Oleh Anton Permana
Akhirnya jari ini tak kuat menahan untuk tidak menulis tentang tiga hal diatas. Setelah melihat seliweran tulisan dari berbagai kalangan dan kepentingan baik di sosial media maupun televisi.
Awalnya penulis kurang tertarik untuk mengupas dan menganalisis tiga hal diatas, karena secara pendapat pribadi penulis tiga hal diatas memamg sudah dirancang sedemikian rupa oleh sebuah kekuatan besar (hidden power) yang secara genetis dan estafet mencengkram bangsa ini silih berganti bak arisan rumah tangga sejak zaman kolonial.
Cuma dikarenakan opini yang terbangun mulai liar dan menyasar kemana-mana, maka penulis mencoba memberikan sebuah ‘treatman’ pemikiran dan analisis penyeimbang, agar kita semua tetap berada pada garis yang sama, tujuan yang sama, dan rasa cita kesatuan persatuan yang sama. Yakni Indonesia tumpah darah kita bersama.
Secara spesifik sebenarnya tidak ada yg baru dari tiga isu besar di atas kalau kita paham sejarah dan tidak mudah lupa. Pertama tentang pindah Ibu Kota. Perdebatan ini sudah dimulai sejak lama. Dimana ide pemindahan ibu kota ini di gadang-gadang pertama kali oleh tokoh bernama Samaun yang ketika itu menjadi petinggi dari PKI. Kedua, tentang rusuh Papua. Keberadaan OPM (Organisasi Papua Merdeka), atau apalah namanya juga sudah eksis dan acap kali melakukan kerusuhan bahkan pembantaian terhadap masyarakat Papua, pekerja, bahkan TNI-Polri. Yang ketiga, tentang isu SARA yang baru-baru ini dimulai dari pelaporan kepada pihak Polda Metro Jaya oleh sekelompok pemuda NTT yang melaporkan ceramah Ustad Kondag Abdul Somad (UAS). Kasus pelaporan inipun sangatlah mengada-ngada. Apa bedanya dengan kasus pelaporan ‘chat’ Habieb Riziq Shihab, penangkapan kepada Ustad Alfian Tanjung, atau pemenjaraan kepada Buya Hamka, Muhammad Natsir pada zaman Orde Lama ?
Artinya, kalau kita jernih membaca dan memahami. Sebenarnya yang dijadikan ‘bahan bakar’ isu, rusuh, atau judul tema konflik permasalahannya hanya itu ke itu saja. Alias lagu lama musik baru. Atau analogi geopolitiknya, peta permasalahan yang disasar oleh ‘hidden’ agenda tersebut selalu sendi-sendi negara seperti ideologi (SARA/kriminalisasi ulama), ekonomi (pindah ibu kota/proyek), dan rusuh Papua (Hankam-sosial budaya).
Kenapa sendi negara ini yang disasar, karena dalam konteks ketahanan nasional Indonesia, 3 sendi negara diatas (ideologi, ekonomi, Hankam-Sosial budaya-hukum) sangat sensitif dan mudah disulut (rawan).
Dalam konsepsi ketahanan nasional, ada 8 (asta gatra) sendi negara yang saling keterkaitan dan saling mempengaruhi yaitu (Demografi, Geografi, Sumber Kekayaan Alam) disebut Tri Gatra, dan Panca Gatra (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Hankam). Apabila satu saja dari gatra ini terganggu (rawan) maka akan berdampak sistemik terhadap keuletan, ketangguhan negara dalam menghadapi ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, Gangguan) secara keseluruhan.
Maksudnya, disatu sisi kita memang dituntut untuk tidak mudah terpancing dan terprovokasi, namun disatu sisi lain kita juga mesti tetap selalu waspada dan siaga terhadap segala konspirasi dan ancaman perang asymetris (asymetris war) atau digital war (perang cyber) hari ini.
