Oleh Tony Rosyid
Judul tulisan ini seolah menunjukkan Prabowo sudah punya niat dan tergoda untuk rekonsiliasi. Jawabannya, iya. Itu benar. Rekonsiliasi dalam pengertian politik, bukan moral. Artinya, merajut koalisi dan bagi-bagi kursi.
Sedang ada undertable transaction yang dinegosiasikan. Kabar dari panggung belakang sudah bocor dan banyak diketahui publik. Sejumlah pertemuan "rahasia" antara Prabowo dengan elit istana beserta isi materinya sudah sampai ke masyarakat. Begitu juga komunikasi antar tokoh partai.
Surat Prabowo ke Amien Rais dan Sohibul Iman menyisakan pertanyaan: kenapa hubungan mereka jadi formal begitu? Kenapa mendadak kaku? Tentu ini dibaca publik sebagai masalah.
Kenapa tidak panggil Amien Rais dan Sohibul Iman, ajak ketemu dan ngobrol. Kalau isi suratnya cuma pemberitahuan mau ketemu Jokowi, kenapa harus seformal itu? Ini semua dianggap publik sebagai sesuatu yang sangat ganjil. Aneh!
Kita tahu bahwa Amien Rais selama ini bersikap kekeh untuk menyuarakan oposisi. Kendati Ketua PAN, Zulkifli Hasan, cenderung memilih untuk merapat ke istana. Ada kesan Zulkifli menggunakan striker partai yaitu Bara Hasibuan yang rajin bermanuver untuk rekonsilasi. Jika saja PAN tidak bisa dijadikan kendaraan untuk oposisi bagi Amies Rais, pengaruh tokoh yang dikenal sebagai Bapak Reformasi ini masih cukup kuat terutama di kalangan Muhammadiyah untuk menggalang kekuatan oposisi.
Tapi, dengar kabar terbaru bahwa Amien Rais sudah mulai melunak. Tak sekeras dan segarang sebelumnya. Benarkah? Apa yang menyebabkan Amien Rais mulai melunak? Sudah lelah dan tak berdayakah? Atau ada deal? Kita tunggu saja kabar sebenarnya.
Sementara bagi PKS, oposisi harga mati. Bahkan Mardani Ali Sera, politisi PKS yang dikenal paling atraktif ini, sedang membuat manuver baru dengan menggemakan Tagar #KamiOposisi.
Publik tahu, Mardanilah yang pernah menggaungkan Tagar #2019GantiPresiden. Tagar ini sempat menggelegar di seantero Indonesia. Tagar ini juga disambut sejumlah lagu ciptaan dan aransemen si Alang. Selain juga bertebaran asesoris yang sangat meriah.
Gagal ganti presiden, PKS melalui Mardani Ali Sera kini menyuarakan oposisi. Ia mulai menggemakan Tagar #KamiOposisi. Kita tunggu lagu dan kaos bergambar oposisi dari Mardani. Apakah Tagar #KamiOposisi gemanya akan sebesar tagar #2019GantiPresiden?
Kenapa Mardani harus membuat Tagar #KamiOposisi? Apa urgensinya? Tidakkah partainya cukup pilih oposisi, dan gak perlu harus digaungkan. Yang penting berperan secara maksimal dan optimal sebagai oposisi, yaitu awasi pemerintah dan lakukan checks and balances. Jadi sparing partner pemerintah yang sehat sehingga demokrasi bangsa ini akan berjalan dengan baik.
Tagar #KamiOposisi sengaja digaungkan Mardani Ali Sera kemungkinan pertama, untuk menghadapi tekanan pihak-pihak tertentu yang tak ingin PKS oposisi. Baik tekanan di internal partai, maupun tekanan dari pihak luar. Emang ada tekanan? Mungkin tepatnya ada operasi. Ini bahasa yang lebih halus. Namanya juga partai, banyak kepala, pendapatnya bisa beda-beda. Belum lagi hatinya. Tak menutup kemungkinan ada yang masuk angin. Namanya juga godaan, ada saja yang tergiur.
Kedua, ingin mendapatkan dukungan dari publik. Jika saja PKS harus sendiri jadi oposisi, kalau rakyat memberikan dukungan, ini akan menguatkan daya tahan, kepercayaan diri dan juga peranannya di parlemen. Tak menutup kemungkinan setelah ambil oposisi sendirian, PKS akan dihajar oleh pihak-pihak tertentu dengan isu Islam radikal, aliran wahabi-salafi, terpapar ISIS, mengusung arabisasi, dan memperjuangkan khilafah. Dikirim 10-20 orang untuk demo setiap hari di depan kantor PKS. Pola ini sudah biasa dan rutin terjadi, terutama jelang pemilu dan ketika ada ketegangan antara PKS dengan partai yang lain. Terutama ketegangan dengan penguasa. Sampai di sini kita gak tahu, sampai kapan pola "black campaign" menjadi tradisi politik di Indonesia.
Kembali lagi soal Amien Rais dan PKS, mereka sudah clear. Pilih oposisi. Apakah ini yang menyebabkan hubungan dan komunikasi Prabowo dengan mereka jadi kaku? Kalau iya, berarti hipotesis bahwa Prabowo sedang menimbang-nimbang upaya rekonsiliasi politik semakin mayakinkan.
Meski Prabowo diindikasikan sudah ada niat dan tergoda, tapi keputusan untuk rekonsiliasi belum ketuk palu. Hambatan yang utama adalah karena PKS, sekutu partai Gerindra ini, menolak untuk gabung ke istana. Ini yang dianggap jadi beban berat bagi Prabowo. Jika dipaksakan rekonsiliasi dengan istana, Prabowo akan kehilangan kawan sejatinya, yaitu PKS. Partai yang selama lima tahun belakangan ini setia menemani Gerindra dan Prabowo dalam duka dan keterpurukan.
Masih ada waktu untuk direnungkan dan dievaluasi. Dipertimbangkan efek politiknya untuk tahun-tahun ke depan bagi nasib Gerindra. Kalau nasib Prabowo sendiri sudah selesai. Peluangnya kedepan hanya bisa jadi begawan politik dan King Maker. Dengan catatan, jika Prabowo memutuskan untuk jadi oposisi. Jika tidak? Prabowo akan jadi tokoh yang tenggelam. Karena tak lagi ada yang percaya dan mendengar ucapannya. Jika Prabowo tenggelam, Gerindra pun tak menutup kemungkinan akan tenggelam juga. Sebab, Gerindra sangat bergantung kepada figur Prabowo. Tak ubahnya dengan nasib PBB, dan mungkin juga nasib Demokrat kedepan.
Bagi partai yang sedang tenggelam bersama figur pemimpinnya, satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya adalah suksesi. Ganti pemimpin dengan figur baru yang lebih fresh dan tak kalah populisnya. Dengan catatan, pemimpin baru itu tidak didikte dan dibayang-bayangi oleh pemimpin lama yang tenggelam itu. Dan ini pernah saya sarankan ke PBB sebelum pilpres. Tak didengar, PBB pun tenggelam setelah gagal mencapai target minimal Parlementary Threshold di pilpres 2019.
Jadi, jika Prabowo ingin selamat, baik citra maupun posisioningnya sebagai tokoh yang berpengaruh, begitu juga dengan nasib Gerindra di masa depan, maka satu-satunya jalan dan pilihan adalah urungkan niat masuk dalam koalisi istana. Pilih oposisi, Prabowo akan jadi tokoh terhormat dan berpengaruh. Sekaligus bisa menyelamatkan nasib Gerindra untuk tahun-tahun yang akan datang.
Jakarta,17/7/2019