GELORA.CO - Zainal belum bisa hidup tenang. Saban hari ia memikirkan nasib anaknya yang belum juga bersekolah meski tahun ajaran baru telah dimulai sejak Juli.
Putri Zainal yang bernama Najma menjadi salah satu siswa yang tidak diterima di SMAN 24, Kabupaten Tangerang. Padahal, lokasi rumahnya cukup dekat dengan sekolah tersebut.
Dengan adanya sistem zonasi, Zainal merasa anaknya seharusnya dapat diterima di SMAN 24. Sebab, jarak antara rumah dan sekolah itu sekitar 1.200 meter. Yang membuat ia heran dan kecewa, ada siswa lain dengan jarak rumah yang lebih jauh, yaitu 2.400 meter, justru diterima di sekolah tersebut.
Zainal tak seorang diri. Ia bersama orang tua dari 13 calon siswa lainnya dari Kabupaten Tangerang mengalami nasib serupa. Mereka telah menempuh berbagai macam cara agar anak-anak mereka bisa bersekolah. Namun, sejauh ini hasilnya masih nol. Artinya, anak-anak mereka menganggur di rumah.
Mereka sudah mendatangi Kantor Cabang Dinas Pendidikan (KCD) setempat dan pihak sekolah. Pada Selasa (20/8), mereka pun melaporkan masalah ini kepada Inspektorat Provinsi Banten. Mereka mengadu ke sana karena merasa ada ketidakadilan.
Zainal menegaskan, ia hanya punya satu pilihan: anaknya bersekolah di sekolah negeri. Ia merasa tak sanggup jika harus menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. "Apalagi, di Tangerang itu sekolah swastanya mahal. Ada yang lebih murah, tapi itu belum biaya seragam, buku, aktivitas sehari-harinya. Jadi, sama saja," kata Zainal dengan nada mengeluh, kemarin.
Pekerjaannya sebagai buruh pabrik membuatnya tidak bisa berbuat banyak untuk memberikan pendidikan kepada anaknya. Kebijakan zonasi yang bertujuan untuk melakukan pemerataan pendidikan, ternyata justru memakan korban siswa itu sendiri. Yang tak diterima di sekolah negeri dan tak mampu bersekolah di swasta kini menganggur di rumah.
Zainal dan orang tua lainnya masih mengupayakan agar anak mereka bisa bersekolah di SMAN 24 Kabupaten Tangerang. "Kalau saya berhitung, saya rasanya tidak mampu saat ini menyekolahkan putri saya di swasta, makanya saya bertahan. Berharap ada kebijakan dari pihak dinas. Tapi, sampai saat ini tidak dapat jawaban yang positif, jadi ya kami menunggu saja," kata dia.
Zainal berharap kedatangan dia beserta para orang tua lainnya ke Inspektorat Provinsi Banten dapat menghasilkan solusi. Jika tak ada titik terang, Zainal terpaksa meminta anaknya menunggu hingga tahun depan untuk bersekolah. "Kalau dia tidak bisa sekolah, mungkin saya akan menunda putri saya sampai tahun depan karena keadaan keuangan saya sampai saat ini sangat buruk," kata dia.
Saat ini, kata dia, pihak inspektorat menjanjikan segera ada jawaban dari KC Dinas Pendidikan Tangerang dan Dinas Pendidikan Provinsi Banten terkait nasib anak-anak mereka. Ia juga sempat dikabari untuk mempersiapkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) agar anaknya tetap bisa bersekolah meski tidak memiliki biaya.
Para siswa mengungkapkan kesedihannya karena sampai saat ini tidak bisa bersekolah. Mereka terpaksa berdiam di rumah dan hanya bisa melihat tetangga mereka yang seumuran pergi bersekolah seperti biasa.
Seorang siswa bernama Sisca mengatakan, selama ini dirinya hanya membantu orang tuanya di rumah. Ia juga termasuk tidak mampu bersekolah di sekolah swasta karena sang ayah sedang dirawat di rumah sakit.
"Sedih. Sudah mulai belajar, tapi sudah lebih dari sebulan saya tidak sekolah. Bapak saya sakit keras, jadi kalau ke sekolah lain yang jauh, biayanya akan mahal lagi," kata Sisca.
Penambahan Rombongan Belajar
Anggota Komite Sekolah, Fahrudin, mengatakan, sebenarnya sudah dilakukan rapat antara orang tua siswa dan pihak sekolah untuk mengatasi permsalahan siswa yang tidak diterima. Kata dia, saat itu disepakati adanya penambahan rombongan belajar hingga 156 kursi.
Memang, kata Fahrudin, tidak semua siswa yang tidak diterima dapat terdaftar di dalam 156 kursi tersebut. Namun, ada beberapa kursi yang tidak diisi karena siswa tersebut memilih bersekolah di sekolah swasta. Kursi-kursi yang kosong tersebut seharusnya bisa diisi oleh siswa lain, tapi sekolah menolak dengan alasan tidak diizinkan oleh inspektorat.
Masalahnya kemudian, inspektorat justru membantah telah memberikan arahan terkait PPDB di SMAN 24. "Akhirnya sekarang timbul lagi wacana bahwa sekolah mau menerima tapi tergantung KCD. Jadi simpang siur sekarang," kata Fahrudin.
Ia menuturkan, para orang tua masih menunggu jawaban dari pihak-pihak terkait. Ia pun berharap para orang tua segera mendapatkan kepastian agar tidak terus khawatir anaknya tidak bersekolah.
Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Thamrin Kasman mengatakan, Kemendikbud sudah mengatur ihwal calon peserta didik yang tak tertampung di sekolah melalui peraturan mendikbud.
Sesuai regulasi, kata dia, apabila sekolah memiliki jumlah calon peserta didik yang melebihi daya tampung, sekolah wajib melaporkan kelebihan calon peserta didik tersebut kepada Dinas Pendidikan. Kemudian, Dinas Pendidikan sesuai dengan kewenangannya wajib menyalurkan kelebihan calon peserta didik pada sekolah lain dalam zonasi yang sama.
"Dalam hal daya tampung pada zonasi yang sama tidak tersedia, peserta didik disalurkan ke sekolah lain dalam zonasi terdekat," kata Kasman.
Pengamat pendidikan Indra Charismiaji mengatakan, permasalahan yang terjadi di Tangerang karena tidak ada data antara siswa yang mampu dan tidak mampu. Sistem zonasi pendidikan sudah sesuai regulasi, tetapi pelaksanaan di daerahnya tidak sesuai dengan regulasi.
"Harusnya mereka punya data, minta ke Dinas Dukcapil. Kalau seperti ini, kelihatan mereka tidak punya data. Di dalam regulasi, sistem zonasi pendidikan sudah jelas," kata dia.[rol]