Artinya. Menurut penulis, memang seakan ada sebuah skenario sistematis yang memelihara ‘tungku episentrum konflik’ ini dari dulu, agar masyarakat mudah terpancing akan isu isu insidentil yang selalu muncul saat-saat tertentu dan khusus untuk sebuah target dan sasaran khusus pula. Ibarat ‘isu bom terorisme’ kambuhan itu. Dan untuk lebih jelasnya, mari bersama kita simak dan cermati beberapa kajian dan analisis singkat dibawah ini.
I. PINDAH IBU KOTA
Disinilah kecerdikan tim yang berada dibelakang Jokowi. Memainkan isu kepindahan ibu kota disaat terjadi ‘kevacuman’ dalam pemerintahan baik eksekutif, khususnya legislatif.
Ibu kota negara itu disahkan melalui produk Undang-Undang sebagaimana DKI Jakarta terbentuk setelah pindah dari Jogjakarta. Jadi yang berperan utama itu sebenarnya para anggota DPR RI yang akan mengesahkan.
Namun sekarang dikarenakan sudah pada masa akhir jabatan (2014-2019) tinggal 1 bulan lagi. Tentu para anggota DPR RI yang akan bersuara sudah mati langkah duluan apalagi bagi yang tidak duduk lagi di kursi dewan.
Begitu juga bagi anggota DPR RI yang sudah terpilih tapi belum dilantik. Tentu mereka belum mempunyai wewenang apa-apa terhadap ide pemindahan ibu kota dari presiden. Tetap ada yang berani teriak, namun semua larut tak terdengar karena semua infrastruktur media mainstream sudah di kuasai dan dikendalikan corong opininya. Sehingga teriakan penolakan dan kritikan itu seolah tak ada dan aman-aman saja.
Begitu juga dengan Partai Politik. Disaat semua menunggu pelantikan Presiden jilid II, masing parpol pengusung tentu juga sedang berjibaku bagaimana berebut mendapatkan jatah kursi menteri atau jabatan strategis lainnya. Nah kondisi ini mengakibatkan parpol ‘terpaksa’ harus jadi anak baik dimata presiden. Kalau tak, jatah menterinya bisa terancam hilang dong kalau berani bersuara.
Akhirnya, isu perpindahan ibu kota ini secara hukum ketata kelola pemerintahan dan politik, ibarat berlari sendiri tanpa ada aral rintangan. ‘Check and balancing’ tidak berjalan. Walaupun sejatinya dan secara prinsip itu masih berupa wacana. Tetapi jangan dianggap remeh. Opini ini sudah demikian terbentuk kuat ditengah masyarakat, terlepas pro dan kontra. Dan ini bisa menjadi sandera alam bawah sadar bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti kasus mobil Esemka. Panas diawal, kemudian hilang sirna entah kemana.
Dari fenomena inilah, penulis berpendapat dan punya pikiran sebagai berikut :
1. Penulis tetap menganggap isu pindah Ibu Kota hanya sebagai strategi ‘blamming game’ (teori bumi hangus) dari rezim, untuk mengubur masa lalu (Pilpres berdarah, plus unlegitimed kekuasaan periode kedua ini) dari zona alam bawah sadar masyarakat. Agar opini dan pikiran rakyat tersedot kemasa depan, berdebat, sehingga duka nyawa hilang, kerusakan penyelenggaraan pemilu, pilpres brutal, yang memakan korban ratusan jiwa anak bangsa ‘terlupakan’. Awalnya rakyat yang tak mau mengakui kemenangan Jokowi pasca penetapan MK, akhirnya melupakan masa kelam Pilpres dan kembali asyik berenang dalam telaga isu baru ‘made in’ rezim hari ini dengan judul pindah ibu kota.
