GELORA.CO - Luar Biasa!!. Mungkin hanya itu kata yang pas untuk menggambarkan kehebatan pengembang properti kelas premium, Agung Podomoro yang sehari setelah Presiden Jokowi mengumumkan Ibu Kota Negara Indonesia pindah ke Pulau Kalimantan, langsung menjual produk propertinya Borneo Bay City di Balikpapan dengan iklan satu halaman penuh di harian Kompas.
Maka semakin jelaslah siapa sebenarnya pihak yang paling diuntungkan dari pindahnya ibukota ini. Berarti sebelumnya pengembang ini sudah dapat bocoran kemana lokasi pindahnya ibukota. Tentu semua info dan jalur akses yang didapat pengembang ini tidaklah cuma-cuma. Sebab tidak ada makan siang yang gratis, ujar pengamat kebijakan publik, Dr. Safri Muiz kepada Law-Justice.co di Jakarta, Rabu (28/8).
Itu baru lokasi di Balikpapan, belum nanti lokasi properti lain yang letak posisinya di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Walau hasil survei menunjukan mayoritas masyarakat DKI Jakarta dan nasional tidak setuju pindah Ibu Kota. Tetapi nampaknya Presiden dan jajaran pemerintah yang terkait tidak bergeming. "Anjing menggonggong kafilah berlalu" dan "The show must go on".
Ungkapan itu begitu mengena tentang kebijakan Presiden Jokowi yang dipaksakan dan hanya untuk mengenang pencitraan Jokowi dalam buku sejarah sebagai Bapak pemindahan ibukota negara. Berbagai narasi dimunculkan oleh aparat pemerintah terutama Bappenas, yang ditugasi oleh Presiden Jokowi membuat studi kelayakan tentang letak Ibu Kota baru tersebut dan perkiraan biaya yang akan dkeluarkan negara untuk pindah Ibu Kota, lanjut Safri.
Walau narasi Bappenas ini sudah dinilai memalukan dan menyedihkan oleh begawan ekonomi dan lingkungan hidup, Prof. Emil Salim, tetapi Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, tetap jalan terus karena yang penting asal Bapak Jokowi senang. Fantastis membaca biaya pindah Ibu Kota ini, nilainya tidak tanggung-tanggung yaitu 466 Triliyun, hampir seperempat lebih dari APBN Indonesia setiap tahunnya.
Melihat hasil pemamparan Bappenas yang beredar di medsos, kita dibikin decak kagum karena layout Ibu Kota baru ini begitu cantik dan menawan, walau dinilai netizen dijiplak dari gambar dan konsep city Spanyol. Skema pembiayaan juga dipaparkan dan juga berbagai alasan dimunculkan, agar terkesan memang ide untuk pindah Ibu Kota ini, benar-benar hal yang urgen dan mendesak, tambah Safri.
Berita di media maenstream pun bersileweran menanggapi dan berusaha meyakinkan bahwa kebijakan Presiden Jokowi ini adalah kebijakan yang harus didukung dengan sepenuh hati oleh rakyat Indonesia. Narasinya Indonesia pasti bisa, karena Bappenas memberikan contoh kota Rio de Janeiro yang ibu kota Brazil pindah ke Brasilia, pada tahu 1960.
Contoh yang diberikan oleh Bappenas ini betul-betul menggerus akal sehat kita, bagaimana Kementerian PPN/Bappenas sebagai sebuah Kementerian dalam Kabinet dan dipimpin oleh seorang Menteri yang profesor dan mempunyai track record pendidikan yang tinggi, memberikan contoh pemindahan Ibu Kota yang terjadi 50 tahun yang lalu. Apakah tidak ada negara di dunia ini pindah Ibu kota pada saat ini atau 10 tahun ke belakang, sindir Safri.
