017. Padahal, sudah cukup bekal kecurangan yang memungkinkan, dilakukan saat itu untuk memenangkannya. Meskipun kecurangan brutal sebagaimana yang terjadi pada Pilpres 2019, tidak dilakukan. Bukan karena tak ada niat, tetapi fakta lapangan tak memungkinkan untuk melakukannya di hadapan jutaan mata cerdas warga DKI yang tertuju pada Pilkada wilayahnya. Bukankah pada area kecil dan terbatas, dihuni oleh penduduk cerdas dan berada pada satu daerah istimewa yang bernas, terlalu riskan untuk menerapkan kecurangan brutal? Begitulah, kesuksesan Umat Islam dalam Pilkada DKI menjadi modal utama Umat Islam Indonesia untuk bangkit dari ketertidurannya.
*Pengulangan pada Pilpres Indonesia Tahun 2019
Umat Islam, menyadari sepenuhnya hal tersebut di atas dan mereka ingin mengulang kesuksesan yang sama pada Pilpres tahun 2019. Kesuksesan memberi pencerahan kepada Umat Islam Indonesia akan kekuatan sendiri untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan akibat keserakahan segelintir anak bangsa yang rakus. Bukan hal yang mudah, karena di ajang ini umat Islam bukan saja menghadapi kepentingan para Taypan Tionghoa Indonesia yang merasa terancam setelah merasakan pahitnya kekalahan Jagoan-nya di DKI, yang berakibat di antaranya pada terbengkalainya proyek akbar mereka, Pulau-Pulau Reklamasi. Tetapi juga menghadapi pejabat-pejabat korup dalam rezim, yang turut terancam bila Rezim Boneka ini tersingkir. Maka bersatulah wahai para pelacur...
Sebetulnya Umat Islam menangguk sukses besar dalam pengumpulan massa untuk melawan petahana, massa yang ingin meruntuhkan petahana tak terbendung di hampir setiap kota, baik Luar Jawa maupun di Jawa sendiri. Pendukung petahana telah frustrasi menghadapi perbedaan massa yang menghadiri kampanye oposisi yang berlimpah ruah di mana-mana dibanding massa yang menghadiri kampanye petahana yang sunyi, meski sudah diiming-imingi uang dan sertifikat tanah gratis yang dibagikan kepada pehadir. Kemenangan telak oposisi telah memberi sinyal yang jelas kepada masyarakat. Akan tetapi, kekuasaan yang sewenang-wenang, dana berlimpah dan wilayah yang sangat luas memberi peluang kecurangan tak terperikan dijalankan tanpa etika sama sekali. Itulah yang disebut kecurangan brutal, dengan pelaksana aparat resmi pemerintah yang di dalam undang-undang wajib bersikap netral. Apa boleh buat, kemenangan dirampok secara resmi oleh aparat resmi dengan berjamaah.
Semua hal itu sudah tentu atas restu dan sepengetahuan lawan potensial umat Islam dan bangsa Indonesia, Republik Rakyat China (RRC), yang sangat cemas menghadapi kemungkinan hancurnya modal super penting mereka, OBOR, di tangan Indonesia. Indonesia adalah mata rantai utama bagi kelanjutan Proyek OBOR, yang kini telah berganti nama menjadi BRI, yang telah menelan mentah-mentah Sri Lanka, Pakistan, Montenegro, Maldivest, Djibouti, Tibet, Nepal, Kamboja, Laos, Turkistan, Zimbabwe, Somalia, Uighur, Papua Nugini dan Timor Timur. Dan semua itu telah melahap trilyunan uang Yuan mereka. Tetapi, mengingat terpecundanginya mereka di Indonesia dalam Peristiwa Madiun 1948 dan G30S PKI tahun 1965 yang silam, RRC panas dingin. Umat Islamiah yang telah mempecundangi mereka sebagaimana Umat Islam mempecundangi Belanda dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. RRC tak ingin menjadi pecundang ketiga kalinya di Indonesia. Oleh karena itu, melalui antek-antek mereka, para Taypan Tionghoa Indonesia yang berkolaborasi dengan pejabat-pejabat korup membiayai manipulasi habis-habisan di Pilpres Indonesia tersebut, termasuk kebrutalan habis-habisan yang menghasilkan kemenangan semu mereka. Mereka pikir itu selesai. Tetapi ternyata belum
Keberuntungan bagi Umat Islam Indonesia, Presiden Amerika saat ini, Trump sebagai representasi Umat Kristen Amerika sekaligus Nasionalisme Amerika , yang sudah bosan dikuasai dan dimanipulasi oleh para penganut The New World Order (NWO), mempunyai agenda berbeda dengan pendahulunya. Kalau Poros NWO menginginkan kerjasama dengan China, Trump berbeda. Bisa dimaklumi, karena bagi Poros NWO, Amerika Serikat hanyalah sekedar alat untuk pencapaian tujuan, sementara bagi Trump, Nasionalisme Amerika adalah harga mati, modal sekaligus tujuan. Itulah yang dikenal sebagai American Dream, mimpi Amerika bagi American Citizen. Tak ada yang boleh melebihi kekuasaan Amerika di dunia. Hal ini menimbulkan kebijakan yang berbeda pula dalam politik Amerika di luar negeri termasuk Indonesia.