2. Isu pindah ibu kota bagi hemat penulis juga adalah, manuver cantik rezim yang begitu ‘geram’ terhadap penguasa ibu kota hari ini Gubernur Anies Baswedan (AB). Isu pindah ibu kota ini seakan gertakan atau pukulan balik pada AB, serta kontra isu bahwa seolah reklamasi teluk Jakarta tak ada artinya lagi bagi kelompok mereka. Dimana case reklamasi teluk Jakarta ini sudah bagaikan penjara politik bagi kelompok ini. Dan tentu ada target tertentu yang mereka harapkan dari manuver pindah ibu kota. Apakah AB akan temakan dengan gertakan ini ? biar waktu yang akan menjawabnya.
3. Pindah ibu kota yang mengeluarkan angka fantastis hampir 500 trilyun dimata para oppurtunist adalah bagaikan hidangan kue raksasa yang besar, yang seolah siap dibagi-bagi kepada masing poros kekuatan politik yang mau tunduk dan patuh dengan agenda mereka.
Angka 466 Trilyun ini baru untuk bangunan pemerintah fisik awal, kalau dihitung lagi secara menyeluruh termasuk perkantoran, pusat bisnis, apartemen, pemukiman dan instalasi militer dan VVIP, ekonom dari UI memperkirakan angkanya bisa naik jadi 10 kali lipat alias 5000 Trilyun. Amazing ! Wooww !. Siapa para kontraktor, pejabat, aparat, politisi, yang tidak tergiur (ngiler) dengan angka ini. Bayangan halusinasi inilah yang membungkam mulut dan menghipnotis otak pikiran mereka. Yaitu uang !.
4. Penulis masih ingat statemen presiden China pada tahun 2018 yang lalu. Bahwa China siap menggelontorkan dana ribuan Trilyun untuk infrastruktur di Indonesia. Dalam hal ini penulis menangkap, China yang sekarang ini telah menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia dengan prediket negara dengan cadangan devisa negara terbesar di dunia yaitu hampir 3 Trilyun Dolar US. Sangat membutuhkan tempat pelemparan hasil produksi dalam negerinya keluar China. Agar pabrik-pabrik di China tetap beroperasi berproduksi dalam menjaga pertumbuhan ekonominya tetap stabil diatas 6 persen. (New York Time. 2018).
Ternyata, cadangan devisa yang terlalu besar bisa juga menjadi masalah besar bagi sebuah negara. Karena akan menjadikan uang tak ada lagi harganya. Ibarat air putih bersih, kalau tidak dipergunakan malah bisa jadi sarang penyakit.
Disinilah peran Indonesia yang China inginkan. Untuk menampung luapan produksi pabrik (semen, besi) dan TKA agar tak jadi masalah bagi ekonomi dalam negeri mereka sambil memuluskan program BRI (Belt, Road, Initiative) China. Dan Indonesia adalah ‘centre of gravity’ Asia-Pasifik saat ini. Dan hanya dengan program pindah ibu kota inilah Indonesia bisa menampung luapan produksi dan uang dari China (setelah fase tol, pelabuhan, jembatan pada periode pertama) walaupun syarat dan ketentuan tetap berlaku. Karena pasti tidak ada makan siang yang gratis. Angola, Zimbabwe, Afrika Selatan adalah contoh konkrit korban invansi ekonomi China melalui ‘trap obligation’ (jebakan hutang) untuk menguasai sebuah negara. Seperti cerita Datuk Maringgih dan Siti Nurbaya.
5. Penulis secara umum juga mencermati isu pindah ibu kota ini dari perspektif Hankam. Jelas, ibu kota yang notabonenya adalah jantung negara akan sangat rawan bahkan berbahaya kalau berada di posisi luar (beranda) geografis Indonesia.
Ada 3 negara dalam satu pulau kalimantan (Malaysia-Brunei-Indonesia) tidak bisa dianggap remeh. Apalagi saat ini perbandingan pagelaran kekuatan pertahanan antara Indonesia dan Malaysia saat ini, Indonesia masih tertinggal jauh. Baik dari segia kualitas maupun kuantitas (jumlah prajurit) di Kalimantan.
