Oleh: Hersubeno Arief
INGAR bingar dan kegaduhan status taruna Akademi Militer (Akmil) Enzo Allie berakhir. Kepala Staf TNI AD, Jenderal Andika Perkasa menyatakan Enzo bukanlah simpatisan HTI. Pemuda blasteran Perancis itu juga tidak terpapar paham “radikal.”
"Kami, Angkatan Darat, memutuskan untuk mempertahankan Enzo Zenz Allie dan semua taruna Akademi Militer yang kami terima beberapa waktu lalu, sejumlah 364 orang," ujar Andika di Mabes TNI AD, Jakarta, Selasa (13/8).
Berdasarkan hasil tes obyektif lanjutan, indeks moderasi bernegara Enzo adalah 5,9 dari tujuh. Enzo, mendapat persentase skor 84 persen.
Andika menjamin akurasi dan validitas tes obyektif lanjutan yang dilakukan terhadap Enzo. TNI telah bertahun-tahun menggunakan instrumen tes itu untuk memastikan kesadaran bernegara para taruna.
Pernyataan Andika ini bukan hanya kabar baik bagi Enzo dan keluarganya. Ini juga kabar baik bagi TNI AD, umat Islam, dan tentu saja yang paling penting bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Hanya gara-gara kedapatan pernah membawa bendara tauhid dan diposting di akun facebooknya, Enzo digoreng oleh buzzer sebagai pendukung kelompok radikal.
Statusnya dikait-kaitkan dengan ibunya, seorang anggota emak-emak militan yang menjadi pendukung Prabowo-Sandi.
Yang lebih menyedihkan Mahfud MD ikut memperkeruh situasi dengan menyebut TNI kecolongan. Dia juga meminta TNI segera memecat dan memberhentikan Enzo dari Akmil.
Secara insinuatif dia memperkirakan, kalau tidak dipecat, Enzo tidak akan kerasan karena kasusnya sudah ramai di media.
Pernyataan Mahfud tentu tidak bisa diremehkan begitu saja. Karirnya sangat mencorong. Dia pernah menjadi Menhan, Menkumham —walau hanya tiga hari—, dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Jangan dilupakan pula statusnya saat ini sebagai anggota Dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sebuah lembaga yang membantu presiden untuk merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Gak main-main.
Jadi Mahfud bukanlah figur ecek-ecek. Kelasnya jauh berbeda dibandingkan para buzzer yang mencari makan dari kegaduhan dan kekisruhan politik.
Kalau toh ucapan dan sikapnya belakangan ini tekesan seperti buzzer, jelas dia bukan buzzer sembarangan. Kualifikasinya: kelas berat!
Harus Jentelmen
Dengan keputusan TNI AD, akan sangat baik, terhormat, bertanggung jawab, jentelmen bila Mahfud MD segera minta maaf.
Pertama, kepada Enzo dan keluarganya. Gara-gara pernyataannya Enzo menghadapi tekanan psikologis yang luar biasa. Mahfud telah mem-bully seorang remaja berprestasi dan unggul.
Masa depan Enzo terancam. Pemuda yang bercita-cita menjadi prajurit komando ini seperti divonis hukuman mati. Dipecat.
Kedua, kepada lembaga TNI, khususnya TNI AD yang disebutnya telah kecolongan.Tudingan ini tidak main-main dan bisa dilihat sebagai sikap meremehkan TNI secara kelembagaan.
Untuk menjadi taruna Akmil —semua angkatan— proses seleksinya sangat ketat dan berjenjang. Mulai di daerah (Kodim, Kodam), sampai di tingkat pusat berupa penentuan tahap akhir (Pantohir).
Seorang calon taruna dinyatakan lolos setelah melewati pemeriksaan administrasi, test kesehatan, kesemaptaan jasmani, mental ideologi, psikologi dan tes kesehatan.
Siapapun yang lolos telah melalui tahapan ini. Seperti dikatakan Andika, prosesnya telah teruji.
Soal mental ideologi di masa lalu dikenal persyaratan bersih diri dan bersih lingkungan. Bukan hanya sang calon secara pribadi, tapi juga keluarga dan lingkungannya.
Enzo berhasil lolos semua ujian tersebut. Angkanya juga di atas rata-rata, kalau tidak boleh dikatakan sempurna (A).
Enzo adalah taruna yang memenuhi semua persyaratan. Secara fisik jempolan, secara linguistik hebat. Dia juga punya bekal keagamaan yang kuat.
Dari hasil tes Samapta, Enzo mampu melakukan pull up 19 kali, sit up 50 kali dan push up 50 kali masing-masing dalam waktu 60 detik.
Enzo juga mampu berlari 7,5 putaran X 400 meter atau 3.000 meter dalam 12 menit, renang 50 meter dalam 60 detik.
Selain bahasa Indonesia, dia memguasai empat bahasa asing: Inggris, Perancis, Italia, dan Arab. Satu hal yang juga akan menjadi bekal istimewa Enzo, dia pernah menjadi santri di sebuah pondok pesantren di Serang, Banten.
Bayangkan bila sampai TNI tunduk pada tekanan buzzer dan Mahfud MD. Mereka akan kehilangan calon perwira yang cemerlang dan tidak menutup kemungkinan menjadi pimpinan TNI di masa depan.
Dengan paras rupawan dan berbagai keunggulan fisik lainnya, Enzo sesungguhnya bisa menempuh jalur pintas menjadi sukses, terkenal dan kaya raya. Seperti remaja Indo lainnya, dunia industri hiburan dipastikan akan dengan tangan terbuka menyambutnya.
Namun Enzo memilih jalan lain. Jalan terjal berupa pengabdian kepada bangsa dan negara. Bangsa dan negara tempat Ibu kandungnya dilahirkan.
Dia memilih bermandi peluh dan darah, ketimbang sorotan dan kilau lampu-lampu kamera. Dia memilih medan latihan dan medan tempur ketimbang panggung-panggung pertunjukkan.
Di tengah semakin sedikitnya pemuda yang ingin mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara melalui jalur militer, Enzo seharusnya mendapat salut dan aplaus yang meriah, bukan malah di-bully.
Ketiga, Mahfud harus meminta maaf kepada umat Islam. Gara-gara statemennya stigma radikal terhadap umat Islam semakin kuat. Semangat keberagamaan yang tinggi disamakan dengan sikap radikal. Kalimat sahadat mengakui ke Esa-an Allah SWT identik dengan organisasi terlarang.
Keempat, Mahfud harus meminta maaf kepada bangsa Indonesia. Pasca Pilpres 2019 rakyat Indonesia terbelah menjadi dua kubu yang berseberangan. Pernyataannya dapat kian memperparah pembelahan itu. Masyarakat akan terus gontok-gontokan.
Para elite politik, cerdik pandai harus benar-benar berhati-hati mengelola bangsa ini, termasuk menjaga ucapan maupun tindakannya. Jangan hanya karena kepentingan jangka pendek, kepentingan politik, kepentingan kuasa, persatuan dan kesatuan bangsa dikorbankan.
Semuanya sekarang terpulang kepada Mahfud MD, apakah dia cukup rendah hati, punya jiwa besar memberi contoh dan tauladan kepada bangsa ini, terutama anak-anak muda seperti Enzo.
Meminta maaf, mengakui kesalahan, adalah sikap yang terhormat. Atau seperti kebanyakan buzzer, memilih ngeles dan menyalahkan media karena salah kutip. []