Hal itu yang membuat kita jadi bertanya-tanya perbandingannya kejadian yang telah berlalu selama 50 tahun. Karena itu wajar berbagai tanggapan miring terhadap kebijakan pindah Ibu Kota ini. Kenapa sekalian contoh pada saat Indonesia masih terdiri dari Kerajaan-Kerajaan kecil, beberapa ratus tahun yang lalu. Artinya Kementerian PPN/Bappenas betul-betul miskin narasi untuk memback-up kebijakan Presiden Jokowi ini. Narasi yang dimunculkan betul-betul narasi usang yang sama sekali tidak punya daya dukung logika dan urgensi dari pindah Ibu Kota tersebut, tegas Safri.
Kalau hanya narasi yang dibuat oleh Kementerian PPN/ Bappenas yang setebal 24 halaman itu, benar-benar Presiden Jokowi salah pilih menunjuk atau menugasi Kementerian PPN/Bappenas ini. Beberapa alasan yang terkemuka pada presentasi Kementerian PPN/Bappenas ini terkesan buru-buru dan tidak komfrehensif. Ada apa Presiden Jokowi begitu ngotot dan begitu percaya diri tentang pindah Ibu Kota ini, tanya Safri.
Tapi perlu kita cermati bahwa kebijakan pindah Ibu Kota ini, belum menjadi kebijakan yang aplikatif. Ini hanya sebatas wacana. Ini adalah baru sekedar ide Presiden Jokowi yang melihat begitu sesaknya laju pertumbuhan penduduk di Ibu Kota Jakarta ini. Karena kesiapan pemerintah betul-betul sebatas wacana saja, seperti yang ditunjukkan oleh slide-slide pemaparan Kementerian PPN/Bappenas ini. Mungkin ini akan menjadi bahan diskusi rakyat, ditengah himpitan hidup yang dari hari ke hari semakin sulit.
Wacana pindah Ibu Kota ini membuat kita lupa pada persoalan-persoalan yang lebih urgen, yaitu Kemiskinan dan Ketidakadilan. Wacana ini takutnya menjerumuskan Presiden Jokowi tentang Kebijakan yang tidak bisa di jalankan. Karena kita kesulitan menutupi pinjaman hutang karena pembangunan infrastruktur yang lalu, lantas sekarang datang lagi hutang baru untuk biaya pembangunan ibu kota baru. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Jokowi ini akan tergerus, bila kebijakan yang dikeluarkan diluar kemampuan keuangan negara, timpal Safri.
Pindah Ibu Kota wacana susah direalisasikan oleh pemerintahan periode kedua Jokowi. Jokowi akan mewariskan hutang dan mewariskan pembangunan yang gagal bagi Presiden pengganti Presiden Jokowi di masa-masa yang akan datang. Karena ide pindah Ibu Kota sekarang ini, adalah sebatas wacana yang sulit direalisasikan. Apakah kebiasaan mengungkapkan kebijakan hanya sebagai wacana ini, merupakan kebiasaan pencitraan bagi Presiden Jokowi.
Karena beliau tahu bahwa ide yang beliau sampaikan ini, pada kondisi sekarang ini mungkin tidak bisa direalisasikan. Tetapi akan menjadi kebijakan bagi Presiden pengganti beliau setalah tahun 2024. Kalau itu yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, maka rakyat benar-benar hanya dikasih janji-janji bukan bukti. Presiden Jokowi dan para Menteri yang ada di Kabinetnya sekarang ini, atau Kabinet untuk lima tahun kedepan hanya memberi angin surga.
Safri mengingatkan kebijakan uthopis itu akan membuat rakyat mencatat, begitu banyaknya janji-janji Presiden Jokowi, tapi tidak satu pun yang bisa direalisasikan. Fatmorgana mungkin itu ungkapan yang pas. Semoga Presiden Jokowi tidak lagi melihat fatamorgana dalam mengeluarkan kebijakan, seperti kebijakan pindah Ibu Kota ini. Untuk Prof Bambang sebagai Kepala Bappenas, tolonglah jangan hanya karena ingin jadi menteri lagi, lalu semua apa yang diminta Jokowi langsung manut asal bapak senang saja. Dengarlah kritikan Prof Emilm Salim, dimana hati nurani mu dan akal sehat mu, tegas Safri. [ljc]