Oleh Tony Rosyid
Kok judulnya begitu? Ya, begitulah. Judul ini menggambarkan apatisme, bahkan mewakili kekesalan begitu banyak warga negara terhadap program pindah ibu kota. Pertama, ekonomi lagi morat marit kok mau pindah ibu kota.
Tahunya ekonomi morat marit? Hutang negara terus membengkak. Aset-aset BUMN sedang dipasarkan. Harga-harga naik dan subsidi mulai pada dicabutin. Kurang data? Sementara pindah ibu kota tidak seperti mindahin lemari. Butuh anggaran cukup besar. 486 triliun dana yang harus tersedia untuk pindah ibu kota. Kabarnya 93,5 triliun dari APBN. Sisanya? jual atau sewain apa kek. Ini bukan dana yang sedikit untuk kondisi ekonomi bangsa seperti sekarang.
Kedua, kemana mau pindah? Kalimantan? Kalimantan mana? Tengah atau Timur? Ini saja belum diputuskan. Ini menunjukkan belum ada kajian wilayah yang serius dengan segala dampak dan risikonya. Kok sudah minta ijin DPR?
Ketiga, apa alasannya pindah? Jakarta macet? Banjir? Karena polusi? Atau karena Jakarta dipimpin oleh Anies Baswedan, lawan politik dan tak bisa diajak kompromi? Tidakkah Anies orang yang paling mudah diajak kompromi? Yang penting rasional, tak ada aturan yang dilanggar dan tak merugikan negara. Anies pasti bisa berkompromi. Kalau tiga syarat itu tak terpenuhi, Anies sepertinya memang tipe gubernur yang tak pernah mau buka pintu belakang.
Tidakkah kemacetan dan banjir Jakarta sudah berangsur-angsur mulai berkurang saat ini? Kenapa tidak dibantu untuk semakin cepat lagi mengatasi masalah-masalah itu? Kok malah pindah.
Teringat ketika Jokowi mau nyagub di DKI. Untuk mengatasi macet sepertinya gak susah-susah amat, katanya. Ini namanya optimisme. Bagus dan harus diapresiasi. Dan ketika jadi Gubernur DKI, Jokowi berpandangan akan lebih mudah mengatasi macet dan banjir kalau jadi presiden. Tuhan berbaik hati dan memberi peluang Jokowi jadi presiden. Lah, setelah jadi presiden, kenapa ibu kota harus dipindah karena alasan banjir, macet dan polusi pak? Tidakkah lebih mudah mengatasi itu semua ketika jadi presiden? Ini pertanyaan awamnya.
Demi pemerataan. Bagus! Pertanyaannya: apa hubungan pemerataan dengan pindah ibu kota? Bagaimana kalau masyarakat Papua protes: belum merata buat kami karena ibu kota tidak di tempat kami. Demikian juga dengan masyarakat Sumatera, Sulawesi dan Maluku.
Kalau semua pada protes, pindah ke Baijing saja. Nah, makin ngawur. Tidak! Yang dimaksud Beijing itu terkait dengan orang-orangnya. Kontraktornya dari Baijing, investornya dari Beijing, dan para pekerjanya dari Beijing. Minimal keturunan Beijing. Maksudnya? Yah.., pakai nanya lagi!
Ada kesan bahwa pemindahan ibu kota dipaksakan. Setidaknya itu dilihat dari aspek substansialnya. Tapi, secara politis ini seperti menyelam sambil minum air. Artinya, pemindahan ibu kota secara politis akan sangat strategis. Pertama, sebagai pengalihan isu. Situasi politik yang lagi tak menentu dan ekonomi yang sedang terus mengalami masalah, maka isu pemindahan ibu kota akan jadi hiburan media dan medsos. Sedangkan masalah ekonomi, hiruk pikuk rekonsiliasi dan transaksi struktur kabinet untuk sementara terlupakan.
Kedua, pemindahan ibu kota akan jadi kebijakan mercusuar bagi Jokowi. Suatu saat, Jokowi akan dikenang sepanjang masa sebagai "Bapak Pemindah Ibu Kota." Ini akan jadi sejarah. Karena mindahin Ibu Kota tergolong kebijakan fundamental dan bahkan radikal.
Sejarah akan mencatat bahwa Indonesia pernah punya Ibu Kota di Jakarta. Lalu pindah ke Kalimantan "di era Jokowi". Sekali lagi "di era Jokowi". Sejarah ini akan diingat dan dikenang oleh anak bangsa di masa depan. Dengan catatan, perpindahan ini jadi dan sukses. Jika gagal, masyarakat akan memaklumi. Ah, itu mah biasa. Toh Jokowi selama ini juga sering gagal. Mobil Esemka gagal, biasa aja. Banyak janji yang tak terealisasi, biasa saja. Tak ada yang mengejutkan. Dan masyarakat mamaklumi dan memaafkannya. Tetap memberi Jokowi kesempatan untuk jadi presiden kedua kali. Ini bukti betapa masyarakat Indonesia adalah pemaaf. Pemaaf atau lupa? Entahlah. Jangan bilang dungu. Awas! Itu kata-kata yang gak bagus. Biar jadi hak paten Rocky Gerung saja. Jangan ikut-ikutan. Gak elok.
Kalau ada yang khawatir bagaimana nasib gedung DPR-MPR yang ada di Jakarta, gedung-gedung pemerintahan, istana, dan lain-lain, hemat saya itu orang terlalu serius. Tinggal sewakan saja gedung-gedung itu, beres! Buat studio film atau arena teater. Tidakkah selama ini banyak anggota legislatif yang pandai bermain drama di gedung DPR? Cocok untuk pentas teatrikal.
Ketiga, banyak pihak mengkaitkan perpindahan ini sebagai bagian dari manuver untuk 2024. Maksudnya? Untuk mendegradasi Anies Baswedan yang namanya sedang digaungkan rakyat menjadi presiden masa depan. Seolah ingin mengesankan bahwa Anies gagal mengurus Ibu Kota. Karena itu, Ibu Kota dipindah. Oh ya? Ada-ada aja anda ini. Terlalu jauh tafsirnya. Tapi, kalau toh iya, emang rakyat Indonesia sepicik itu bisa dikelabui? Tentu tidak!
Keempat, banyak pihak bertanya: siapa pemilik lahan terbesar di Kalimantan, tempat dimana Ibu Kota akan dipindah? Emang ada hubungannya? Ini yang lagi jadi perbincangan publik. Belum lagi pihak mana yang akan mendapatkan proyek-proyek pembangunan di Ibu Kota baru itu. Silahkan direnungkan!
Jakarta, 22/8/2019 (*)