Belum lagi ancaman konflik laut china selatan yang semakin memanas, jepitan dua ALKI, serta saparatisme di Filiphina selatan yang masih bergelora.
Tentu untuk membangun sarana prasarana instalasi militer, alutsusista, dan ketersediaan prajurit penjaga ibu kota juga membutuhkan biaya yang luar biasa besar. Sedangkan untuk pemenuhan MEF (Minimum Esensial Force) tahap II ini saja kita masih kembang kempis dalam target capaian baru 60 persen.
Jadi penulis menyimpulkan, isu perpindahan ibu kota ini hanya selebrasi dari rezim hari ini dalam membangun jembatan emas kekuasaannya agar bisa menutupi lobang terjal yang penuh tumpahan darah, kerusakan tatanan demokrasi, yang telah menghancurkan nama baik Indonesia di mata dunia. Bahkan Jokowi bisa saja tidak diakui sebagai presiden RI dimata dunia kalau tidak segera melakukan rekonsoliasi dengan rival nya Prabowo serta memutus alam bawah sadar masyrakat untuk melupakan Pilpres kelam 2019 dan kembali menerima Jokowi sebagai presiden sah dinegeri ini. Dan penulis menduga, pindah ibu kota juga bahagian upaya rezim hari ini membangun sebuah legacy diakhir periode pemerintahannya. Karena tak ada yang ditinggalkan dalam periode pertama selain hutang, aset tergadai dan kerusakan tata sosial kehidupan masyarakat. Apakah ini berhasil ? Atau akan sirna seiring masa ? Kita lihat dan tunggu saja seperti nasib Esemka jilid dua.
II. RUSUH PAPUA
Kalau kita cermat memperhatikan. Ada sebuah kemiripan antara pola gerak, menajemen isu, dan taktik mobilisasi massa antara rusuh 1998 penggulingan Soeharto dengan rusuh Papua kemaren.
Atau mungkin saja, aktor intelektualnya masih orang yang sama ??
Sama yang penulis maksudkan adalah. Dalam hal ledakan politik bakar sumbu, provokasi, dan amuk massa yang seolah aparat dibuat tidak berdaya menghadapi rusuh Papua.
Mohon maaf, kalau menurut penulis, kalaulah aparat bersungguh-sungguh, tidak ‘buka tutup’ ibarat portal, alias tebang pilih (setengah hati), rusuh Papua dalam waktu yang singkat pasti akan mudah di atasi. Kalau standar yang digunakan sama dengan kejadian rusuh 21-23 mei yang lalu. Aparat begitu brutal, ganas, dan membabi buta menghabisi ummat Islam yang hanya berbekal sajadah pulang tarwih.
Ketimpangan penindakan ini sangat kentara dan telanjang. Pihak inteligent yang seharusnya punya daya tangkal, cegah dini, tangkal dini, juga seolah mati suri tak berdaya. Atau memang sengaja membiarkan atau malah ikut bermain para oknumnya ?? Ini artinya apa ? Berarti telah terjadi infiltrasi dan pengendalian sistematis tingkat tinggi didalam tubuh pemerintahan itu sendiri (aparat), yang memainkan teori pedang dan perisai dalam menajemen konflik inteligent. Sehingga rusuh Papua bisa terjadi begitu dahsyat dan cepat. Dan seolah besar.
Dan penulis membaca, telah terjadi politik saling sandera atau ‘code of conduct’ dari sekelompok kekuatan besar kepada Istana, agar tidak macam-macam dan memberikan sinyal bahwa ‘mereka’ juga punya kendali dan power untuk mengacak-ngacak Indonesia dari dalam melalui pintu rusuh Papua. Apa bentuk persiteruan tingkat atas yang tengah terjadi, biar mereka yang tahu sendiri dan mencari jalan penyelesaiannya.
