OLEH: TEUKU GANDAWAN
SETIAP agama pasti menyatakan dirinya sebagai ajaran yang benar. Tak ada agama yang menyatakan, yang lain juga benar. Kalau yang lain juga benar, tentu menjadi tidak beralasan menganut suatu agama. Karena agama itu prinsip berkehidupan, bukan gaya dalam hidup.
Itu pula esensi dakwah UAS kepada umat Islam yang belakangan ini disebar dalam bentuk potongan video, yang entah dipotong oleh siapa dan disebarkan untuk apa.
Apakah isi video tersebut salah? Tentu saja tidak. Adalah kewajiban setiap pemuka agama menjawab sesuai ajaran agamanya, ketika ada umat bertanya bagaimana menjadi beriman dan mengatasi diri dari lemah iman dalam beragama.
Non-Islam sudah pasti tak sepakat agamanya dinyatakan sebagai tidak benar, karena dalam agamanya pastilah berlaku hal yang sama seperti dijelaskan sebelumnya. Dalam agama mereka, tentulah mereka yang benar dan agama Islam termasuk agama yang salah.
Apakah ini menyakitkan bagi umat Islam? Jawabnya tidak. Itu kenapa dalam Islam ada ajaran tentang, untukmu agamamu untukku agamaku. Islam tidak pernah mengajarkan agama lain benar dan tidak pernah mengajarkan hinalah agama lain karena salah. Bedakan menceritakan kondisi ajaran agama lain, dengan mengolok-olok ajaran agama lain.
Di sisi lain fakta ini menunjukkan bahwa pluralisme agama itu memang dongeng kaum sesat non-beragama. Mereka ingin para penganut agama ini menganggap agama satu sama lain sama-sama benar. Mereka ingin agar umat beragama menjalani iman yang salah dengan menganggap agama di luar yang dianutnya adalah juga benar.
Sesuatu yang secara esensi salah secara keimanan. Karenanya kita sebagai bangsa Indonesia wajib mewaspadai orang-orang yang mengajarkan pluralisme agama, karena pada dasarnya mereka ingin umat beragama menjadi sesat dalam beragama.
Kembali ke pangkal persoalan, yang paling dasar adalah setiap umat beragama wajib saling menahan diri, karena sabar juga ajaran semua agama. Jangan mengambil sikap sebagai perusak persatuan antar umat beragama di Indonesia dengan mengipas-ipaskan api kemarahan dari diskusi perbandingan agama yang dilakukan dalam ruang terbatas.
Faktanya semua umat beragama di Indonesia melakukan itu dalam diskusi internalnya. Apakah salah melakukan diskusi internal soal perbandingan agama? Tentu tidak. Itulah salah satu cara untuk menaikkan kadar beriman dalam beragama yakni mempelajari dan memahami kelemahan agama lain dibandingkan kebenaran agama yang diyakini.
Jadi mari kita menahan diri sebagai umat beragama dari konflik antar umat beragama. Beragamalah dengan cerdas. Pahami dasar-dasar keimanan agama masing-masing. Pahami umat beragama lain boleh dan sah berpikiran berbeda dalam memahami tentang Tuhan. Pahami berbeda pemahaman tentang Tuhan tidak boleh dipaksakan untuk menjadi tidak berbeda. Berbeda dalam iman adalah hak. Jangan menggugat ajaran agama satu sama lain.
Jadi jangan mengatakan kegiatan kurban umat Islam sebagai pembantaian massal. Biarkan juga umat Kristen meyakini salib dan Kristus sebagai bagian ajaran keimanan mereka.
Salah satu cara paling mudah menjalani kehidupan antar umat beragama adalah memahami perintah dan larangan agama masing-masing, serta jadikan itu sebagai batasan normatif untuk tidak saling hujat. Terutama, pahami apa yang dilarang oleh masing-masing ajaran.
Hanya dengan saling memahami perbedaan kita bisa hidup rukun dan itulah pesan dari Pancasila sebagai ideologi bangsa. Kita diminta untuk memiliki Tuhan dalam iman masing-masing. Kita diminta harus bisa bersikap adil dan beradab memahami satu sama lain. Kenapa demikian? Karena kita perlu dan wajib menjaga persatuan bangsa.
Model kerakyatan kita tidak boleh mengumbar emosi, melainkan wajib dipimpin dengan hikmat, bijaksana dan penuh dengan sikap musyawarah. Agar tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Itulah esensi kita beragama, berbangsa dan bernegara. Mari kita wujudkan dalam bingkai ideologi Pancasila.
74 tahun Republik Indonesia, mari tetap berpancasila. rmol.id
Penulis adalah Direktur Eksekutif Strategi Indonesia. [rmol]