GELORA.CO - SONTAK terkejut membaca judul berita di portal online itu. Maklum, beritanya di Tribunnews.com (22/7) "Kejaksaan Sebut 40 RS Swasta Tipu Pemerintah Ratusan Miliar Lewat Pencairan BPJS". Bagi pelahap judul, maka caci maki melayang bagi institusi kesehatan.
Padahal konstruksi informasi dalam berita tersebut, baru sampai pelimpahan temuan hasil kerja intelijen kejaksaan. Maknanya baru bersifat dugaan permulaan yang perlu diverifikasi lebih lanjut. Belum ada proses hukum, bahkan baru dimulai. Menggunakan istilah "tipu" menempatkan institusi rumah sakit sebagai tokoh antagonis dan musuh bersama.
Banyak hal yang perlu hati-hati dicermati dalam kerangka layanan medis. Sampai batas mana istilah penipuan -fraud dibuat dalam sebuah rujukan definisi yang diakui di sektor kesehatan? Tenaga dan institusi medis selalu berhadapan pada konsekuensi dan tanggung jawab.
Bayangkan bila diagnosa penyakit disederhanakan, maka tenaga medis bisa jadi dianggap lalai, tidak cermat hingga kurang kompeten. Tetapi menempatkan diagnosa pasien, dalam faktor kemungkinan penyebab penyakit secara kompleks, justru dianggap sebagai upaya pembohongan.
Kita bahas logika tersebut, Pertama: ilmu kesehatan adalah tentang probabilitas, diagnosa merupakan pendekatan kemungkinan atas penyebab dengan dasar pendukung dari hasil pemeriksaan.
Otoritasnya ada pada kewenangan medis profesi dokter. Jadi ibarat sakit kepala, bisa saja bukan bersumber di kepala, melainkan dampak dari ujung kaki yang terluka. Upaya untuk menempatkan kedokteran secara mekanistik merupakan kekeliruan.
Kedua: pembentukan persepsi buruk layanan kesehatan. Situasi ini sangat terkait dengan konsep awal sakit, penyakit dan kesakitan yang secara psikologis merupakan hal yang tidak menyenangkan. Problemnya menjadi lebih negatif, ketika diserahkan kepada tenaga medis lokal. Sikap penuh kecurigaan ditempatkan.
Bayangkan bagaimana persepsi positif justru diberikan kepada tenaga kesehatan di luar negeri, pasien kerap memberikan pujian bahkan rekomendasi, tentang kemampuan pelayanan medis yang lengkap dan presisi, tentu dilakukan dengan berbagai pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa. Bila prosedur serupa dilakukan di dalam negeri, justru diartikan sebagai upaya memperalat pasien. Berkebalikan memang, tapi itu realitasnya.
Meski kaget dengan berita tersebut, terutama dalam lintasan bayangan di kepala tentang bagaimana intelijen kejaksaan mampu membaca diagnosa medis untuk menentukan apa yang disebut dengan fraud tersebut, saya coba melanjutkannya pada keterhubungan narasi di berita lainnya.
Rujukan fraud yang paling elementer pada layanan medis hanyalah phantom billing, manakala tidak ada pasien tetapi masih mengajukan tagihan klaim. Berbagai jenis model fraud lainnya, beririsan tipis dengan kewenangan medis, disini seharusnya analisis profesi medis yang diutamakan, karena kasus medis harus dilihat dalam kacamata medis.
Konstruksi pesan itu lagi-lagi muncul pada berita (30/7), "Defisit BPJS Kesehatan Tahun Ini Rp 28 Triliun Sri Mulyani Endus Ada Indikasi Kecurangan". Di tingkat pengambil kebijakan menguatkan makna pesan tentang curang, kecurangan dan perilaku manipulatif. Penghakiman yang membabi buta mengakibatkan dunia layanan kesehatan babak belur.
Situasinya pelik, belum terbayarnya klaim diimbuhi dengan tudingan fraud.
Imej negatif itu menjadi melekat. Padahal bila fraud dimaknai sebagai kepalsuan, kecurangan, kebohongan dan tindakan sepihak. Kita juga dapat bertanya bagaimana bila Pemerintah cq BPJS Kesehatan terlambat membayar klaim secara sepihak? Bukankah itu fraud atas kerangka perjanjian kerja sama? Dunia memang terbalik, bergantung dominasi kuasa.
Sesungguhnya pukulan telak itu terletak pada penguatan sikap ketidakpercayaan publik. Dengan memperkuat narasi tentang fraud, kalangan medis kehilangan martabat. Dipandang penuh curiga gerak-geriknya. Padahal konsep dasar pelayanan medis adalah mutual trust, lantas bagaimana bisa mendapatkan hasil maksimal dari penanganan kesehatan bila didasarkan pada ketidakpercayaan.
Pada kajian wacana, berita sebagai struktur teks terkait dengan teks lain yang diproduksi. Melalui kedua berita tersebut, lengkap sudah derita pelayanan kesehatan. Diharuskan menangani pasien secara paripurna, sekaligus ditunjuk hidung melakukan kecurangan medis, jelas sebuah perkara yang juga perlu dipahami oleh publik.
Pada bagian penghujung, konstruksi bentuk yang dikumandangkan mengenai fraud, lebih disebabkan karena faktor kegagalan perencanaan program BPJS Kesehatan. Defisit yang terjadi, karena tekornya penerimaan dibanding pengeluaran program tersebut, membuat pendekatan berbasis kecurigaan dikembangkan.
Padahal ujung perkaranya terang benderang, soal nilai premi kesehatan yang tidak sesuai kalkulasi aktuaria. Dengan begitu, problem defisit sesungguhnya sudah diprediksi sebelumnya.
Sebelumnya, di berita yang lain (29/7) "Defisit BPJS Kesehatan Diproyeksi Tembus Rp 28 Triliun, Jokowi Gelar Rapat Terbatas di Istana", banyak usulan yang akan dimajukan sebagai evaluasi atas problem defisit. Maka seharusnya, fokus prioritas akan menyoal masalah defisit dengan mengatasi defisit dalam jangka pendek, dan melakukan pembenahan mengatasi defisit pada jangka menengah-panjang.
Format solusi yang ditawarkan akhirnya muncul, "Pemerintah Berencana Naikkan Tarif Premi BPJS Kesehatan" (31/7). Sebagai sebuah rencana, hal itu tentu perlu disambut baik. Terlebih sudah lama premi BPJS Kesehatan tidak mengalami perubahan.
Lebih jauh dari itu, sejatinya besaran tarif jasa pelayanan kesehatan juga bahkan tidak pernah berubah alias mandek, padahal besaran biaya operasional terus naik. Strategi menaikkan nilai premi harus diselaraskan dengan nilai aktuaria yang berlaku dalam proyeksi saat ini, bila tidak problem defisit kelas akan kembali berulang.
Tapi kembali ke pokok persoalan jangka pendek, bagaimana menambal defisit yang telah terjadi? Karena pembaharuan nilai premi dilakukan sebagai langkah strategi antisipasi periode setelah itu. Disini letak tanggung jawab etis dari para pemangku kebijakan, karena nasib seluruh sektor kesehatan domestik tergantung di dalamnya.
Jangan jadikan tudingan fraud menjadi alasan untuk menghilangkan kewajiban pembayaran kepada pemberi layanan, terkecuali defisit tanggung jawab etis juga telah terjadi!(rmol)