Cuma yang penulis sayangkan adalah khususnya untuk masyarakat Papua. Kenapa yang selalu jadi korban exploitasi mereka. Rusuh Papua hanya bahagian dari proxy sebuah kekuatan elit untuk mengancam Istana dan kemudian bargaining. Dan kita lihat saja sekarang, ketika rusuh dan konflik reda, berarti sudah ada yang salaman diatas meja.
III. ISU SARA.
Kenapa UAS yang mereka laporkan. Karena UAS mempunyai jutaan jamaah dan representasi dari orang Sumatera. Pelaporan UAS oleh sekelompok non muslim Radikal ini, bisa juga sebagai bentuk ‘test case’ bagaimana soliditas ummat Muslim Indonesia pasca Pilpres.
Dan isu SARA memang menjadi hal yang seksi untuk menyulut konflik di Indonesia. Isu SARA juga sangat ampuh digunakan untuk menutupi kebusukan politik yang terjadi dinegeri ini. Karena isu SARA pasti akan lebih emosional dan bisa menarik jauh pertempuran keluar dari titik utama kebusukan penyelenggaraan pemerintahan seperti korupsi, hutang negara, penjualan aset, invansi ekonomi asing, LGBT, dan Narkoba. Dan kalau isu SARA bergulir, siapapun akan mudah emosional, dan aparatpun punya instrumen ampuh melalui isu (stigma) radikal dan UU ITE sebagai alat gebuk atas nama hukum.
Permasalahan utama negara diatas akan mudah tenggelam kalau negara selalu aktif memelihara, dan mengelola isu SARA. Jadi tak heran, ummat Islam yang mayoritas akan selalu jadi sasaran empuk provokasi, fitnah, dengan judul radikalisme, teroris, atas nama anti Pancaila dan anti NKRI.
Sebagai pemegang kekuasaan, mempunyai dana besar, dan pemilik kendali media, tentu kelompok ini begitu jumawa untuk selalu berupaya menjauhkan agama dgn negara. Dimulai dari stigmanisasi negatif symbol agama sampai kriminalisasi Ulama.
KESIMPULAN
Dari pemaparan singkat diatas dapat kita tarik kesimpulan. Bahwa tiga isu besar diatas adalah tiga medan pertempuran isu yang sengaja diciptakan dan akan selalu dipelihara. Tujuannya agar masyarakat tetap bingung, opini mereka yang kendalikan, energi masyarakat terkuras dalam perdebatan dan perpecahan yang tidak perlu. Pejabatnya asyik dengan fasilitas dan kemewahan, politisi sibuk dengan target kepentingan, dan aparat terjebak menjadi korban (pelayan) dari politik kekuasaan. Karena kondisi saat ini politik dan taipan yang jadi panglima. Aparat sebagai eksekutor lapangan saja.
Cuma sebagai warga negara yang baik, kita tentu tetap optimis dalam menjaga kebersamaan dan persatuan. Jangan mudah terpancing dengan setiap propaganda dan provokasi para pengkhianat negeri. Mari perbanyak pemahaman literasi dan saling berbagi serta memberi pemahaman kepada saudara-saudara kita. Agar tetap waspada dan tidak terpengaruh isu adu domba.
Penulis masih tetap optimis, masih banyak orang idealis dinegeri ini. Masih banyak para politisi, aparat, pengusaha, ulama, aktifis, pers media, mahsiswa, yang merah putih dan cinta negeri ini. Dan penulis yakin, semua hanya menunggu waktu dan saat yang tepat. Kita semua kembali bersatu padu, mengusir para pengkhianat bangsa yang mau jadi antek boneka bangsa luar.
InsyaAllah NKRI ini lahir dari darah para syuhada, dimana darah patriotismenya masih ada didalam darah kita semua. NKRI Harga Mati. Pancasila Abadi.
Jakarta, 26 Agustus 2019.
(Penulis juga Alumni PPRA LVIII Lemhannas RI Tahun 2018).