Pada Pilpres tahun 2014 di Indonesia, Amerika Serikat (di bawah Poros NWO), bersepakat dengan China untuk mendukung Jokowi yang dijanjikan China (kepada Amerika), akan membendung Islam Radikal yang menurut China membonceng pada figur Prabowo. Maka jadilah Jokowi Presiden Indonesia justru atas bantuan antek-antek Amerika di Indonesia yang sudah sama kita ketahui. Meskipun beberapa sumber penting telah memastikan kemenangan tipis Prabowo saat itu, kemenangan yang tipis tersebut sangat mudah dimanipulasi menjadi kekalahan tipis Prabowo. Apalagi atas bantuan Orang Nomor 1 Indonesia saat itu.
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika
Kalau di bawah Poros NWO kebijakan Luar Negeri Amerika ditentukan oleh CFR (Council on Foreign Relations) sebuah lembaga think-thank non profit yang merupakan kamuflase dari perpanjangan tangan Illuminati (Pencetus New World Order), maka saat ini Trump mengabaikannya dan menentukan sendiri kebijakan luar negerinya. Trump memang sangat tepat menjadi personifikasi dari Cowboy Amerika.
Saat ini, Poros NWO sedang tiarap, sambil menyusun kekuatan kembali untuk menghadapi Pilpres Amerika Serikat mendatang. Sementara itu kebijakan-kebijakan politik mereka yang lalu, satu demi satu dipreteli Trump, termasuk di Indonesia. Soros, seorang petualang valas internasional yang pernah dipenjara Perancis atas pesanan Poros NWO, kini bersekutu dengan Trump untuk mengembalikan Indonesia kepada jalurnya yang benar, terbebas dari cengkeraman Beijing. Trump lebih takut terhadap China ketimbang Islam.
Peran Negara-Negara Asean
Peristiwa demo besar-besaran baru-baru ini di Hongkong, mungkin bisa menjadi potret dari ketakutan Negara-Negara Asean terhadap dominasi China di dunia. Negara-negara Asean saat ini sedang berdebar-debar memandangi peristiwa politik di Indonesia. Mereka berdebar karena menyadari bahwa kejatuhan Indonesia di bawah ketiak China, merupakan sinyal bagi kejatuhan mereka di bawah sepatu Lars China. Tinggal menunggu hari, istilah premannya. Indonesia bagi mereka adalah benteng terakhir kemandirian Asean. Tentu saja Trump mengetahui hal ini.
Persekongkolan antara Trump dengan Negara-negara Asean yang dibantu petualang valas dunia, Soros, akan menghentikan laju perkembangan BRI China di Indonesia. Artinya, Rezim Boneka Beijing ini harus dihentikan! Hal ini sudah tercium oleh tokoh-tokoh politik indonesia. Karena itu, perlu dipahami, pertemuan-pertemuan yang terjadi baik di Teuku Umar antara Prabowo dengan Megawati maupun di Gondangdia antara Anies Baswedan dengan Surya Paloh, tak ada hubungan dengan perebutan posisi kekuasaan di Kabinet Jokowi, karena Jokowi sudah selesai dan akan kembali ke habitatnya di Solo. Trump lebih memilih takut terhadap China katimbang takut terhadap Islam. Kita tunggu, apakah hal itu akan terjadi? Wallahu a"lam. (*)