Oleh: Imron Rosyadi*
Tahun 2018-2019 merupakan masa-masa sulit bagi sejumlah perusahaan swasta nasional. Sederet perusahaan mengalami kesulitan likuiditas yang berujung pada gagal bayar utang dan/atau bunga kredit. Misalnya, pada Juni 2018, lembaga pemeringkat efek Indonesia, Pefindo mengumumkan bahwa PT Express Transindo Utama (Taxi Express) mengalami gagal bayar kupon. Sejurus kemudian Pefindo menurunkan peringkat utang Taxi Express dari BB- menjadi SD (selective default).
Peringkat SD mencerminkan perusahaan telah gagal untuk membayar satu atau lebih dari utangnya ketika jatuh tempo, tetapi akan terus melakukan pembayaran tepat waktu pada kewajiban lainnya. Sebulan kemudian, PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (TPS Food) dikabarkan terlambat membayar bunga obligasi dan margin sukuk ijarah yang ke-21. Nilai obligasi TPS Food sebesar Rp 600 miliar dan sukuk ijarah senilai Rp 300 miliar.
Sedangkan PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (SAEA) telah dinyatakan pailit oleh pengadilan. Kredit bermasalah SAEA kepada Bank ICBC Indonesia mencapai 20,505 juta dolar AS (sekitar Rp 309,6 miliar). Kasus kredit bermasalah juga menimpa PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (senilai sekitar Rp 4,07 triliun), dan gagal bayar utang notes PT Jababeka senilai 300 juta dolar AS.
Likuiditas
Teranyar, lembaga pemeringkat sekuritas Standard and Poor's (S&P) menurunkan peringkat kredit obligasi dolar DMDT menjadi CCC- (junk bond) dengan alasan DMDT menghadapi tantangan risiko kredit yang signifikan. Sementara Fitch Rating menurunkan peringkat menjadi B- yang berarti DMDT mengalami peningkatan pembiayaan dan risiko likuiditas.
Kondisi seperti itu dikhawatirkan merambat ke risiko likuiditas (kredit macet) perbankan. Karena DMDT disinyalir memiliki kredit sindikasi bank senilai Rp 17 triliun. JP Morgan (2018) mengabarkan bahwa dalam tahun 2018 Duniatex Group telah menerima kredit 362,3 juta dolar AS dan Rp 5,25 triliun dari bank.
Sejumlah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga mengalami masalah keuangan yang serius. PT Jiwasraya dikabarkan tidak mampu membayar premi hingga Rp 802 miliar. Tunggakan premi itu bersumber dari produk saving plan yang diluncurkan perusahaan pada 2013. Namun belakangan tersandung masalah penempatan dana produk tersebut pada portofolio investasi.
Sementara PT Krakatau Steel (KS), meskipun belum dinyatakan gagal bayar utang, membengkaknya utang hingga Rp 35 triliun berpotensi menyeret KS dalam kesulitan likuiditas. Merujuk laporan keuangan KS (2018) tercatat utang mencapai 2,49 miliar dolar AS (sekitar Rp 35 triliun). Besaran utang ini menunjukkan ada kenaikan sebesar 2,26 miliar dolar AS (10,45% ) dibandingkan 2017. Kondisi likuiditas ini masih diperparah lagi dengan utang jangka pendek yang membengkak hingga 1,59 miliar dolar AS, yakni naik sebesar 1,36 miliar dolar AS (17,38%) dibandingkan 2017.
Jumlah utang tersebut memperlihatkan utang jangka pendek KS lebih besar dari hutang jangka panjangnya. Dalam kaidah keuangan posisi ini memiliki risiko tinggi default. Ironisnya proyek baru KS yang sedang berjalan dinilai berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp 1,3 triliun per tahun.
Sedangkan PT Garuda Indonesia (GIIA), berdasarkan hasil temuan/pemeriksaan Kemenkeu, OJK, dan BPK dinyatakan terdapat pelanggaran laporan keuangan pada tahun buku 2018. Buntutnya, GIIA mempublikasikan ulang laporan keuangan (restatement) yang menyajikan hasil revisi laporan laba/rugi. Semula GIIA mencatatkan laba sebesar 5,01 juta dolar AS, kemudian direvisi menjadi rugi sebesar 175,02 juta dollar AS (Rp 2,45 triliun).
Ancaman technically bankrupt juga menghantui 4 BUMN Karya, karena terlilit utang jangka pendek senilai Rp 115 triliun dari total utang sebesar Rp 156 triliun. Utang sebesar itu digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang tugaskan pemerintah. Kondisi keuangan seperti ini jelas berisiko gagal bayar utang, mengingat rasio utang terhadap ekuitas cukup tinggi. BUMN properti dan konstruksi Debt Equity Ratio-nya telah mencapai 2,99%, jauh lebih tinggi di atas industri yang hanya 1,03%.
Penyelamatan
Bagi perekonomian negara, BUMN sebagai salah satu penyangga ekonomi nasional dan penyumbang pendapatan negara selain pajak. Pada 2014-2018 kontribusi BUMN secara keseluruhan terhadap pendapatan negara meningkat dari Rp 303 triliun (2014) menjadi Rp 422 triliun (2018), atau meningkat rata-rata sebesar 9,8 persen per tahun. Demikian juga dengan aset yang dimiliki BUMN cukup besar.
Kemenkeu (2019) mencatat pada 2016 aset BUMN sebesar Rp 6.524 triliun, kemudian pada 2017 meningkat menjadi Rp 7.210 triliun. Sementara pada 2018 mengalami kenaikan lagi menjadi Rp 7.718 triliun. Namun sayangnya pertumbuhan kontribusi dan aset itu diikuti dengan pertumbuhan utang yang cukup tinggi.
Pada 2016 utang BUMN mencapai Rp 2.263 triliun, lalu pada 2017 melonjak menjadi Rp 4.830 triliun. Sementara pada 2018 meningkat tipis menjadi sebesar Rp 5.271 triliun. Hal yang mengkhawatirkan pada 2018 rasio utang terhadap aset telah mencapai 68 persen. Maknanya sebagian besar (68 persen) aset yang dimiliki BUMN dibiayai dengan utang. Jika kondisi keuangan ini tidak dikelola dengan baik, maka dikhawatirkan BUMN akan terperangkap dalam kesulitan likuiditas
Oleh karenanya, disarankan pemerintah mengambil langkah-langkah konstruktif penyelamatan BUMN, di antaranya menjamin BUMN tetap dikelola secara profesional, bebas dari kepentingan politik mana pun, mendorong BUMN sehat secara keuangan dan tahan terhadap krisis, serta memberikan akses pasar/ekspor seluas-luasnya pada BUMN.
*) Lektor Kepala pada Prodi Manajemen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta