OLEH: GEDE SANDRA
PADA acara Kadin beberapa hari lalu (Jumat, 2/8), Menteri Keuangan Sri Mulyani memamerkan dirinya yang multitalenta. Mulai dari menggambar, olahraga karate, basket, menyanyi, hingga membatik adalah hal yang dikuasai dirinya sejak kecil. Sungguh luar biasa memang.
Namun sayang, pada dirinya ternyata tidak ada kemampuan “meningkatkan penerimaan pajak” sebagai salah satu talenta yang seharusnya dikuasai oleh seorang menteri keuangan.
Buktinya, selama ia menjabat menteri keuangan Jokowi tiga tahun terakhir, rasio penerimaan pajak (tax ratio) sangat rendah, di bawah rata-rata. Kita akan lihat di pemaparan berikutnya, bagaimana kegagalan meningkatkan tax ratio dapat menjadi malapetaka bagi APBN di tangan Sri Mulyani.
Berikut ini (red: gambar di atas) adalah grafik tax ratio Indonesia Periode 2010 hingga 2018 yang bersumber pada BPK dan LKPP. Angka tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB, tanpa memasukkan bea cukai dan PNBP, diwakili oleh grafik paling bawah.
Selama sembilan tahun tersebut, 2010 hingga 2018, rata-rata tax ratio adalah sebesar 9,2 persen. Menariknya, dalam tiga tahun terakhir (2016 hingga 2018) angka tax ratio berada di bawah rata-rata sembilan tahun.
Seperti dapat dilihat, selama tiga tahun terakhir besaran tax ratio berturut-turut, 8,91 persen di 2016; 8,47 persen di 2017; dan 8,85 persen di 2018. Besaran tax ratio yang di bawah rata-rata menunjukkan bahwa selama periode tersebut kemampuan penerimaan pajak negara mengalami penurunan.
Padahal seperti diketahui, Sri Mulyani telah melaksanakan program tax amnesty secara besar-besaran semenjak akhir 2016. Tak seperti yang diharapkan, setelah tax amnesty penerimaan malah menurun. Artinya target utama dari program tax amnesty, yaitu untuk meningkatkan penerimaan pajak, tidak tercapai di tahun-tahun setelahnya.
Sama sekali tidak masuk akal bila Sri Mulyani hendak mengadakan Tax Amnesty jilid ke dua. Sangat absurd, bila kita tetap menggunakan cara yang sama namun berharap hasil yang berbeda.
Gagal naiknya penerimaan pajak di era Sri Mulyani selama tiga tahun terakhir (2016 hingga 2018) membuat APBN harus lebih banyak mengandalkan pembiayaan (penarikan) utang untuk menambal defisit.
Pada APBN-P tahun 2016, realisasi pembiayaan utang sebesar Rp 320,3 triliun. APBN-P tahun 2017 realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 366 triliun. Dan APBN-P tahun 2018 realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 366,7 triliun. Bandingkan dengan tahun 2014 dan 2015 saat pembiayaan utang masih sebesar Rp 262,4 triliun dan Rp 329,4 triliun.
Kegagalan menaikkan tax ratio menciptakan ketergantungan APBN untuk terus menarik utang baru. Yang menjadi masalah besar adalah utang yang ditarik Sri Mulyani dari pasar selalu berbunga sangat tinggi, seringkali di atas kewajaran bila dibandingkan dengan negara tetangga yang sepantar (Vietnam, Filipina) dan menteri-menteri keuangan sebelumnya (kecuali Chatib Basri, yang mirip dengan Sri Mulyani).
Akibat dari tingginya bunga utang, maka alokasi anggaran tahun-tahun ke depan untuk membayar bunga utang akan terus meningkat. APBN pun akan semakin tercekik, ruang anggaran untuk kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi akan semakin sempit, terdesak oleh rendahnya tax ratio dan meningkatnya pembayaran bunga utang (plus pokok).
Siklus ini: tax ratio rendah-tingginya penarikan utang-tingginya pembayaran bunga utang adalah khas Sri Mulyani-nomics, yang akan terus berakumulasi setiap tahunnya, sehingga akhirnya membawa malapetaka bagi APBN kita.
Penulis adalah aktivis Pergerakan Kedaulatan Rakyat [rmol]